Kamis, 01 Maret 2012

3 Hari untuk Selamanya (aamiin) part 1

Day 1

Resah. Entah berapa kali saya menghembuskan napas keras-keras, berharap dengan begitu hal yang mengganjal di hati saya ikut keluar bersama karbondioksida dan uap air dari tubuh saya. Seandainya… kalau saja… dan puluhan kalimat-kalimat pengandaian lain menyuarakan penyesalan saya atas keputusan yang saya buat: ikut pelantikan Gandewa (ukm penggiat alam-nya FPsi UI). Sungguh, semakin mendekati hari H, semakin tegang perasaan saya. Satu hal yang sangat saya takuti dan membuat penyesalan saya bertambah berkali-kali lipat adalah: takut hanya menjadi beban. Perasaan itu begitu, saya tekankan, begitu kuat menyerang saya. Kalau beberapa bulan lalu saya tidak menempelkan kertas bertuliskan huruf-huruf besar berbunyi KONSEKUEN di cermin kamar kost tempat saya tinggal, mungkin saya akan nekat menghubungi panitia dan membatalkan niat saya mengikuti pelantikan. Untungnya, perasaan takut akan tindakan tak bertanggungjawab karena pengumuman yang mendadak itu pasti membuat segala rencana yang telah dirancang bersama teman-teman menjadi berantakan, ikut menghalangi saya dari perbuatan pecundang itu.


Oh, God, tapi saya benar-benar sakit perut dibuatnya. Rasa melilit tidak jelas seolah berusaha mencekik saya kala itu.

Laa hawla walaa quwwata illaa billaah. Tiada daya dan kekuatan selain dari Allah. Mungkin kalau bukan karena mencamkan kalimat ini dalam benak saya, saya benar-benar menjadi seorang looser sekarang. Pecundang yang dikalahkan ketakutannya sendiri.

Rencana berkumpul di Fakultas Psikologi UI pukul 6 pagi terpaksa ngaret karena beberapa hal. Salah satunya karena tukang sayur tempat Anah akan membeli sayur untuk dibawa saat pelantikan entah mengapa pagi itu kesiangan. Anah dan satu atau dua ibu sudah menunggu cukup lama di depan warung si tukang sayur ketika bapak itu datang terburu-buru sampai motornya ambruk saat ia hendak menurunkan barang belanjaan yang hendak dijualnya. Beberapa menit kemudian, Anah berhasil membawa sayur-sayuran pesanannya dan bersama saya pergi ke kampus. Di Student Center FPsi UI, beberapa teman yang sudah datang terlihat sedang cukup sibuk memasukkan bahan makanan yang baru dibeli.

Sekitar setengah jam setelah waktu yang direncanakan, kami berkumpul di depan KanLam untuk briefing. Setelah diberi arahan, kami menyempatkan diri berfoto sebanyak 2 jepret di Akademos sebelum berangkat.

Karena keterlambatan pula, rencana naik Commuter Line terpaksa digantikan dengan KRL Ekonomi tujuan Bogor. Hari Kamis pagi itu kereta tidak terlalu padat (kata Teh Tuti itu belum bisa disebut padat untuk ukuran KRL Ekonomi Bogor) walaupun kami harus berdiri cukup rapat satu sama lain. Setidaknya kami bisa meletakkan carrier di lantai kereta dan makan martabak yang dibawa Tata untuk mengganjal perut. Seperti biasa, agak geer juga dilihat oleh beberapa pasang mata yang memandang kami dengan tatapan “wiih, kereeen!”. Yah, mungkin saja saya salah mempersepsikan tatapan itu, tapi saya senang menginterpretasikannya demikian. Oh ya, tentunya ada keuntungan menggunakan KRL Ekonomi daripada Commuter Line, yaitu ongkos yang kami siapkan 7000 berkurang drastis menjadi 2000 rupiah. Asiik :D

