Jumat, 20 Desember 2013

Lepas

Kulepas kau bersama tetesan awan yang semakin deras
Mengalirkan segala ingin yang tak mungkin
Menghanyutkan asa yang tak pada tempatnya

Jadi biarlah aku yang gersang, sebab rinaimu hanya menjadi air bah di hatiku

Sabtu, 07 Desember 2013

Halte

Sudah biasa, saya pikir, bagi saya untuk membuat perencanaan. Tujuan, impian, cita-cita, dan sejenisnya sudah tidak asing lagi bagi saya. Bahkan, saya pernah membuat tulisan mengenai hal tersebut. Namun, pada dua siang itu saya tersentak. Malu. Apa benar saya sudah tahu tujuan saya?

Dua siang. Dua tempat. Dua situasi. Pertanyaan pada siang, tempat, dan situasi pertama terjawab beberapa minggu setelahnya, tepatnya di siang, tempat, dan situasi yang kedua. Keduanya sama-sama menghentakkan saya dalam hal yang sudah saya paparkan sebelumnya.

Apa tujuan hidup kamu? Sebuah pertanyaan simpel dari dosen saya membuat saya meringis. Saat itu saya yakin saya sudah punya. Saya sering membuat perencanaan dalam hidup saya, mulai dari perencanaan studi, perencanaan karir, kalau perencanaan hidup … mungkin. Mungkin sudah, mungkin juga, hmm, belum. Ah, bukankah saya sudah punya tujuan hidup? Atau, apakah yang saya kira tujuan sebenarnya bukan benar-benar tujuan?

Kali kedua terjadi bukan di dalam kampus. Ketika mengikuti sebuah pelatihan, saya dikenalkan “istilah baru”. Terminal dan halte. Bukan terminal dan halte kendaraan umum seperti yang saya maknai biasanya, melainkan “terminal” dan “halte” dalam hidup. Saya, dan peserta pelatihan saat itu, diminta untuk mengevaluasi “tujuan” yang telah kami tuliskan sebelumnya, apakah “tujuan” itu adalah “terminal” alias tujuan akhir, atau baru “halte” alias tujuan sementara.

Saya menelan ludah. Tanpa lama berpikir, saya menulis kata HALTE besar-besar. Semua ini baru halte. Dari sekian baris mimpi yang saya tulis itu, semuanya bukan yang terakhir, bukan final.

Saya jadi kembali teringat pada “banyak jalan menuju Roma”. Dalam konteks ini, bahkan jika keadaan membuat saya harus melalui jalan yang bukan di mana halte-halte itu berada, itu sejatinya tak mengapa. Lagi-lagi, karena itu hanya persinggahan sementara.

Dan bukan di dunia ini pemberhentian akhir itu berada.

Nampaknya saya terlalu sibuk membayangkan jalan-jalan yang mengantarkan saya pada “halte”, hingga terlupa pada “terminal”.

Namun demikian, itu tidak berarti “halte”-“halte” tersebut menjadi tidak penting. Mereka penting, tapi yang saya pahami sekarang, mereka bukan lagi yang utama.

Jumat, 22 November 2013

Siang, Copet, dan Hak

Slep! Sebuah tangan tiba-tiba keluar dari tas saya ketika saya akan turun dari angkot. Seketika saya speechless.

Bukan tangan hantu ataupun tukang sulap, tapi tangan "jahil" yang memasuki tempat yang bukan haknya, dan terpaksa keluar ketika si empunya barang memergokinya. Segera saya mengecek isi tas, dengan fokus utama pada ponsel (karena barang-barang lain dalam ruang tas yang terbuka itu tidak ada yang penting selain ponsel), dan bernafas lega benda itu masih dengan nyaman berada di ujung bawah tas saya, terlindungi oleh tisu, plastik berisi beberapa masker yang baru saya beli, dan segala barang-barang printilan yang memang sedang berantakan saat itu.

