Jumat, 20 Januari 2017

Dimana Aku menjadi Aku






Berbeda dengan dua hari sebelumnya, ketika aku membaca pertanyaan #VoluntripChallenge #SepekanBercerita #Day3 ini dahiku berkerut. Dimana aku bisa menjadi diriku sendiri? 


Setelah mengerutkan kening, jujur saja yang terlontar di benakku adalah pertanyaan, bukannya jawaban. Memangnya diri sendiri itu yang seperti apa, ya?
 

Pertanyaan ini mengantarkanku pada sebuah percakapan sok filosofis dengan salah satu rekanku beberapa hari sebelumnya. Meski kami berbeda sudut pandang, kami sama-sama suka mempertanyakan diri ini. Mungkin juga bedanya adalah, dia merasa belum menemukan jawaban final, sedangkan aku merasa sudah menemukan jawaban sementara. Hehehe. Apa bedanya? Ya pokoknya beda.

Aku menerima dan mengakui bahwa pemahamanku dapat berubah kapanpun, seiring dengan pengalaman baru yang kualami dalam hidup. Tapi aku tidak hendak membahas mengenai pemikiran sok filosofisku sekarang, karena selain waktuku terbatas (FYI aku hanya bisa membuka blog di kantor setelah selesai mengerjakan tugas), aku tidak yakin dapat mengungkapkannya dengan jelas tanpa muter-muter bin ngawang

Singkatnya, yang aku pahami saat ini mengenai diriku adalah bahwa aku memiliki banyak peran dalam hidup. Aku sebagai anak, sebagai adik, sebagai pekerja, relawan, teman, tetangga, gadis Jawa, warga Indonesia, dan sebagainya, dan sebagainya. Kesemua peranku itu tentunya memiliki semacam 'aturan main' yang membuat wajahku bervariasi. Tata bahasaku ke teman mungkin tidak kupakai saat berbicara dengan orang tua murid privatku. Caraku tertawa di depanmu bisa jadi lain dengan senyum malu-malu meong di hadapan si dia. Tapi, aku sendiri tidak tahu tata bahasa seperti apa, gaya tertawa yang bagaimana, yang menunjukkan bahwa aku dalam keadaan yang aku banget. Bahkan terkadang ketika berada di tempat dan dengan orang-orang yang sama, aku bisa menjadi berbeda. Terkadang aku menjadi anak baik yang membuat mamaku sayang banget sampai mau menyisiri dan menguncir rambutku tanpa kuminta. Kadang pula aku menjadi anak bandel yang membuat mamaku sengaja membuat kegaduhan hanya agar aku bangun. Seringkali aku bersenandung seperti Cinderella sambil mencuci piring, tapi tak jarang pula aku melakukannya sambil ngedumel. Lalu, aku yang diriku sendiri itu yang seperti apa ya?

Kembali lagi ke pemahamanku mengenai diri, sejauh ini yang aku yakini tentang diri ini adalah kendati aku memiliki banyak peran, ada satu yang menjadi core-nya. Wajah dasar yang tanpa riasan apapun. Identitas yang tanpanya, peran-peranku yang lain tak akan ada.

Jawabannya mungkin terkesan agak serius. Aku menganggap bahwa statusku sebagai makhluk Allah adalah inti keberadaanku. Tanpa menjadi makhluk Allah, aku bahkan tidak ada di dunia ini, kan? Hihihi. Itulah yang menurutku menjadi inti dari keberadaanku. Status-status atau peran-peranku lainnya, tentu saja (harus) mengikutinya. Sebagai anak, aku harusnya menjadi anak yang sholehah, sebagai teman, harusnya aku menjadi teman yang saling mengingatkan dalam kebaikan #halah. Ya pokoknya kurang lebih  begitu lah pemahamanku mengenai diri. Meski aku pun sangat mengakui bahwa dalam menjalankan peran-peran tersebut, aku masih sangat jauh dari ideal, dalam artian sesuai dengan identitas utamaku itu.

