Kamis, 13 Desember 2012

---

aku ingin melebur di antara butiran pasir
terbang bersama angin
singgah di pucuk-pucuk pohon, lalu kembali berlayar
hanyut bersama aliran sungai yang jernih
melebur.. menyatu..
biar saja aku hilang
tapi aku di mana-mana

Rabu, 12 Desember 2012

...

mata ini rupanya sudah begitu kabur untuk dapat menangkap raut lelahmu denging telinga ini telah menulikanku juga dari jeritan putus asamu hati yang membeku sedemikian rupa ini telah membuatku kebas untuk peduli padamu maaf, walau sejuta kata itu memang tak 'kan bisa menghapus bahkan sebulir saja peluhmu

Selasa, 27 November 2012

orang dalam cermin

pada cermin itu kulihat orang yang mirip denganku
tapi sepertinya dia bukan aku

bukankah aku sedang gelisah saat ini?
sementara ia terlihat tenang dan begitu nyaman, tersenyum seolah tanpa beban

lihat, ia tertawa! matanya menyipit terangkat oleh pipi
sedangkan aku menatapnya dalam tangis yang rasanya mengalir di pipiku

dia mulai terlihat ketus dan galak
padahal aku terisak

tapi... tunggu
saat dia berbalik, seperti ada lukisan yang luntur dari wajahnya

sedih
takut
cemas

dan kurasa di balik cermin ku lihat bahwa kami sama

Senin, 26 November 2012

Nggak ngerti lagi sama lupa ini

Kupikir ke-pikun-an ku kali ini sudah berlebihan.
Beberapa kali tugasku terabaikan hanya karena : LUPA. Lupa yang keterlaluan.
Bagaimana tidak? Aku tahu ada tugas yang harus kukerjakan, tapi aku lupa untuk mengerjakannya. Lupa yang benar-benar lupa.
Contohnya minggu lalu. Kalau yang ini memang tugasnya saja aku lupa, apalagi mengerjakannya. Aku sampai membuat kesal temanku saat aku berulang kali mengiriminya sms hanya untuk menanyakan tugas kami. Kira-kira begini isinya:
Saya : Ada tugas apa aja sih?
Teman : Metpen sama Psidik
Saya : Metpen yang mana, psidik yang mana?
Teman : Metpen yang penelitian sama SPSS, psidik yang kelompok
Saya : Penelitian yang mana? SPSS yang mana?
Teman : Penelitian kelompok kita itu, kan belum kelar. Trus SPSS yang disuruh latihan ngerjain soal pake SPSS itu loh Ly, makanya dicatet, kamu kan sibuk.
Saya : (dalam hati) Maaaaaf... :'(
Contoh lainnya adalah pada hari Jumat kemarin. Yang ini aku tahu, tapi lupa. Aku tahu harus melakukan sebuah kegiatan yang mewajibkanku mengenakan jaket almamater dan tanda pengenal. Tapi, aku baru ingat bahwa aku harus membawanya tepat saat ponselku bergetar, panggilan dari panitia bahwa aku harus datang saat itu juga. Beruntung, aku yang harus ditemani salah seorang teman, berhasil "menculik" teman yang kebetulan sekali duduk di sebelahku. Jaket pun pinjaman. Tapi tanda pengenal terpaksa tidak terpenuhi.
Lebih parah lagi adalah aku lupa harus mengumpulkan laporan keuangan pada hari yang sama. Aku tahu aku harus membuat laporan keuangan, tapi aku seolah berada di "dunia" lain dan tidak merasa itu hari Jumat. Aku pulang ke kosan, besoknya ke rumah, bercerita lalala pada mama, termasuk tentang laporan keuangan itu. Aku tahu, tapi aku tidak ingat sama sekali untuk mengerjakannya. Aku baru teringat belum mengerjakannya pada hari Senin pagi, sebelum berangkat kuliah. Lupa yang aneh, menurutku. Kebangetan.
Nggak ngerti lagi deh sama diriku sendiri :(

Makanya dicatet Ly!
Iya, aku tahu. Aku udah berusaha. Tapi, kayaknya cara itu tetap kurang efektif bagiku. Ada dua masalah dalam mencatat tugas, baik di hape maupun di notes:
1. Aku lupa menulis tugasnya
2. Aku lupa membaca catatanku
Mungkin aku harus mencatat di tangan saja sekalian. 