Kejadian itu terjadi dalam waktu singkat, tidak sampai satu menit, yakni ketika saya menunggu supir angkot menyerahkan uang kembalian saya. Saya yang membayar dan menunggu kembalian di dalam angkot (posisi saya saat itu di belakang supir. Saya membayar di dalam karena teriknya matahari membuat saya malas membayar dan menunggu kembalian di luar, alias di samping pintu depan penumpang tempat biasanya saya bayar), tidak menyadari bahwa ada tangan yang membuka tas dan mencoba merogoh isinya saat tatapan saya fokus pada uang kembalian dari pak supir. Saya baru mengetahui hal itu ketika hendak turun.

Setelah melemparkan pelototan pada pelaku, saya turun dengan jantung yang berdegup sangat kencang dan tangan gemetar. Ingin rasanya memaki-maki orang itu, atau setidaknya menyindirnya agar penumpang lain tahu bahwa ada pencopet di tengah-tengah mereka. Sayangnya saya terlalu shocked, takut, sehingga justru tidak bisa berkata apa-apa dan berkeringat dingin sendiri.

Saya masih ingat betul perasaan saya ketika itu. Geram, kecewa, sedih, aaaaargh pokoknya geregetan banget, lah! Seenaknya saja mengambil hak orang lain! Ponsel itu saya miliki bukan tanpa pengorbanan. Ponsel itu dibeli memang dengan uang orang tua, tetapi justru karena uang orang tua itulah yang jauh lebih menyesakkan saya. Apa dia tidak memikirkannya? Pernahkah haknya diambil orang lain begitu saja?

Bus yang saya tunggu-tunggu lama sekali datangnya. Saya langsung mengabarkan beberapa teman saya untuk berhati-hati. Sambil menunggu, saya kembali merasa-rasai perasaan saya. Semakin saya rasakan emosi negatif itu, saya menjadi memahami, seberapa sulitnya situasi kita, hak orang lain tetap tidak boleh dilanggar. Materi moral development yang saya pelajari di kelas beberapa waktu lalu pun terputar kembali.


Ah, jangan-jangan sebenarnya saya sering melukai hak-hak orang lain. Ternyata seperti ini sakitnya.. Sakit sekali.

:'(

Kamis, 24 Oktober 2013

Bonceng Tiga

Pagi itu langit mendung. Tahu saja ia akan kecemasan yang menggelayutiku. Bagaimana tidak, aku akan memulai perjalanan seorang diri, melintasi negara, di mana baik negara asal maupun negara tujuannya bukan negaraku sendiri, dan ini pertama kalinya. Aku mencoba menguat-nguatkan hati, mengingatkan diri akan salah satu cita-citaku. Backpacker. Terdengar keren, bukan?

Setelah mengecek ulang barang-barang dan memastikan tak ada yang kutinggalkan di PSU Lodge selain kaus kaki tipis yang sudah kotor dan berencana kubuang, aku menghubungi salah satu teman baruku di Thailand. Nee, nama panggilannya. Gadis cantik berkerudung itu semalam sebelumnya mengatakan akan mengantarku ke terminal. Aku menunggunya sembari berpamitan pada teman-teman Indonesia yang masih berada di sana.

Di luar, hujan sudah turun dengan cukup deras. Perutku keroncongan, pagi ini sudah tidak ada jatah sarapan. Setelah hujan mulai reda, aku bergegas menuju sebuah minimarket di depan kampus PSU Phuket untuk membeli makanan, kaus kaki baru, dan jas hujan. Sekembalinya dari sana, Nee dan temannya sudah asyik berbincang dengan Valina, salah satu temanku dari Indonesia. Setelah berkenalan singkat dengan teman Nee, aku memutuskan untuk langsung berangkat. Kupikir aku hanya diantar oleh Nee atau temannya. Kalaupun mereka berdua, kupikir kami menggunakan dua motor.

Ternyata, kami berboncengan bertiga dalam satu motor! Nee yang mengendarai, aku di tengah, dan di belakangku teman Nee. Koperku yang berukuran sedang diletakkan di depan Nee, dan ranselku dicangklong oleh kawan Nee. Sebenarnya aku agak khawatir, apalagi jalanan basah setelah hujan. Namun, aku memilih percaya pada Nee yang mengatakan akan baik-baik saja.