Oke, rasanya cukup ya pemaparanku mengenai diri. Panjang, mbleber, dan tidak menjawab ya, hahaha. Mari kita kembali lagi ke pertanyaan ka Ombi yang super berat itu (dan membuatku jadi berpikir berat dan menulis agak berat). Untuk pertanyaan itu, aku merasa mendapat jawaban sore hari kemarin (tepat di hari pertanyaan ini diajukan oleh ka Ombi), yakni ketika aku menghadiri sebuah acara dari NGO terkemuka negeri ini yang sedang meluncurkan produk penelitiannya berupa peta kemiskinan. Selama acara berlangsung, aku hampir tidak kehilangan fokus. Aku bahkan sama sekali tidak mengantuk, meski pemaparan para pembicaranya cukup serius (baca: agak berat), waktunya siang hari setelah makan siang pula. Terlebih lagi, entah mengapa aku semacam merasa excited di dalamnya meski hanya menjadi penonton. Di tengah puluhan orang yang tak ku kenal itu, aku seperti merasa memiliki koneksi dengan atmosfer tema acaranya, merasa terhubung dengan pembahasannya, merasa se-visi dengan mereka, orang-orang yang peduli terhadap isu yang juga kupedulikan.

Maka, kendati tanpa berinteraksi banyak (karena acara itu didominasi interaksi satu arah, meski aku sempat bertanya dan dijawab oleh pembicaranya juga), aku merasa bahwa di tengah lingkungan seperti itulah aku menjadi diriku sendiri. Aku seperti bisa memeluk diriku sendiri saat itu, ketika setiap apa yang kudengar, kupikirkan, terhubung dengan perasaan bahwa untuk itulah aku diciptakan.

Hal itu juga kurasakan saat berdiskusi dengan mama, khususnya ketika membahas tentang hidup. Mama adalah salah satu orang yang dengannya aku merasa nyambung ketika mendiskusikan hal-hal mendasar dalam hidup. Hal-hal yang memunculkan kembali wajah asliku yang seringkali terhiasi topeng-topeng aturan main.

Perasaan itu juga kurasakan ketika bersama teman-teman relawan, yang meski dengan berbagai dinamika yang ada, kita tetap memiliki keterhubungan. Kita sama-sama peduli pada orang lain, pada lingkungan, pada makhluk-makhluk ciptaan Allah.


Maka, sudikah kamu menjadikan rumah kita sebagai tempat dimana aku menjadi diri sendiri?

Bagaimana Cara BANGKIT dari Kegagalan/Kekecewaan?

Tulisan ini tetap kuposting kendati aku telah menjawab tantangan di hari kedua melalui instagram. Mungkin kamu jadi akan sedikit lebih tahu tentang masa laluku hihi.
Peringatan : Tulisan ini cukup panjang dan penuh drama. Hahaha

---

Di hari kedua #VoluntripChallenge untuk #SepekanBercerita ini, pertanyaan yang diajukan Ka Ombi makin serius saja. Kata 'bangkit' pun diketik dengan capslock semua. Bahkan di-underline dengan garis tebal (yang entah kenapa) berwarna pink. Ngeri. Hahaha

Pertanyaan diawali dengan pertanyaan-pertanyaan pembuka : Pernah Kecewa? Pernah Gagal? Pernah terhianati? Pernah ada pada posisi benar-benar tak termotivasi?


Lagi-lagi, respon pertamaku adalah senyum. Senyum dengan tampang agak-agak bego, karena sambil berpikir. Hahaha. Sambil berjalan ke kantor, aku memikirkan cerita apa yang akan aku bagikan hari ini.

Sejauh ingatanku, aku sangat jarang merasa kecewa mendalam terhadap suatu hal karena (sepertinya) aku orangnya susah berharap. Mungkinkah karena kultur Jawa yang terkenal dengan ke-nrimo-annya itu mengalir dalam darahku? Entahlah, tapi kupikir sedikit banyak aku terpengaruh oleh 'ajaran' mamaku untuk senantiasa bersabar.. Mohon bersabar, ini ujian.. 

Sebenarnya, kalau kecewa-kecewa kecil seperti ditinggal kereta yang berangkat tepat di depan mata, bahkan ditinggal nikah oleh gebetan yang bahkan tidak tahu kalau aku ada (bacanya biasa saja ya, iyaa itu kecewa kecil saja, kok), aku tentu pernah mengalaminya. 