Sesampainya di Stasiun Bogor, beberapa dari kami membeli makanan untuk makan siang. Teh Tuti dan Rima tampak cukup lama di warung nasi

pada saat yang lain sibuk foto-foto (termasuk saya, hehe)

sedangkan Anah dan Nipeh memfotokopi kartu-kartu identitas yang lupa difotokopi. Mungkin sekitar 15 menit kemudian, kami (yang kurang kerjaan ini) menuju tempat angkot yang sudah dipesan sebelumnya. Agak susah juga menemukan angkot itu, ternyata, karena Taman Topi tidak kecil, sehingga informasi “di Taman Topi” saja sangat kurang spesifik. Sambil menunggu Nadila yang sibuk menghubungi si tukang angkot, Nadya bersedekah pada kucing malang di pinggir taman tempat kami menunggu itu. Beberapa potong kecil kue cokelat diberikan Nadya pada si kucing. Kautsar sempat memprotes karena khawatir cokelat bisa meracuni kucing (kata Kautsar cokelat itu beracun untuk anjing), tetapi melihat kondisi kucing kelaparan itu baik-baik saja, mungkin kucing itu akan tetap baik-baik saja. Lagipula, niat Nadya kan baik :D

Setelah berhasil menemukan angkot pesanan, kami langsung masuk sambil menunggu teman-teman lain yang masih membeli makan siang. Setelah semuanya sudah mendapat tempat di dua angkot itu, angkot pun melaju. Di angkot satu ada 8 penumpang. 

Hari di depan, di samping supir angkot. Di belakang ada Kak Bianca, Kak Fira, Nipeh, dan Kamal di bangku panjang yang biasa ditempati 6 orang, serta Teh Tuti, Bimo, dan saya di bangku yang lain. Carrier-carrier ditumpuk sedemikian rupa di tengah-tengah angkot. Namun, karena susunannya kurang pas, beberapa dari kami terpaksa terjepit. Nipeh sampai hampir bisa keluar dari jendela saking terjepitnya. Saya sendiri yang belum sarapan terpaksa makan nasi kuning yang saya beli di depan kostan dengan posisi yang, alamak, terlihat kurang enak banget dilihat. Hahaha. Jalanan yang membuat suasana dalam angkot cukup asik buat joget membuat nasi kuning saya berhambur-hamburan. Setelah selesai makan, saya menyempatkan diri memotret suasana dalam angkot, plus Anah dan Nadila di angkot belakang. Oh ya, di angkot belakang itu ada Anah dan Nadila di samping supir, serta Gugum, Kautsar, Izzat, Nadya, Rima, Tata, dan Kak Putri di bagian belakang (entah susunan duduknya gimana hehe).

Sayangnya, perjalanan dengan dua angkot yang disewa dengan harga 200ribu rupiah itu terpaksa berhenti selama 15 menit karena angkot belakang mogok. Untungnya angkot depan berhenti di depan sebuah toko swalayan, jadi kami mampir untuk beli minum dan penggaris, hehe. Bimo dan Nipeh (kalau tidak salah) juga sempat mengatur ulang posisi carrier-carrier agar perjalanan selanjutnya bisa lebih pewe. Setelah angkot belakang bisa berjalan dengan penumpangnya yang terpaksa turun dan berjalan kaki sampai tempat angkot satu berhenti, perjalanan dilanjutkan.

Di angkot satu, Nipeh dan saya sempat bernanyi bersama. Sangat lumayan untuk mengurangi ketegangan saya. Saat Nipeh menyanyikan lagu You Belong with Me-nya Taylor Swift, saya yang tidak hafal hanya menggoyang-goyangkan kepala saja.

Sesampainya di pos Telaga Warna, angkot berhenti dan kami pun turun. Sesuai rencana, kami melanjutkan perjalanan dengan truk yang kami sewa seharga 200ribu rupiah juga untuk mengantar kami sampai LC. Di truk, sebagian besar caang (calon anggota Gandewa) menyempatkan diri menggunakan tabir surya untuk melindungi kulit. Saya sendiri hanya berkata, “Iya, nanti saja,” ketika ditawari. Saya tidak menggunakannya karena agak takut menggunakan produk kimia yang saya belum tahu apakah cocok dengan kulit saya atau tidak. Karena, yaaah, saya sudah cukup kapok dengan jerawat-jerawat di muka yang sangat peka terhadap berbagai hal ini. Lebih baik gosong dengan warna cokelat kemerah-merahan seperti biasa jika saya kepanasan, daripada jerawat saya makin menggila. Selain saya, teh Tuti juga tidak pakai sunblock, entah mengapa.