Begitulah, selama sekitar 20 menit kami bertiga menuju terminal. Ternyata di Phuket banyak yang sering bonceng tiga, tidak pakai helm, dan hal-hal lain yang biasanya kuanggap sebagai pelanggaran dalam berlalu lintas. Memang, di sana aku tidak melihat polisi, dan kata temanku, entah benar atau tidak, peraturan di sana memang sedemikian longgar karena di sana daerah tujuan wisata, tempat banyak turis berada. 

Tepat saat Nee menghentikan motornya, sebuah bus berwarna putih-biru bersiap keluar dari terminal. Itu bus menuju Hatyai! Kondekturnya, yang adalah seorang wanita, bertanya apakah kami akan ke Hatyai dalam bahasa Thailand. Nee yang menjawab, sementara aku hanya cengar-cengir sambil mengangguk. Dengan sigap ibu kondektur itu mengambil koperku dan meletakkannya di bagasi bawah bus. Setelah bersalaman singkat dan mengucapkan terima kasih, aku mengucapkan selamat tinggal pada Nee, temannya, dan juga Phuket :')

Aku tidak menyangka bisa berteman baik dengan Nee. Sebelumnya, aku hampir tidak pernah mengobrol dengannya, karena entah mengapa jarak kami selalu berjauhan selama kami berkegiatan. Barulah pada saat-saat terakhir, ketika acara sudah usai, Valina yang cukup dekat dengan Nee menghubungkan kami.

Beberapa pekan setelahnya, kami kembali berhubungan melalui chat facebook. Aku mengajaknya ke Indonesia, dan ia mengatakan bahwa kelak jika suatu saat ke Indonesia, aku adalah salah satu orang pertama yang akan diberitahunya :'D


Aku tidak sabar untuk menjemputnya di bandara Soekarno-Hatta :') 





Tulisan ini kubuat sambil menyusun mozaik-mozaik ingatan yang sudah mulai kabur, sehingga tidak bisa detail :'( Sedih sekali pengalaman-pengalaman berharga itu tergerus waktu karena ingatanku tak cukup kuat untuk memegangnya. Semoga lain kali aku tidak lagi malas mengikat kisah perjalananku dalam tulisan. Aamiin.

Selasa, 22 Oktober 2013

Cantik dengan Terluka


Saya bingung ngasih judul apa untuk tulisan ini. Awalnya saya terpikir untuk memberi judul "Melukai dengan Cantik". Namun, kemudian sebuah insight baru membuat saya mengubahnya, ya, seiring dengan pemahaman baru tersebut.

Selamat membaca!

Jumat, 11 Oktober 2013

elegi senja hari

aku mengecap butir-butir tanah yang kujejak
menambal lubang-lubang yang berbiak di hati yang penuh retak
ada sesak yang mendesak
karena jarak

aku bernyanyi setiap pagi
menulikan telinga yang sepi
sibukkan diri menertawai
aku yang sendiri


Sabtu, 15 Juni 2013

Harga Kehidupan

Ketika melihat tanggal terakhir saya mem-posting tulisan di sini, saya merasa setengah kaget dan setengah tidak. Kaget karena 'Oow, sudah berapa bulan, ini?', yang segera dibalas oleh ketidakkagetan, tetapi ternyata yang juga menimbulkan kekagetan baru, yaitu 'Bukannya udah biasa, saya berencana untuk nulis tapi gak jadi?' 

Sebegitunya.

Ah, tapi sudahlah. Mungkin lain kali, kalau perlu, kita membahasnya di sini. Saya memang memiliki sederet 'janin-janin' tulisan yang tak kunjung saya lahirkan dan bahkan tergugurkan.

Berbicara tentang keguguran, itu yang akan saya tulis sekarang. Saya tidak berniat menjelaskan apa dan bagaimana, apalagi secara ilmiah. Saya hanya ingin menggulirkan perasaan yang terkadang menyesakkan.