Tapi, pulpen saja aku sering lupa bawa atau kehilangan.

Ngga ngerti lagi :(

aku

tersaruk-saruk dalam rimba kebimbangan
mencoba menggerapai "aku" yang mengabur
tak berbentuk

menggerutu pada cemas
melihat "aku" semakin hancur
tak berwujud
tak dikenal

karena kutakut kehilangan "aku"

Selasa, 20 November 2012

Tentang Hujan (Lagi)

Hanya lembabnya sepatu kawan
dan payung basah di jemuran
yang yakinkanku bahwa kau memang nyata
Tanpa kudengar rintikmu, kulihat alirmu, kuhirup aroma tanah yang kau kuarkan, apalagi kusentuh dinginmu

Ah, hujan
Mungkin kau tak ingin mengusik hariku yang gersang
dan bisa jadi kau tak kan pernah datang

Senin, 12 November 2012

Ah, Kawan..

Kawan, hujan ini membuat kepalaku pening, tapi ia sering sekali menyelubungiku akhir-akhir ini. Aku ingin pergi saja, berteduh. Namun, kau tepuk pundakku dan sodorkan payung. Ah, kau tahu kalau aku memang tak bisa mengabaikan hujan.
Pun kau tunjukkan turbin kecilku, dan berharap ia bisa berputar dengan aliran deras sang hujan yang kucemaskan, agar menjadikan untukku pelita yang 'kan menenangkanku.
Ah, kawan. Terima kasih lagi, dan temani aku menata semua ini.


Ditulis setelah menjalani perjalanan singkat dari kampus ke halte bersama seorang kawan.

Minggu, 11 November 2012

Hujan


Aku ingin bercerita tentang hujan. Kini, entah sejak dan sampai kapan, aku mengubah pandanganku terhadapnya. Aku tidak ingin lagi mempersalahkannya yang telah membuat hariku kelabu, aku tak mau lagi membencinya karena mengurungku dari menjelajahi dunia.
Karena kupikir itulah dia. Tak mungkin aku berharap hujan akan membiarkanku menari riang di taman terbuka tanpa kebasahan. Tanpa ragu ia melingkupiku, seperti halnya tiada sungkan ia menguarkan harumnya tanah padaku.
Kurasa, aku mengagumi keberaniannya mengguyur muka bumi dan melunturkan debu yang menempel di sana, kendati sebagian orang merutuki caranya, terutama saat ia terlalu deras. Terkesan keras. Sungguh, aku melihat sesungguhnya ia tidak keras. Hujan itu tetap meneteskan air, bukan batu.
Maka bila aku memakai payung, bukan berarti aku menolak kehadirannya. Aku hanya ingin buktikan pada mereka, bahwa aku masih bisa menari di bawah naungan hujan. Hujan toh tak melarangku meninggalkan rumah.
Ah, hujan. Meski aku ingin menemanimu, akankah tarianku pantas mengiringi rinaimu? Masihkah kau ingat warna payungku?


Ditulis saat galau dalam perjalanan ke rumah

Jumat, 09 November 2012

Bahkan, dan aku hanya menggeleng-geleng

Siapa kau? Seenaknya saja muncul di sana dan di sini. Merendahkanku bahkan tanpa kata. Menertawaiku bahkan tanpa kita bersua. Mempermalukan diriku bahkan pada entah siapa. Bahkan, kemunculanmu saja tanpa rupa.

Mungkin?

Lagi-lagi hanya ingin bercerita tentang pelangi. Bukan karena ia terlalu dan paling istimewa, melainkan lebih kepada tak ada bahan lain, mungkin?

Pagi itu jalanan masih basah, tapi langit mulai cerah. Dengan langkah-langkah yang kecil tapi cepat aku berusaha menyusul seorang kawan, namun ternyata ia tak berhenti di tempat yang aku kira. Di sanalah aku melihatnya, pelangi.

Tak ada lagi yang terasa berbeda saat melihatnya. Namun entah mengapa, aku melihat, atau mungkin saja berharap melihat, ada yang lain di mata yang sama terkejutnya denganku itu. Seolah ada pertanyaan di balik sana, yang mungkin selamanya tak terucapkan.