Kegagalan-kegagalan (yang menurutku juga biasa-biasa saja) juga seringkali kutemui. Gagal menurunkan berat badan? Sampai sekarang, hahaha. Tidak pernah terpilih menjadi petugas upacara sejak TK karena kurang tinggi? Tidak lolos seleksi menjadi pemain drum band (ekskul yang ngehitz saat aku SMP)? Tidak lolos seleksi olimpiade bahkan pada tahap paling awal (internal sekolah)? Tidak jadi lulus kuliah dalam waktu 3,5 tahun? Tidak kunjung dipanggil untuk interview setelah puluhan lamaran pekerjaan sudah kukirim? Tidak lolos seleksi pekerjaan bahkan ketika sudah di tahap paling akhir? Hanya bisa turut berbahagia (serius, bahagianya beneran) melihat keberhasilan teman-teman dekatku (ada yang sudah menerbitkan buku, ada yang menjadi mahasiswa berprestasi, ada yang dapat beasiswa, bahkan juga tidak sedikit yang sudah menikah)? Aku pernah. Mungkin terlalu sering sampai aku lupa berapa banyak 'kegagalan'ku. Tapi ya sudah, hidupku tidak luluh lantak juga, kan? Jadi, rasanya tidak usah ya aku ceritakan. Rasanya bukan hal yang amazing saja untuk bisa melalui hal-hal yang biasa seperti itu. 

Oke, oke, kalau kamu masih penasaran caranya. Sederhananya, aku orang yang memiliki kecenderungan pada internal locus of control. Kurang lebih artinya memandang keberhasilan/kegagalan adalah karena diri sendiri (kalau definisi versiku sendiri, tentu aku melibatkan Allah di dalamnya). Jadi, ketika menyaksikan keberhasilan orang lain dan aku hanya di bangku penonton, aku sadar betul bahwa Allah tidak memberikannya padaku karena aku tidak cukup pantas mendapatkannya. Usahaku masih jauh dari cukup. Ketika gebetan-ku menyebarkan undangan pernikahannya, aku juga kemudian menyadari bahwa kami memang tidak berjodoh.

Sederhana, bukan?

Tapi, kalau kamu mau salah satu contoh kepedihan dramatis yang kualami dan bagaimana aku melaluinya, boleh lah kupilihkan satu cerita hidupku. Hihihi.

Ada satu hal yang cukup membuatku menangis tersedu-sedu beberapa bulan lalu. Kekecewaan ini cukup mendalam buatku, karena cukup memporak-porandakan kepingan-kepingan hidup yang sedang aku susun (lebaaay hahahaha). 

Ini tentang karir. Aku memahami karir berbeda dengan pekerjaan (job). Sederhananya, karir lebih bersifat jangka panjang, sedangkan pekerjaan sebaliknya. Berdasarkan hasil browsing ketika aku membuat tulisan ini, perbedaan keduanya adalah seperti ini: A job can be just going to work to earn a paycheck. A career is a journey that includes all your jobs, experiences, and training in the same field or career cluster (MyMnCareers, n.d.). Jadi, bisa dibilang bahwa aku meyakini bahwa pekerjaanku adalah bagian dari upayaku membangun karir. Sama persis dengan perumpamaan yang disebutkan di web tersebut : If life were a video game, a job would be just one level. Having a career means that you are committed to playing the game to get better over time and advance to higher levels.

Jadi, kenapa aku menangis?
Aku menangis karena anak tangga pertamaku terpaksa kutinggalkan lebih cepat dari yang aku rencanakan. 

Tenang, aku tidak dipecat, kok. Hehehe. Alhamdulillah atasanku sebenarnya justru menyayangkan pengunduran diriku, meski beliau tidak bisa menahanku lebih lama.

I decided to resign from my first job because my parents told me to do so.


Tragis ya sepertinya. Seolah-olah orang tuaku sebelas-dua belas dengan orang tuanya Siti Nurbaya. Bedanya, Siti Nurbaya dipaksa menikah, aku dipaksa berpisah (dari pekerjaanku). Aku tidak tahu bagaimana reaksi Siti Nurbaya menanggapinya, yang jelas saat itu aku menangis sesenggukan.

Benar-benar tersedu.

Entah berapa kali aku ber-istikhoroh, bertanya kesana-sini, membuat coret-coretan tentang plus minus-nya jika aku resign dan jika tidak, kemudian menangis lagi saat kebingungan.

Pada awalnya, aku lebih banyak merasa kesal. Berbagai pikiran buruk hilir mudik di kepalaku, dan (jahatnya) itu tentang orang tuaku sendiri. Aku kecewa karena papaku sangat menunjukkan bahwa beliau tidak suka aku bekerja seperti itu pada saat itu. Bahkan kudengar beberapa kali papa bilang ke orang yang menanyakan aktivitasku bahwa aku belum bekerja!! Hey!! Tahu rasanya bagaimana? Sakitnya tuh di sini..