Kakak kandung saya satu-satunya saat ini sedang hamil muda. Sayangnya, di dua bulan pertama ini, dan semoga hanya di dua bulan pertama ini saja, kandungannya tidak seasyik yang saya bayangkan. Saya baru mengetahui bahwa ternyata seriskan itu untuk melakukan hal-hal yang bagi saya biasa saja. Bisa jadi karena saya bungsu dan belum pernah sedekat ini dengan orang yang sedang mengandung sehingga saya bisa mengamatinya sepanjang waktu, banyak hal yang 'ternyata' buat saya. Kalau dibandingkan dengan cerita mama saat mengandung anak-anaknya dulu, yaitu ketika mama sanggup bergelantungan di pintu bus untuk sampai ke kantornya, keadaan kakak saya berbeda. Sejak menikah, kakak saya mengurangi pekerjaannya, apalagi saat diketahui mengandung. Memang, kakak saya pernah menerima permintaan tetangga untuk menjadi MC di acara pernikahannya, tetapi ya, setelah hari itu dan keesokannya di mana ia menghadiri 2 undangan pernikahan temannya yang lain --kayaknya lagi musim kawin, ya :p--, kakak saya harus bedrest. Jadwal ke rumah sakit pun ternyata menjadi lebih sering dari yang seharusnya. :'(

Well, kembali ke keguguran tadi, kali ini kata tersebut membuat saya cemas. Saya sudah sering keguguran ide menulis. Agak menyesakkan, memang. Akan tetapi, kali ini kecemasannya jauh lebih dari itu. Ini menyangkut kelahiran manusia, lebih spesifik lagi keponakan saya.

Semoga kecemasan ini tidak terbukti, kekhawatiran ini tidak menjadi, dan ketakutan ini tidak memamerkan diri. Biarlah mereka menjadi peringatan bagi kami untuk menghargai kehidupan ini, termasuk kehidupan sosok yang kami nanti.

Saya menjadi semakin memahami betapa berharganya hidup ini, betapa berharganya satu nyawa ini. Mungkin terkadang kita merasa bukan siapa-siapa, tidak bisa apa-apa, tetapi sesungguhnya kita berharga, tinggal bagaimana kita membuktikannya.

Bekasi, 15 Juni 2013


P.S. : Untuk keponakanku yang masih entah berwujud apa, semangat ya, Sayang :) kami mencintaimu bahkan sebelum kamu mampu mengeja kata cinta. 

Kamis, 14 Februari 2013

Jauh

Kata mama, pelangi itu nggak pernah ada di atas kepala kita sendiri.

Ya,
meski konteksnya berbeda, kalimat itu juga berlaku untuk kita, Mr Rainbow. Kamu bahkan sudah terlalu jauh sampai aku tidak lagi ingat bagaimana lekukmu menuangkan warna di hidupku, dulu.

Minggu, 27 Januari 2013

. . .

Haaahh, saya terkena writer's block, alias nggak tahu lagi mau nulis apa.
Trus ngapain saya nulis ini?
Entah. Sekadar mencurah lelah.

Kau pernah menuliskan lagu yang mengundang jemariku menari
Tapi saat kau nyanyikan, jemariku beku

Kau memang (mungkin) tak akan pernah menonton tarian jemariku
Tapi hanya dengan mengingatmu, jemariku demam panggung luar biasa




Padahal aku tak menyukai terik di kala hujan
Tapi kau terlalu menarik untuk kuabaikan

Jumat, 18 Januari 2013

Romantis

Belum lama ini saya membaca novel "Samita: Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho" karya Tasaro terbitan DAR! Mizan. Novel fiksi historis itu berlatar masa keruntuhan Majapahit, jadi saat membaca beberapa nama tokohnya, saya teringat pelajaran Sejarah beberapa tahun lalu (kayak udah lama banget ninggalin bangku sekolah aja, hehe).

Novel ini mengisahkan seorang gadis bernama Hui Sing, yang diceritakan merupakan murid paling muda dan perempuan satu-satunya dari tiga murid Laksamana Cheng Ho. Hui Sing ini selain cerdas juga jago bela diri Thifan. Bersama kakak-kakak seperguruannya, Hui Sing ikut dalam perjalanan sang guru yang memimpin armada Kerajaan Ming sejumlah puluhan ribu menuju Kerajaan Majapahit untuk misi perdamaian. Berbagai peristiwa dialami gadis tangguh itu, mulai dari persahabatan dengan seorang gadis di Simongan dan sempat terjadi pertempuran di sana, pengkhianatan salah satu murid Laksamana Cheng Ho, jatuh hati pada salah satu pemuda Majapahit, perjuangan dan penantian bertahun-tahun untuk menyelamatkan cintanya, sampai perjuangan habis-habisan membela keluarganya.