Aku jadi merasa bersalah. Akankah tanya itu adalah sebab terciptanya jarak antara kami yang kubuat tanpa sengaja tempo dulu? Padahal, aku sudah siapkan jawaban, bahwa jarak itu tidak kumaksudkan, dan jika dia tak menginginkannya maka bisa saja terhapuskan. Aku dan dia mungkin bisa seperti aku dengan yang lain, atau dia dengan yang lain. Tidak menjadi terlalu asing seperti saat ini.

Atau mungkin saja, ia memang tak pernah terpikir pertanyaan itu. Bahkan tak menyadari apa yang terjadi. Khas dia, bukan?

Ah, sudahlah. Enggan memikirkan apa yang mungkin. Nyatanya, aku tersenyum melihatnya tidak se-mementingkan diri sendiri seperti dulu. Yah, walaupun tak sepenuhnya tanggap apa yang seharusnya dia lakukan.

Ya, aku akan selalu memakluminya. Mungkin ia belum paham.

Hhhh...

Seringkali bingung bagaimana menyampaikannya. Atau, justru sebenarnya belum jelas apa yang ingin disampaikan? Rasanya tak dapat menampilkan diri yang sebenarnya. Namun, apa aku sendiri yakin siapa diriku sesungguhnya? Tidak terima jika orang lain menerka-nerka siapa saya, atau memang tidak mau mengakui apa adanya?

Menyepi

Kalau di depanku saat ini ada kolam, ingin rasanya aku tenggelam yang dalam. Lalu berdiam.

Terlalu banyak menyibukkan diri, mungkin? Hingga tak ada lagi waktu berbincang pada hati.

Butuh sendiri.

Selasa, 25 September 2012

[Flash Fiction] Move On, Dear

Jejak air mata itu masih berbekas di kedua pipi tirusnya. Hidungnya yang kemerahan masih mengembang dan mengempis seirama napasnya yang tidak teratur. Rambut halus bak model iklan sampo yang sering kukuncir dan kukepang sedemikian rupa itu kini tak beda jauh dengan onggokan keset yang belum kucuci sejak seminggu yang lalu.

Sebagai teman sekamarnya, aku hanya bisa duduk di sampingnya, menawari tisu yang baru kubeli dari minimarket di ujung jalan. Sesekali mengelus punggungnya, atau merapikan rambutnya yang beterbangan ditiup kipas angin hingga menampar-nampar wajahku.

Aku belum tahu apa yang membuat sahabatku ini terlihat begitu nelangsa. Saat aku tinggal ke minimarket tadi, ia masih memamerkan deretan giginya yang dipagari kawat dengan bandul-bandul pink itu.

"Ando..." Ku dengar Ira mulai mengatakan sesuatu. Setelah setengah jam aku menunggunya bercerita, akhirnya ia mengeluarkan satu nama, pacarnya.

"Ando kenapa? Apa dia minta... putus?" Dengan sangat hati-hati aku menanyakannya. Sudah sejak beberapa hari yang lalu Ira dan Ando sering sekali bertengkar.

"Nggak," Ira mengusap air matanya lalu menatapku bingung.

Sebelum tatapannya berubah menjadi 'jadi-lo-ngarepin-gue-putus?', aku buru-buru menambahkan, "Maksud gue, apa Ando minta putusin sambungan teleponnya sama lo? Gitu."

Beruntung, Ira orang yang suka berpikiran positif. Ia menerima saja ucapanku barusan.

"Nggak, kok. Gue tadi mau bilang kalo Ando bentar lagi mau dateng. Lo tadi beli cemilan juga kan, Ta? Gue minta ya."

Aku mengangguk meski masih bingung. "Jadi, lo nangis karena apa?"

"Ooh, itu. Tadi nyokap gue nelepon, katanya hamster gue mati. Huaaaa." Ira kembali melanjutkan tangisnya sambil memelukku.

"Udah, udah. Jangan nangis lagi, nanti pas Ando dateng trus lo nya masih acak-acakan gini gimana? Kan malu."

"Bodo ah. Dia kan harus nerima gue apa adanya. Gue sekarang lagi berduka, trus tau-tau dia bilang mau dateng. Salah sendiri kalo ternyata dia ga suka liat gue lagi kacau gini."