Padahal aku tahu dalam hatinya beliau mengakui bahwa pekerjaan seperti yang kulakukan saat itu adalah pekerjaan mulia..

Aku sempat kecewa habis-habisan pada beliau.

Beberapa waktu berlalu, aku merasa Allah menjawab doaku. Aku memang meminta yang terbaik, bukan meminta untuk bisa bertahan di pekerjaan itu. Perlahan-lahan aku mulai merasa tidak nyaman, lelah, seperti ada yang kurang tepat..

Aku pun sampai pada pemahaman bahwa yang baik belum tentu tepat. Aku tahu pekerjaan yang kulakukan baik. Tapi mungkin kurang tepat untukku saat itu. Aku terlalu terpaku pada rute hidup yang kususun, tanpa menyadari bahwa sesungguhnya aku hanyalah makhluk yang tidak tahu apa-apa.

Banyak jalan menuju Roma, bukan?

Seperti ketika aku ingin mem-posting tulisan ini di hari yang tepat namun ternyata tak bisa, karena blog-ku tidak bisa dibuka di rumah. I've tried, even several ways, to do that.

Tapi toh ada hal-hal yang berada di luar kapasitasku. Mungkin di situ lah aku (sebagai orang yang memiliki kecenderungan internal locus of control tadi) diuji.

Jadi, yang kulakukan adalah mencari rute baru. Rute yang mungkin sangat berbeda dengan rute yang kurencanakan semula. Bisa jadi itu cara Allah menuntunku, kan?

Maka, sungguh benar apa yang dikatakan oleh MC kondangan yang suaranya viral itu:

Mohon bersabar.. :)


P.S. : Aku pernah membuat sebuah rekaman curhat di akun soundcloud-ku tentang "Yang Baik Belum Tentu Tepat" itu. Monggo kalau mau dengar di 13amelya :D hehe. Peringatan: kamu bisa saja bosan mendengarnya.

Selasa, 17 Januari 2017

Apa yang Kamu Pikirkan Hari Ini?

Jujur saja, aku tersenyum ketika membaca pertanyaan itu. Seperti yang ada di kolom status facebook bukan, sih? Maklum, sudah lama aku tidak menggunakan media sosial itu. Aku hanya sesekali saja membukanya jika ada link yang aku tuju mengarah ke sana. Kalau diingat-ingat, sudah lama pula aku tidak meng-update status di facebook. Lebih pengen update status di KTP sih wkwkwk. 


Bicara soal status, aku jadi teringat sesuatu. Kalau kamu berusia sebaya denganku, sepertinya kamu akan tahu pembicaraanku mengarah kemana, hahaha. Jadi aku tak usah muter-muter ya menjelaskannya >,<

Pernikahan. Itu adalah salah satu yang seringkali muncul di lingkungan pergaulanku beberapa bulan (atau tahun?) ini. Prosesi yang sebenarnya singkat saja, tapi sangat mengubah status, bahkan juga hidupmu. Dari yang semula anak gadis, menjadi istri orang. Semula dikasih uang jajan oleh orang tua (malu meeel masih suka minta jajan sama ortu -_-), jadi dijajanin sama orang. Semula berbaktinya sama orang tua yang sudah merawat sejak masih di kandungan, jadi membaktikan diri pada... orang yang baru kenal berapa lama?

Senantiasa dikelilingi topik tersebut, aku jadi ikut-ikutan memikirkannya #alasan. Tapi sejujurnya aku juga bingung sih apa yang mau dipikirkan mengenai ini wkwkwk. Baru tadi pagi saat di kereta aku iseng browsing soal persiapan pernikahan. Kuakui aku masih merasa malu untuk mengikuti kajian-kajian yang membahas soal ini. Jadi, aku baca saja blog-blog orang yang membahasnya.

Berdasarkan beberapa tulisan yang aku baca, serta hasil mengingat wejangan dari salah satu rekan yang sudah menikah, salah satu yang penting untuk aku pikirkan adalah tujuan menikah.

Untuk apa aku menikah?

Jadi, sepertinya mulai hari ini aku akan memikirkan itu. Kalau di skripsi, itu sih masih di bab satu ya, hihihi.


P.S. : Tulisan ini adalah jawaban dari #VoluntripChallenge #SepekanBercerita yang dilontarkan oleh  Kak Ombi