Novel ini sarat nilai moral, tapi saya tidak akan membahas itu sekarang. Entah mengapa saya memilih untuk membahas kisah cinta alias bagian-bagian yang so sweet dalam novel yang banyak adegan pertarungan ini (itu sih bukan entah mengapa, tapi emang maunya, hahaha).

Meskipun yang berjuang mati-matian memperjuangkan cinta adalah Hui Sing alias Samita, tapi sangat jauh berbeda dari 'perjuangan' cinta seorang cewek yang ngejar-ngejar cowok di sinetron-sinetron. Apalagi sampai rebutan cowok dengan cara-cara yang, menurut saya, nggak elegan. Demi membuka kedok calon istri lelaki yang dicintainya, Sad Respati, Hui Sing rela berpisah dengan guru dan kakak seperguruannya untuk kembali ke Majapahit. Meskipun dua tahun terjebak di dasar jurang, toh semangat Hui Sing yang kemudian mengubah namanya menjadi Samita (satu-satunya kenang-kenangan dari Respati) tidak mengendur. Pada akhirnya, setelah dua tahun berusaha mendatangi Respati, mendapati lelaki itu telah menikah dan tampak bahagia, Samita tidak setega itu langsung menghancurkan kebahagiaan Respati. Barulah setelah 'didesak' oleh Mbok Rukmi, Samita memperjuangkan kebenaran itu. Tidak meledak-ledak, Samita justru hanya mengucapkan beberapa kalimat saja. Menurut saya, itu keren dan elegan.

Sampai di situ, Samita tidak langsung memperoleh cintanya. Respati, yang kemudian mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Rakryan Rangga Majapahit setelah berpisah dengan istrinya, pergi untuk mencari hakikat hidupnya. Lagi-lagi, selama dua tahun Samita hanya menunggu, mengawasi, dan menjaga lelaki itu dari jarak tertentu yang bahkan tidak disadari oleh Respati.

Kendati perjalanan mereka meraih cinta tidak dengan kontak yang intens, tiada sentuhan, bahkan bertatapan pun tidak berlebihan, namun saya tetap merasakan keromantisan (atau so sweet-nya) kisah mereka. Ketika kemudian mereka menikah (yah, jadi saya bocorin nih ceritanya hahaha), saya, yang padahal cuma sebagai pembaca dan sayangnya BUKAN pelaku (-_-"), sampai mukul-mukul bantal saking girangnya (oke, saya memang lebay kalau baca novel, bisa sampai nangis-nangis atau ketawa-ketawa sendiri). Yaa, meskipun kebahagiaan itu ada jangka waktunya, sih.

Well, secara umum saya suka dengan karakter Samita dan Respati. Keduanya sama-sama strong, berhati lembut, dan berjiwa ksatria. Kyaaaaaa!! Jadi mau senyum-senyum bayangin Respati #ups #dihajarsamita wkwkwkwk :p

Oia, selain Samita-Respati, ada lagi pasangan yang diceritakan di novel ini, Ramya dan Windriya. Pasangan ini memang tidak bernasib sebaik Samita-Respati, dan saya cukup merasa tersayat-sayat membaca kisah mereka seperti alunan kecapi yang dimainkan Dewi Kecapi Maut yang menyayat hati. Kalau suka yang galau-galau, pasangan ini pas nih. Harmonisasi kecapi yang berpadu dengan seruling yang dimainkan sepenuh hati, syair-syair cinta, penantian panjang, ayam panggang (lho? Kok ada ayam panggang segala? Hehe, maksudnya, pertama kali mereka bertemu itu selain karena suara seruling Windriya, juga karena aroma ayam panggangnya yang menggoda perut Ramya), pas deh membuat perasaan jadi galau. Yah, meskipun saya masih nggak bisa bayangin ada orang yang rela hidup di pinggir jurang untuk waktu yang tak terbatas demi menunggu seseorang yang entah bagaimana nasibnya setelah jatuh ke jurang yang sangat dalam itu, karena, menurut saya, itu agak... konyol. Nggak move on, gitu. Hehehe. Tapi, karena saya sendiri belum pernah mengalami cinta yang sebegitu dalamnya, jadi mungkin saya terlalu kejam menilainya. Apalagi, ternyata yang dinanti-nantikannya akhirnya benar-benar muncul beberapa tahun kemudian. So sweet-nya lumayan 'dapet' juga meski tidak berakhir menyenangkan.