Tak sampai sepuluh menit kemudian Ando datang. Dengan paksa kusisir rambut Ira agar tak membuat Ando shocked.

"Andoooooo!!!!" Pekik Ira saat baru saja dibukanya pintu gerbang kos-kosan kami. Dengan penasaran, kulirik apa yang membuat pekik itu terdengar bahagia.

Ternyata, ada sepasang hamster baru berada di tangan Ando..

[Flash Fiction] Moon

Purnama di bulan ke lima. Masih kuingat dulu kita memandangnya. Bersama kita rangkai impian sepenuh asa. 

Lima tahun bergulir tanpa terasa. Sebagai bukti cinta, dulu kurelakan kau kejar cita. Namun kini, aku meragu. Apakah cintaku atau cintamu yang tak seperti dulu? Jika cintaku tak pernah luruh, mengapa kesabaranku mulai rapuh? Bila wanita di hatimu tak terganti, kenapa kau tak juga kembali?

"Wulan, datanglah ke tempat ini setiap purnama. Kelak di sana, aku pun akan memandang bulan yang sama. Padanya kutitipkan rinduku dan menanti salammu." 

Purnama, kau kini tertutup awan. Apakah salam dariku sudah layu karena tak kunjung dijemput olehnya?

Purnama, aku lelah mengharap rindunya. Cukup jawab saja pertanyaanku : Sedang apa dan di mana Chandra?

Rabu, 19 September 2012

Asing

Tidak, saya tidak merasa terasing, terdengar terlalu menyedihkan. Saya hanya ingin mengasingkan diri sejenak. Penat.
Di sana saya harapkan ketenangan di sini, tapi di sini saya berpikir mungkin yang saya cari ada di sana. Lalu harus ke mana?
Tanggung, lelahnya hanya setengah. Sekalian saja habiskan seluruh kekuatan, biar kebas dan terbebas dari malas.

Senin, 17 September 2012

[Flash Fiction] In The End ...

Percuma.
Satu kata itu saja yang terngiang-ngiang di telinganya, serupa kaset yang diputar ulang terus menerus.
Bukankah sudah kubilang sebelumnya?
Ia tahu, kalimat itu akan terarah padanya.

Ia menatap cermin. Benar saja, sosok di hadapannya kini sedang menertawainya. Keterlaluan! Ia tidak tahu apa-apa tentang apa yang kurasakan.
Praangg!!
Sosok mengerikan yang tadi menertawainya kini hancur. Potongan-potongan kecilnya mempertontonkan air mata yang tiba-tiba saja menderas.

Senggukan dan seringaian itu lah yang pada akhirnya mengiringi aliran darah dan air mata yang bersumber dari sebuah lubang penyesalan yang sia-sia.

Sabtu, 24 Maret 2012

Speechless

............
Saya speechless. Sungguh. Hanya debaran jantung, yang temponya mendekati detak yang biasa tercipta saat saya sudah 15 menit jogging, yang mewakili ke...[apa ya termnya? Saya bener-bener bingung sendiri. Kagum, terkejut, amazed, dan.... pengen (?)] an saya ketika saya membaca sebuah buku kecil berjudul "Karunia Terindah". Buku tersebut merupakan souvenir pernikahan salah satu tetangga saya.
Unik, bukan, membuat buku sebagai souvenir pernikahan? Saya pikir itu merupakan sebuah terobosan yang sangat kreatif. Two thumbs up, deh, buat dia!! :) 
Dalam buku tersebut, si penulis yang merupakan mempelai wanita menceritakan kisah cinta mereka sejak pertama kali mereka berkenalan. Betapa perbedaan usia 10 tahun ternyata tak mampu menghalangi niat suci si lelaki untuk menikahi gadis yang bahkan belum berusia kepala dua.
FYI, si perempuan ini seumuran sama saya, dan itu yang membuat saya cukup "Hah?" saat tahu dia mau menikah. Tapi, saya bukan anti nikah muda, kok, hanya agak terkejut saja (dan sedikit membayangkan, kalo gue yang ngalamin, gimana ya???). Bahkan saya salut banget, dia berani mengambil keputusan itu walaupun ada yang pro-kontra. Berulang kali ditulis dalam buku itu bahwa ia sangat menghargai perbedaan, dan betapa perbedaan itu terasa sangat indah baginya karena menjadikan hidup ini berwarna. Huaa, suka banget dengan sikapnya yang begitu bijak dan dewasa ^^
Life is Never Flat, tulisnya dalam buku itu, seperti yang ada di iklan snack favorit saya. Kisahnya benar-benar nyess banget buat saya. Dalam waktu beberapa bulan saja, mereka yang awalnya tidak saling mengenal, sekarang sudah menjadi pasangan yang sah secara hukum negara maupun agama. Tanpa pacaran. Bahkan, "nembak"nya pun langsung ke bunda si perempuan ini duluan, sebelum ngomong ke sasarannya.
Jadi inget ucapan dosen saya waktu itu, yang kira-kira bunyinya, "Jangan seneng kalo ada yang bilang 'Aku cinta kamu'. Minta buktinya: berani nggak dia ngelamar?"

Untuk teman TPA-ku, Annida Putriga (yang entah masih kenal saya atau nggak, hehe), selamat menempuh hidup baru yang akan tetap nggak flat ini ya! Semoga keluarga baru kalian menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Aamiin.
.
.
.
N.B.: Gue kapan, ya? :p

Selasa, 20 Maret 2012

rindu pelangi

Aku lupa hari apa. Saat itu aku sedang agak terburu-buru setelah membeli buku faal di daerah barel. Aku melihatmu, Mr. Rainbow, entah sedang apa bersama salah seorang teman lelakimu.
Kita mengenakan baju berwarna sama! Merah. Warnamu. Warna kesukaanku. Entah mengapa aku langsung tersenyum sendiri saat menyadarinya, setelah kau hilang dari pandangan beberapa detik sebelumnya.
Hanya beberapa detik, memang. Tapi aku menghembuskan napas serupa kelegaan saja. Akhirnya aku bisa melihatmu setelah berbulan-bulan berada di kampus yang sama.

Langit terik sore itu. Matamu semakin serupa garis saja.

P.S.: Aku masih ingat sifatmu yang agak mudah bangga. Jangan senang karena aku hanya merindukanmu sebagai pelangiku. Hanya itu. 

Kebablasan

Entahlah. Saya bingung dengan apa yang terjadi pada diri saya belakangan ini. Kurang konsentrasi, mungkin?
Bayangkan saja, hari Jumat (16 Maret 2012) saya mau ke sebuah tempat edit video di deket sebuah universitas swasta di daerah Kelapa Dua. Saya naik angkot 112 jurusan Depok-Kp Rambutan, dari kampus saya sekitar abis maghrib. Nah, berhubung saya tidak tahu letak persisnya kampus yang jadi patokan itu, saya bertanya pada teman saya. Tapi, sayangnya jawaban darinya tidak membuat saya cukup mengerti. Alhasil, saya kebablasan. Kesalahan fatal saya, saya nggak tanya sama orang lain. Saya nggak tanya supir angkotnya, saya nggak tanya penumpang lain juga. Barulah, setelah angkot yang saya tumpangi sudah memasuki Jalan Raya Bogor, saya baru menyadari, kok kayaknya jauh banget ya? dan saya bertanya pada seorang ibu di sebelah saya.
"Oh, itu mah udah kelewatan neng. Jauuuh.. Neng turun aja di sini, trus naik angkot kayak ini lagi dari seberang."
Finally, ongkos yang mungkin seharusnya hanya 2000 atau 3000 jadi 6000 karena harus naik 2 angkot bolak-balik. -___-"
Besoknya, saya lagi-lagi "kebablasan". Ketika mau ke rumah salah satu senior saya di daerah Jagakarsa, daerah yang asing banget buat saya, saya naik berbagai angkot sebelum mendapatkan angkot yang benar. Saya dari Pasar Minggu naik angkot ke jurusan Depok, turun di stasiun Tanjung Barat, naik Kopaja 616 turun di ujungnya, jalan sampai ujung jalan M. Kahfi dan naik angkot 20. Padahal, angkot 20 itu bisa saya naiki dari Pasar Minggu (gubrak!!) tapi karena saya nggak ngerti rute angkot dan malas bertanya (bukan malu), jadilah saya berkeliling kota dulu hahaha.
Tapi, kisah "kebablasan" itu belum dimulai. Saat saya naik angkot 20, saya berpesan pada si supir angkot agar berhenti di Jalan yang menuju rumah senior saya. Si supir mengiyakan, dan saya percaya padanya. Sampai akhirnya saya sms teman saya dan melaporkan posisi saya saat itu (setelah lama di angkot tersebut) bahwa saya berada di depan sebuah panti asuhan besar. Teman saya membalas, "turun". Singkat, dan membuat saya bingung. Si supir angkot masih tampak tenang-tenang saja, seolah tujuan saya masih jauh. Saya kemudian menelepon teman saya, dan dia bilang seharusnya saya turun di depan panti tadi. Saya pun bertanya pada si supir.
"Oh iya, Mbak. Saya lupa!"
Walhasil, saya berjalan kaki dari tempat si supir menurunkan saya dengan seenaknya :'( menuju rumah senior saya, karena uang saya habis, Saudara-saudara!! Miris.. Untung saya secara kebetulan meng-sms teman saya tidak jauh setelah melewati panti, kalau tidak, mungkin saya sampai di Pasar Minggu lagi! Meskipun saya harus jalan kaki lumayan (bacanya dengan nada tertentu hehe) jauh, sih.
Eeeh, hari Seninnya (19 Maret 2012), saya "kebablasan" LAGI! Kali ini bodohnya saya kebablasan di kampus sendiri. Saya naik bis kampus dari depan fakultas saya. Bermaksud untuk kembali ke kosan, saya baru sadar bahwa saya sudah sampai di tujuan ketika bis sudah melalui tulisan "Gymnasium" yang artinya sudah terlewaat... hiks hiks hiks :'(
Untung bis kampus gratis, jadi saya turun di halte lain dan naik bis kampus lagi ke halte tujuan saya.

Apa yang salah denganku??

Minggu, 18 Maret 2012

PHP

Maksud hati ingin segera off internetan dan segera tidur, tetapi sapaan seorang kawan membatalkan niat saya. Malam ini dia curhat lagi, seperti biasa.
Lagi-lagi topik yang umum diceritakannya dan teman-teman saya yang lain. Cinta. Ya, apalagi yang lebih diminati orang-orang seusia saya? Kadang kala, kalau saya sudah mulai bosan dan lelah, saya mendesah dalam hati seraya bergumam sendiri, "Nggak salah apa, lo milih untuk curhat ke gue? Bahkan jam terbang lo udah juauuh di atas gue untuk masalah ginian."
PHP, alias pemberi harapan palsu, banyak dari mereka yang curhat ke saya mengecap orang-orang yang dicurhatin ke saya itu dengan sebutan demikian. Sikap yang sangat perhatian, sinyal-sinyal positif, tanggapan yang baik, dan sebagainya, memang mudah sekali membuat orang berharap. Sayangnya, ternyata harapan itu palsu. Akhirnya, orang yang sudah terlanjur berharap tadi jadi keki sendiri.
Mungkin karena terlalu sering mendengar kasus-kasus PHP ini, saya jadi mengalami learned hopelessness. Saya "belajar" untuk putus asa. Demi menghindari harapan-harapan palsu, saya memilih tidak berharap sama sekali. Entahlah, sesuatu yang biasa dianggap kebanyakan orang itu sebagai harapan, saya enggan menganggapnya demikian. Sehingga dengan terpaksa saya menggeneralisasi "harapan-harapan" yang ada sebagai bukan harapan. Miris banget, ya, kayaknya? Hahaha. So far, saya belum merasakan dampak buruk dari perilaku saya ini. Secara, saya belum membutuhkannya. So, saya memilih untuk single but not available. Yaah, meskipun kakak saya seringkali sibuk sendiri. Mulai dari menceramahi, menasihati, menyindir, sampe mengomel sendiri dengan sikap saya yang seperti itu.
Ya sudah lah, jodoh gak kemana, kan?
Lagi-lagi kakak saya memprotes. "Tapi kan harus ikhtiar juga!" katanya.
Tapi kan saya belum berniat menikah dalam waktu dekat ini. Hehehe. :p

Sabtu, 10 Maret 2012

Aku Berhati Iblis !!

