Minggu, 27 Januari 2013

. . .

Haaahh, saya terkena writer's block, alias nggak tahu lagi mau nulis apa.
Trus ngapain saya nulis ini?
Entah. Sekadar mencurah lelah.

Kau pernah menuliskan lagu yang mengundang jemariku menari
Tapi saat kau nyanyikan, jemariku beku

Kau memang (mungkin) tak akan pernah menonton tarian jemariku
Tapi hanya dengan mengingatmu, jemariku demam panggung luar biasa




Padahal aku tak menyukai terik di kala hujan
Tapi kau terlalu menarik untuk kuabaikan

Jumat, 18 Januari 2013

Romantis

Belum lama ini saya membaca novel "Samita: Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho" karya Tasaro terbitan DAR! Mizan. Novel fiksi historis itu berlatar masa keruntuhan Majapahit, jadi saat membaca beberapa nama tokohnya, saya teringat pelajaran Sejarah beberapa tahun lalu (kayak udah lama banget ninggalin bangku sekolah aja, hehe).

Novel ini mengisahkan seorang gadis bernama Hui Sing, yang diceritakan merupakan murid paling muda dan perempuan satu-satunya dari tiga murid Laksamana Cheng Ho. Hui Sing ini selain cerdas juga jago bela diri Thifan. Bersama kakak-kakak seperguruannya, Hui Sing ikut dalam perjalanan sang guru yang memimpin armada Kerajaan Ming sejumlah puluhan ribu menuju Kerajaan Majapahit untuk misi perdamaian. Berbagai peristiwa dialami gadis tangguh itu, mulai dari persahabatan dengan seorang gadis di Simongan dan sempat terjadi pertempuran di sana, pengkhianatan salah satu murid Laksamana Cheng Ho, jatuh hati pada salah satu pemuda Majapahit, perjuangan dan penantian bertahun-tahun untuk menyelamatkan cintanya, sampai perjuangan habis-habisan membela keluarganya.

Novel ini sarat nilai moral, tapi saya tidak akan membahas itu sekarang. Entah mengapa saya memilih untuk membahas kisah cinta alias bagian-bagian yang so sweet dalam novel yang banyak adegan pertarungan ini (itu sih bukan entah mengapa, tapi emang maunya, hahaha).

Meskipun yang berjuang mati-matian memperjuangkan cinta adalah Hui Sing alias Samita, tapi sangat jauh berbeda dari 'perjuangan' cinta seorang cewek yang ngejar-ngejar cowok di sinetron-sinetron. Apalagi sampai rebutan cowok dengan cara-cara yang, menurut saya, nggak elegan. Demi membuka kedok calon istri lelaki yang dicintainya, Sad Respati, Hui Sing rela berpisah dengan guru dan kakak seperguruannya untuk kembali ke Majapahit. Meskipun dua tahun terjebak di dasar jurang, toh semangat Hui Sing yang kemudian mengubah namanya menjadi Samita (satu-satunya kenang-kenangan dari Respati) tidak mengendur. Pada akhirnya, setelah dua tahun berusaha mendatangi Respati, mendapati lelaki itu telah menikah dan tampak bahagia, Samita tidak setega itu langsung menghancurkan kebahagiaan Respati. Barulah setelah 'didesak' oleh Mbok Rukmi, Samita memperjuangkan kebenaran itu. Tidak meledak-ledak, Samita justru hanya mengucapkan beberapa kalimat saja. Menurut saya, itu keren dan elegan.

Sampai di situ, Samita tidak langsung memperoleh cintanya. Respati, yang kemudian mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Rakryan Rangga Majapahit setelah berpisah dengan istrinya, pergi untuk mencari hakikat hidupnya. Lagi-lagi, selama dua tahun Samita hanya menunggu, mengawasi, dan menjaga lelaki itu dari jarak tertentu yang bahkan tidak disadari oleh Respati.

Kendati perjalanan mereka meraih cinta tidak dengan kontak yang intens, tiada sentuhan, bahkan bertatapan pun tidak berlebihan, namun saya tetap merasakan keromantisan (atau so sweet-nya) kisah mereka. Ketika kemudian mereka menikah (yah, jadi saya bocorin nih ceritanya hahaha), saya, yang padahal cuma sebagai pembaca dan sayangnya BUKAN pelaku (-_-"), sampai mukul-mukul bantal saking girangnya (oke, saya memang lebay kalau baca novel, bisa sampai nangis-nangis atau ketawa-ketawa sendiri). Yaa, meskipun kebahagiaan itu ada jangka waktunya, sih.