Yak, meskipun tulisan ini seperti mengulas rasa gula dalam sayur sop (ini sayur sop bikinan mama saya lho, entah yang lain pada pake gula apa nggak), alias hanya secuil dari banyak sekali hal yang bisa diulik dari novel ini, tapi saya ingin menunjukkan, bahwa keromantisan itu nggak hanya bisa dibangun dengan kata-kata "aku cinta padamu" dan sejenisnya, pacaran, dan/ataupun kontak secara fisik. Bukan bermaksud menyindir, menceramahi, apalagi ngajak ribut, lho. Just wanna share my opinion saja :) Seperti yang saya tulis barusan, nggak "hanya", jadi yang saya sebutkan kemudian itu memang bisa juga menjadi romantis, misalnya mama saya hobi banget mengumbar kata-kata yang membuat muka papa saya merah, terlebih setelah anak-anaknya udah pada gede dan sudah cukup bisa memahami. 

Sekian :)

Pasif

Saya baru saja akan bersiap-siap pergi ketika mendapati cuaca yang tampaknya hendak menghalang-halangi niat saya. Langit yang rata berwarna kelabu itu dengan pongah memagari langkah. Saya terpekur, merasa tidak perlu lagi melanjutkan niat saya semula. Mama menghampiri sambil tersenyum menenangkan.

"Ade bantuin mama di rumah aja kalau begitu. Insya Allah itu pahala juga," ujarnya sambil tetap tersenyum, memahami kecewa yang tergurat di wajah saya.

Saya pun mengangguk, mengerti bahwa tidak perlu membuat seseorang kesal jika saya bahkan hanya menanyakan izin darinya. Lelaki yang dengan cemas memikirkan putrinya jika tidak berada dalam jangkauannya saat cuaca seperti ini.

Kamis, 10 Januari 2013

Jangan SOK [gak] PENTING!

"Kalian jangan merasa SOK nggak penting," senior saya di SMA pernah mengatakan kalimat yang intinya seperti itu. Saya, dengan wajah tertunduk karena merasa tertusuk mendengar kalimatnya, hanya menggerutu dalam hati, 'Siapa yang sok? Saya memang tidak penting di sini.'

Ya, sering sekali saya berpikir bahwa keberadaan saya tidak penting, tidak dibutuhkan, bahkan hanya mengganggu dan menyusahkan. Akan lebih baik jika saya tidak ada saja.

Tapi, apa memang betul seperti itu?

Kenyataannya, justru ke-sok-[nggak]-penting-an saya itu yang menyusahkan banyak orang. Saya mempertahankan ke-bayang-bayang-an saya, alias mempertahankan posisi sebagai bayang-bayang, yang tidak dipedulikan dan tidak berpengaruh apapun. Atau, sebenarnya, tidak mempedulikan dan tidak terpengaruh apapun? Entahlah. Yang jelas, saat memikirkannya, saya merasa telah menjadi orang yang jahat. Bagaimana tidak? Keberadaan saya, meskipun mungkin tidak lebih baik daripada jika sejak semula saya memang tidak berada di sana, telah menimbulkan konsekuensi baik bagi orang-orang di dalamnya selain saya maupun saya sendiri. Bagaimanapun, saya telah berada di dalamnya. Keacuhan, kepasifan, dan tindakan bayang-bayang lainnya, sedikit banyak merugikan mereka, orang-orang selain saya yang berada dalam, katakanlah, kelompok. Mereka berhak mendapatkan kinerja yang baik dari saya sebagai anggotanya, tetapi saya tidak memberikannya.