Senja hari di dalam bis kota, aku dan temanku, Fhia, baru saja pulang dari 11th Islamic Book Fair yang diadakan di Istora Senayan, Jakarta. Lima buku baru plus sebuah binder dan satu buku kuliah yang terbungkus dalam dua plastik kupangku di atas tas selempang biruku. Lelah menampakkan diri melalui helaan-helaan napas berat di balik masker penutup hidungku. Temanku sendiri kerap kali mengipas-ngipasi dirinya di sebelahku.
Hari yang melelahkan, namun juga menyenangkan. Setidaknya sampai sebelum orang itu menge-judge kami dengan kalimat yang menusuk telinga sampai menembus ke hati.
Seorang lelaki paruh baya dengan gitarnya mencari nafkah di dalam bis. Hal yang biasa. Uniknya, lelaki itu menyanyi dalam dua suara, yang satu suara aslinya yang dapat dibilang lumayan untuk ukuran telinga yang buta musik sepertiku, satu lagi dalam suara yang dibuat-buatnya hingga menyerupai suara Donald Bebek. Cukup menghibur. Tapi apa daya, aku yang ingin memberinya uang tidak memiliki uang receh. Satu-satunya uang yang tersisa adalah selembar lima ribuan lecek. Tak enak rasanya bila aku meminta uang kembalian darinya. Fhia sendiri sudah menyiapkan uang dalam genggamannya, namun entah mengapa (mungkin belum rezeki) uang itu terjatuh di lantai bus, yang akan sangat merepotkan bila kami keukeuh mencarinya dalam kondisi bus yang sempit.
Lelaki itu berekspresi jenaka, aku suka melihatnya. Sepertinya ia ramah. Maka, saat ia mulai meminta uang dan melempar senyumnya ke setiap orang yang memasukkan uang dalam wadah yang disediakannya, aku berdoa dalam hati agar ia mendapat banyak uang (aku tak bisa memberinya uang, oleh karena itu aku mendoakannya saja).
Tapi ternyata ia tak sesopan yang kupikir.
Saat menyodorkan wadah uangnya padaku dan Fhia, kami mengangguk sebagai tanda maaf karena tak bisa memberinya uang. Kupikir ia akan berlalu begitu saja. Sayangnya tidak.
"Tampangnya suci, hatinya iblis" desisnya sebelum beranjak pada orang di belakang kami.
Aku dan Fhia sontak saling pandang.

Aku... berhati iblis? Astaghfirullah..

"sisa" dari Pertemuan Kedua FLP

Belajar dari Sejarah

Aku lahir sebagai buah cinta tiga orang wanita di sebuah masjid, Masjid Ukhuwah Islamiyah, yang terletak di kampus tercintamu. Kau, yang belum genap berusia empat tahun, sedang lucu-lucunya kala itu. Sementara aku memulai kehidupan awalku dengan cara nomaden dari satu masjid ke masjid yang lain.
Aku tahu kau sudah mengenalku sejak lama, salah, mungkin lebih tepatnya sekadar mengetahui saja selama ini. Kau melihat namaku entah di mana, yang jelas kau tahu bahwa aku berteman dengan orang-orang yang namanya kau lihat di sampul-sampul buku. Buku-buku itu kau dan kakakmu beli di Islamic Book Fair, event kesukaanmu sejak kau masih mengenakan rok merah. Sejak itu kau menanamkan cita-cita untuk menjadi salah satu kawanku.
Oleh karena itu, kau senang sekali membaca informasi bahwa aku sedang mencari teman baru. Dengan semangat empat lima kau berusaha menemuiku dan terus berusaha menghadiri setiap undanganku.
Dari undangan keduaku, tiga kalau ditambah undangan perkenalan kita, kau mulai mengenalku lebih dalam. Kini kau sudah tahu bahwa aku, yang memiliki teman-teman ribuan di pelosok negeri bahkan di sampai ke luar negeri, berawal dari kecintaan tiga ibuku pada dunia menulis. Di antara ribuan temanku, termasuk ibu-ibuku juga, tak sedikit yang kau kenal sebagai penulis idolamu. Kau pun sekarang telah mengetahui bahwa aku, yang sudah terbang ke mana-mana bersama kawan-kawanku, semula loncat ke mana-mana dari satu masjid ke masjid lainnya. Pun karyaku yang senantiasa bertambah, seiring bertambahnya kuantitas dan kualitas teman-temanku. Bahkan bekerja sama dengan penerbit Mizan aku pernah mendirikan Lingkar Pena Publishing House, yang sekarang sedang vakum karena aku tengah berusaha untuk berdiri sendiri.
Aku hebat, katamu. Ya, dalam kurun waktu 15 tahun ini aku telah membentuk koloni terbesar dan tersebar di negeri ini. Lalu, bagaimana denganmu di usia yang hampir 19 tahun ini?
Masih di pertemuan kedua kemarin, kau terkesiap saat melihat salah satu teman barumu, yang juga baru berkawan denganku, membawa buku hasil karyanya. Dia telah berhasil meraih apa yang juga kau cita-citakan. Dadamu bergejolak seperti anak kecil yang iri pada mainan temannya. Namun, pada pertemuan kedua itu, seperti juga pertemuan-pertemuan sebelumnya, kau rasakan kehangatan semangat menjalar bersama aliran darahmu, mengisi ulang kekuatan yang terkikis oleh padatnya aktivitasmu.
Kau tersenyum. Ya, kau yakin kau pun bisa meraih mimpimu, karena kau tahu, hasil yang indah tercapai dengan usaha yang tak mudah. Kau telah melihat itu dari ibu-ibuku.