Di truk, kami sempat membahas berbagai hal, termasuk film. Kami sempat mengungkit film Ada Apa dengan Cinta? yang sehari sebelumnya merayakan 10 tahun film tersebut. Beberapa film yang tidak saya tahu membuat saya berkata dalam hati, “Wah, gue harus lebih banyak nonton film lagi!”. Yah, mudah-mudahan saja saya bisa mewujudkannya di tengah 24 sks yang saya ambil semester ini.

Sekitar pukul 11 kami sampai di LC. Dalam MP, kami berencana untuk makan dan solat dzuhur dulu di LC sebelum naik ke KNOL, tetapi pada praktiknya kami mengubah rencana. Kami memutuskan untuk langsung naik ke KNOL dan makan serta solat dzuhur di sana.

Sempat salah jalan di bibir hutan, kami berjalan kaki menuju KNOL selama kurang lebih 45 menit. Sesampainya di KNOL kami melepas lelah sejenak lalu membuka bekal yang telah dibeli di Stasiun Bogor. Kecuali Izzat yang memakan bekal pribadinya, kami menyantap nasi putih dengan lauk telur dicabein dan tempe orek yang terasa benar-benar nikmat. Menjelang akhir makan, hujan mulai turun. Kami solat dzuhur dan menjamak ashar dengan mengenakan rain coat masing-masing. Sebelum memulai agenda panitia, kami berfoto-foto dengan rain coat aneka warna kami.

Sekitar pukul satu atau setengah dua, agenda yang disiapkan panitia dimulai. Kami ditugaskan untuk melakukan man to man perkelompok. Terjadi insiden di kelompok 3 saat itu. Tanpa sengaja tangan Nipeh tergores golok yang hendak digunakan untuk menebas pepohonan yang menghalangi jalan. Lukanya cukup dalam, sehingga darah yang keluar cukup banyak. Saya yang ikut panik saat itu mencoba menanyakan Nipeh selaku medis di kelompok kami di mana peralatan kesehatan berada, karena yang saya bawa hanya obat merah dan plester. Nipeh yang tepar saat itu cukup lama terdiam sebelum menjawab bahwa ia memasukkannya di carrier saya saat saya belum datang tadi pagi. Saya langsung mengeluarkan kasa dari plastik di carrier yang (bodohnya saya) tidak saya sadari keberadaannya itu. Kamal yang berpengalaman di PMR pun membantu mengobati dan membalut luka Nipeh. Selang beberapa waktu, kami pun memulai perjalanan.

Dengan soknya, saya mencoba mengajukan diri menjadi golokman (istilah yang kami gunakan untuk orang yang menebas-nebas pohon alias membuka jalan). Namun, karena keletoyan saya, Bimo menggantikan posisi saya mengingat waktu yang terbatas. Saya sempat menjadi kompasman (orang yang ngebidik pakai kompas) namun entah mengapa kurang PD sampai harus menyusahkan Nipeh yang tangannya lagi sakit untuk mengecek ulang. Walhasil sepanjang sisa perjalanan lebih sering Nipeh yang jadi kompasman, Kamal jadi targetman (orang yang jadi targetnya kompasman trus ngebidik balik buat ngecek), Bimo jadi golokman, dan saya jadi nganggurman (?). Sampai di sebuah tempat, kelompok lain udah mau berangkat lagi, bahkan ada yang udah berangkat dari tadi-tadi. Kami diminta beristirahat sejenak dan menunggu waktu beberapa menit setelah kelompok sebelumnya berangkat. Di situ saya mencoba belajar untuk menebas pohon. Bimo mengajari saya. Katanya, menebas itu caranya bukan memotong melintang (horizontal), melainkan diagonal. Sesekali melintang boleh, tapi diagonalnya lebih sering, karena akan memudahkan. Saya mencoba mengikuti sarannya, dan memang benar, lebih enak kalau memotongnya diagonal. Tapi kursus singkat dadakan itu tentunya tidak cukup membuat saya semahir Bimo. Oleh karena itu, yang menjadi golokman tetap Bimo.