Kalau saya pikir, perasaan sok [nggak] penting itu bisa jadi terkait dengan self esteem saya, alias penghargaan saya terhadap diri saya sendiri. Saya merasa diri saya tidak cukup berharga di dalam kelompok, sehingga saya merasa keberadaan saya tidak diperlukan. Saya merasa seperti kutu, harus dibuang jauh-jauh. Masalahnya, apa mereka bisa, dan mau, membuang saya? Mereka orang-orang baik, yang masih saja memberikan saya kesempatan untuk berubah. Saya sudah, katakanlah (meskipun terkesan agak kejam), terlanjur masuk di dalamnya, dan mereka pun telah terlanjur menerima saya. Lain halnya jika saya memang tidak pernah masuk sebelumnya. Terlanjur yang saya maksud di sini bisa diawali dengan memilih maupun terpilih, alias masuknya saya dalam kelompok bisa saja karena saya sebelumnya pernah memilih untuk masuk kelompok tersebut (misalnya kelompok bermain) maupun saya tiba-tiba saja berada di dalamnya tanpa saya pernah memintanya (misalnya keluarga). Bagaimanapun awalnya, pada akhirnya saya adalah bagian dari kelompok itu, yang tentunya menimbulkan konsekuensi seperti yang saya tuliskan sebelumnya.

Pada akhirnya, kata "konsekuensi" itulah yang membuat saya tersadar, bahwa baik yang saya lakukan maupun yang tidak saya lakukan tetap memiliki konsekuensinya. Sebagai orang yang ingin menjadi manusia yang bertanggung jawab, saya harus konsekuen, siap menerima segala konsekuensi dari apa yang saya lakukan ataupun tidak lakukan itu. 

Jadi, pantas kah saya tetap merasa sok [nggak] penting?



-renungan pagi hari terhadap diri sendiri-

Rabu, 09 Januari 2013

Latah

Kalau dipikir-pikir, saya itu ternyata orangnya latah. Bukan latah yang "Eh, copot!" atau lebih parahnya (kayak tetangga saya) "Emak lu kodok!", pun gak sealim orang yang sebentar-sebentar bilang "Astaghfirullah", melainkan latah saya itu adalah "laper mata".

Melihat kata "laper mata", jangan pula bayangkan saya adalah gadis yang doyan shopping dengan mata berbinar-binar saat melihat deretan tas, sepatu, baju, celana, dan sebagainya itu. Baik di mall maupun pasar tradisional, radar saya tidak bekerja untuk barang-barang semacam itu. Kalau makanan, itu lain lagi :p

Lebih tepatnya, yang saya maksud dalam tulisan ini adalah "laper mata" yang beda lagi, karena kalau makanan sih, selain laper mata, juga laper lidah dan laper perut, hehehe.

Saya itu sering banget pengen ini, pengen itu, persis kayak lagunya Doraemon, "Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini, ingin itu, banyak sekali..." Sayangnya, tidak semuanya dapat dikabulkan karena memang saya tak punya kantong ajaib :D

Melihat seseorang melakukan sesuatu, saya ingin menirunya. Melihat orang yang lain berbuat hal yang berbeda lagi, saya pun ingin mengikutinya. Berjiwa follower banget, ya? Hahaha. Itu dia yang membuat saya sempat nge-update status di akun facebook saya yang bunyinya "memang ada banyak jalan menuju roma, tapi karena banyaknya itu sampai bingung milih yang mana -.-"

Saya melihat begitu banyak orang baik dengan kebaikannya masing-masing. Mereka, walaupun dengan cara yang berbeda, memiliki kesamaan: nilai kebaikan dalam kegiatannya masing-masing. Betapa... membuat iri, bukan? Setidaknya, saya dibuat iri karenanya.

Karena kelatahan saya itu, saya menjadi kurang fokus. Banyak kegiatan yang saya lakukan dengan setengah-setengah, sehingga hasilnya pun gak optimal. Akhirnya, saya dibuat bingung oleh diri saya sendiri. Gak seperti kalimat dalam iklan salah satu minuman bersoda: Kutahu yang kumau, saya masih sering bingung dengan apa yang saya mau. Oh, atau sebenarnya saya tahu, tapi tidak tahu caranya. Banyak jalan menuju Roma, bukan?

Pada akhirnya, saya pikir saya memang harus memilih. Di antara pilihan-pilihan yang baik, memilih yang mana pun tetap baik, bukan?

Tapi, rela kah saya meninggalkan jalan yang tidak saya pilih?