Amelya Dwi Astuti
Pramuda Angkatan 16
FLP Jakarta

Jumat, 02 Maret 2012

3 Hari untuk Selamanya (aamiin) part 3

Day 3

Apa guna keluh kesah
Apa guna keluh kesah
Gandewa tak kenal menyerah
Apa guna keluh kesah

Kamis, 01 Maret 2012

3 Hari untuk Selamanya (aamiin) part 2

Day 2

Langit biru muda membuat saya terkejut dari tidur saya. Langit semalam memang terang karena sinar rembulan yang benderang, namun biru muda pagi itu tentu tak lagi berasal dari cahaya lembut si dewi malam. Menoleh ke kanan dari posisi tidur saya, saya lihat warna kemerah-merahan mewarnai horizon langit Timur. Saya langsung bangun dan melakukan tayamum untuk sholat subuh dalam bivak. Selang beberapa menit kemudian suara-suara teman-teman saya mulai terdengar.

3 Hari untuk Selamanya (aamiin) part 1

Day 1

Resah. Entah berapa kali saya menghembuskan napas keras-keras, berharap dengan begitu hal yang mengganjal di hati saya ikut keluar bersama karbondioksida dan uap air dari tubuh saya. Seandainya… kalau saja… dan puluhan kalimat-kalimat pengandaian lain menyuarakan penyesalan saya atas keputusan yang saya buat: ikut pelantikan Gandewa (ukm penggiat alam-nya FPsi UI). Sungguh, semakin mendekati hari H, semakin tegang perasaan saya. Satu hal yang sangat saya takuti dan membuat penyesalan saya bertambah berkali-kali lipat adalah: takut hanya menjadi beban. Perasaan itu begitu, saya tekankan, begitu kuat menyerang saya. Kalau beberapa bulan lalu saya tidak menempelkan kertas bertuliskan huruf-huruf besar berbunyi KONSEKUEN di cermin kamar kost tempat saya tinggal, mungkin saya akan nekat menghubungi panitia dan membatalkan niat saya mengikuti pelantikan. Untungnya, perasaan takut akan tindakan tak bertanggungjawab karena pengumuman yang mendadak itu pasti membuat segala rencana yang telah dirancang bersama teman-teman menjadi berantakan, ikut menghalangi saya dari perbuatan pecundang itu.

Senin, 20 Februari 2012

review pertemuan pertama (setelah Studium Generale) FLP Jakarta

Optimis dan Realistis dalam Bisnis Menulis

Bertempat di Gedung HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, FLP Jakarta mengadakan pelatihan perdana bagi para pramuda angkatan 16. Dengan pembicara Arul Khan yang biasa disapa Kang Arul, pelatihan yang dimulai sekitar pukul 10 pagi waktu setempat itu dimoderatori oleh Pak Arya yang mengawali acara dengan pembukaan serta pembacaan ayat Al Quran.