Well, secara umum saya suka dengan karakter Samita dan Respati. Keduanya sama-sama strong, berhati lembut, dan berjiwa ksatria. Kyaaaaaa!! Jadi mau senyum-senyum bayangin Respati #ups #dihajarsamita wkwkwkwk :p

Oia, selain Samita-Respati, ada lagi pasangan yang diceritakan di novel ini, Ramya dan Windriya. Pasangan ini memang tidak bernasib sebaik Samita-Respati, dan saya cukup merasa tersayat-sayat membaca kisah mereka seperti alunan kecapi yang dimainkan Dewi Kecapi Maut yang menyayat hati. Kalau suka yang galau-galau, pasangan ini pas nih. Harmonisasi kecapi yang berpadu dengan seruling yang dimainkan sepenuh hati, syair-syair cinta, penantian panjang, ayam panggang (lho? Kok ada ayam panggang segala? Hehe, maksudnya, pertama kali mereka bertemu itu selain karena suara seruling Windriya, juga karena aroma ayam panggangnya yang menggoda perut Ramya), pas deh membuat perasaan jadi galau. Yah, meskipun saya masih nggak bisa bayangin ada orang yang rela hidup di pinggir jurang untuk waktu yang tak terbatas demi menunggu seseorang yang entah bagaimana nasibnya setelah jatuh ke jurang yang sangat dalam itu, karena, menurut saya, itu agak... konyol. Nggak move on, gitu. Hehehe. Tapi, karena saya sendiri belum pernah mengalami cinta yang sebegitu dalamnya, jadi mungkin saya terlalu kejam menilainya. Apalagi, ternyata yang dinanti-nantikannya akhirnya benar-benar muncul beberapa tahun kemudian. So sweet-nya lumayan 'dapet' juga meski tidak berakhir menyenangkan.

Yak, meskipun tulisan ini seperti mengulas rasa gula dalam sayur sop (ini sayur sop bikinan mama saya lho, entah yang lain pada pake gula apa nggak), alias hanya secuil dari banyak sekali hal yang bisa diulik dari novel ini, tapi saya ingin menunjukkan, bahwa keromantisan itu nggak hanya bisa dibangun dengan kata-kata "aku cinta padamu" dan sejenisnya, pacaran, dan/ataupun kontak secara fisik. Bukan bermaksud menyindir, menceramahi, apalagi ngajak ribut, lho. Just wanna share my opinion saja :) Seperti yang saya tulis barusan, nggak "hanya", jadi yang saya sebutkan kemudian itu memang bisa juga menjadi romantis, misalnya mama saya hobi banget mengumbar kata-kata yang membuat muka papa saya merah, terlebih setelah anak-anaknya udah pada gede dan sudah cukup bisa memahami. 

Sekian :)

Pasif

Saya baru saja akan bersiap-siap pergi ketika mendapati cuaca yang tampaknya hendak menghalang-halangi niat saya. Langit yang rata berwarna kelabu itu dengan pongah memagari langkah. Saya terpekur, merasa tidak perlu lagi melanjutkan niat saya semula. Mama menghampiri sambil tersenyum menenangkan.

"Ade bantuin mama di rumah aja kalau begitu. Insya Allah itu pahala juga," ujarnya sambil tetap tersenyum, memahami kecewa yang tergurat di wajah saya.

Saya pun mengangguk, mengerti bahwa tidak perlu membuat seseorang kesal jika saya bahkan hanya menanyakan izin darinya. Lelaki yang dengan cemas memikirkan putrinya jika tidak berada dalam jangkauannya saat cuaca seperti ini.

Kamis, 10 Januari 2013

Jangan SOK [gak] PENTING!

"Kalian jangan merasa SOK nggak penting," senior saya di SMA pernah mengatakan kalimat yang intinya seperti itu. Saya, dengan wajah tertunduk karena merasa tertusuk mendengar kalimatnya, hanya menggerutu dalam hati, 'Siapa yang sok? Saya memang tidak penting di sini.'

Ya, sering sekali saya berpikir bahwa keberadaan saya tidak penting, tidak dibutuhkan, bahkan hanya mengganggu dan menyusahkan. Akan lebih baik jika saya tidak ada saja.

Tapi, apa memang betul seperti itu?

Kenyataannya, justru ke-sok-[nggak]-penting-an saya itu yang menyusahkan banyak orang. Saya mempertahankan ke-bayang-bayang-an saya, alias mempertahankan posisi sebagai bayang-bayang, yang tidak dipedulikan dan tidak berpengaruh apapun. Atau, sebenarnya, tidak mempedulikan dan tidak terpengaruh apapun? Entahlah. Yang jelas, saat memikirkannya, saya merasa telah menjadi orang yang jahat. Bagaimana tidak? Keberadaan saya, meskipun mungkin tidak lebih baik daripada jika sejak semula saya memang tidak berada di sana, telah menimbulkan konsekuensi baik bagi orang-orang di dalamnya selain saya maupun saya sendiri. Bagaimanapun, saya telah berada di dalamnya. Keacuhan, kepasifan, dan tindakan bayang-bayang lainnya, sedikit banyak merugikan mereka, orang-orang selain saya yang berada dalam, katakanlah, kelompok. Mereka berhak mendapatkan kinerja yang baik dari saya sebagai anggotanya, tetapi saya tidak memberikannya.

Kalau saya pikir, perasaan sok [nggak] penting itu bisa jadi terkait dengan self esteem saya, alias penghargaan saya terhadap diri saya sendiri. Saya merasa diri saya tidak cukup berharga di dalam kelompok, sehingga saya merasa keberadaan saya tidak diperlukan. Saya merasa seperti kutu, harus dibuang jauh-jauh. Masalahnya, apa mereka bisa, dan mau, membuang saya? Mereka orang-orang baik, yang masih saja memberikan saya kesempatan untuk berubah. Saya sudah, katakanlah (meskipun terkesan agak kejam), terlanjur masuk di dalamnya, dan mereka pun telah terlanjur menerima saya. Lain halnya jika saya memang tidak pernah masuk sebelumnya. Terlanjur yang saya maksud di sini bisa diawali dengan memilih maupun terpilih, alias masuknya saya dalam kelompok bisa saja karena saya sebelumnya pernah memilih untuk masuk kelompok tersebut (misalnya kelompok bermain) maupun saya tiba-tiba saja berada di dalamnya tanpa saya pernah memintanya (misalnya keluarga). Bagaimanapun awalnya, pada akhirnya saya adalah bagian dari kelompok itu, yang tentunya menimbulkan konsekuensi seperti yang saya tuliskan sebelumnya.

Pada akhirnya, kata "konsekuensi" itulah yang membuat saya tersadar, bahwa baik yang saya lakukan maupun yang tidak saya lakukan tetap memiliki konsekuensinya. Sebagai orang yang ingin menjadi manusia yang bertanggung jawab, saya harus konsekuen, siap menerima segala konsekuensi dari apa yang saya lakukan ataupun tidak lakukan itu. 

Jadi, pantas kah saya tetap merasa sok [nggak] penting?



-renungan pagi hari terhadap diri sendiri-

Rabu, 09 Januari 2013

Latah

Kalau dipikir-pikir, saya itu ternyata orangnya latah. Bukan latah yang "Eh, copot!" atau lebih parahnya (kayak tetangga saya) "Emak lu kodok!", pun gak sealim orang yang sebentar-sebentar bilang "Astaghfirullah", melainkan latah saya itu adalah "laper mata".

Melihat kata "laper mata", jangan pula bayangkan saya adalah gadis yang doyan shopping dengan mata berbinar-binar saat melihat deretan tas, sepatu, baju, celana, dan sebagainya itu. Baik di mall maupun pasar tradisional, radar saya tidak bekerja untuk barang-barang semacam itu. Kalau makanan, itu lain lagi :p

Lebih tepatnya, yang saya maksud dalam tulisan ini adalah "laper mata" yang beda lagi, karena kalau makanan sih, selain laper mata, juga laper lidah dan laper perut, hehehe.

Saya itu sering banget pengen ini, pengen itu, persis kayak lagunya Doraemon, "Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini, ingin itu, banyak sekali..." Sayangnya, tidak semuanya dapat dikabulkan karena memang saya tak punya kantong ajaib :D

Melihat seseorang melakukan sesuatu, saya ingin menirunya. Melihat orang yang lain berbuat hal yang berbeda lagi, saya pun ingin mengikutinya. Berjiwa follower banget, ya? Hahaha. Itu dia yang membuat saya sempat nge-update status di akun facebook saya yang bunyinya "memang ada banyak jalan menuju roma, tapi karena banyaknya itu sampai bingung milih yang mana -.-"

Saya melihat begitu banyak orang baik dengan kebaikannya masing-masing. Mereka, walaupun dengan cara yang berbeda, memiliki kesamaan: nilai kebaikan dalam kegiatannya masing-masing. Betapa... membuat iri, bukan? Setidaknya, saya dibuat iri karenanya.

Karena kelatahan saya itu, saya menjadi kurang fokus. Banyak kegiatan yang saya lakukan dengan setengah-setengah, sehingga hasilnya pun gak optimal. Akhirnya, saya dibuat bingung oleh diri saya sendiri. Gak seperti kalimat dalam iklan salah satu minuman bersoda: Kutahu yang kumau, saya masih sering bingung dengan apa yang saya mau. Oh, atau sebenarnya saya tahu, tapi tidak tahu caranya. Banyak jalan menuju Roma, bukan?

Pada akhirnya, saya pikir saya memang harus memilih. Di antara pilihan-pilihan yang baik, memilih yang mana pun tetap baik, bukan?

Tapi, rela kah saya meninggalkan jalan yang tidak saya pilih?