Perjalanan pun dilanjutkan sampai tibalah kami di sebuah tempat. Di tempat itu, kami diminta membuat bivak buatan sendiri-sendiri untuk kami tidur sendiri-sendiri pula. Kami langsung menyebar di area itu untuk mencari tempat yang nyaman. Alhamdulillah, saya mendapat tempat yang cukup nyaman walaupun agak di bawah. Ada sebidang tanah datar walaupun harus saya tebas beberapa pohon kecilnya. Setelah mengecek pohon-pohon yang hendak saya jadikan tempat mengikat tali, saya pun langsung memulai pekerjaan saya. Saya menggunakan sebatang pohon ramping yang cukup kokoh di sebelah pohon besar. Di ujung lain, saya mengikatkan tali saya pada pohon ramping lain yang kuat dan tidak goyang-goyang. Setelah itu saya menebas pohon-pohon kecil di area yang ingin saya jadikan tempat bermalam saya. Kemudian, saya menggantungkan ponco saya pada tali yang telah saya ikatkan sebelumnya, lalu melubangi ujung-ujungnya untuk saya ikatkan dengan akar-akar yang mencuat dari dalam tanah. Saya sempat terkejut mendapati tanah di depan bivak saya bisa saja teraliri air dari atas, jadi saya buat ganjalan dari batang-batang dan daun-daun agar kalau ada air yang mengalir lewat depan bivak saya, tidak melebar ke dalam bivak. Teringat pesan dari senior-senior pada diklat 3 lalu bahwa daun-daun bisa membuat hangat, saya memasukkan dedaunan untuk alas matras saya. Pun saya tambahkan daun-daun di sisi-sisi bivak saya yang terbuka sedikit di bagian bawahnya. Beruntung saya menempatkan bivak di sebelah pohon yang guedhe, jadi bagian belakang bivak saya terhalang dari hembusan angin. (Sayangnya saya lupa motret bivak saya :’( )

Di sebelah bivak saya ada bivak Nipeh. Mungkin karena luka di tangannya masih membuat shocked, Nipeh terlihat agak murung. Saya sangat khawatir kalau Nipeh sampai melamun. Namun, Nipeh mengatasinya dengan bersenandung. Saya mencoba membantu membuat bivak Nipeh yang belum jadi. Tak lama kemudian Rima dan saya lupa siapa (haduuuh maaaaaf :’( ) ikut membantu kami. Anah, yang diminta senior untuk memindahkan bivaknya yang terpisah agak jauh dari rombongan, mendirikan bivaknya di depan bivak saya. Saya berniat membantu tapi ternyata bivaknya sudah jadi, cepat sekali, hehe.

Teman-teman kami di atas ada yang membuat bivak untuk memasak. Kelompok 1 yang sering disebut-sebut dream team (saya tidak tahu siapa yang memulai) berjasa banyak sekali dengan menyumbang personel terbanyak untuk urusan makanan. Izzat, chef andalan angkatan kami, dibantu oleh beberapa teman lain sebagai asisten chef memasak makan malam kami. Setelah semua teman-teman sudah selesai dengan bivaknya masing-masing, kami makan bersama. Sungguh sesuatu ketika kami makan suap-suapan dalam keremangan cahaya senter dan headlamp. Salah satu momen yang unforgettable J

Setelah headlamp light dinner itu, kami ke bivak masing-masing untuk menunaikan sholat jamak maghrib-isya dan tidur. Suara-suara monyet dan binatang hutan lainnya meninabobokan kami.

Malam-malam entah pukul berapa, saya terbangun ketika melihat sorotan lampu senter di luar bivak saya. Ternyata kakak-kakak senior sedang memantau kami. Saya ditegur karena tidur tanpa sleeping bag dan masih mengenakan sepatu. Ya, sebelum tidur saya memang berpikir akan ada evaluasi pada malam hari, oleh karena itu saya memang tidak berniat tidur sebelumnya, hanya tidur-tiduran. Ternyata ketiduran beneran. Hehe. Akhirnya saya pun melepas sepatu dan memakai sleeping bag saya sebelum melanjutkan tidur. Saya jadi inget waktu masih SD dulu sering ketiduran pas ngerjain PR, trus orang tua saya ngebangunin dan nyuruh saya pindah ke tempat tidur. Huaaa, saya terharu banget. :”)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar