Selasa, 25 September 2012

[Flash Fiction] Move On, Dear

Jejak air mata itu masih berbekas di kedua pipi tirusnya. Hidungnya yang kemerahan masih mengembang dan mengempis seirama napasnya yang tidak teratur. Rambut halus bak model iklan sampo yang sering kukuncir dan kukepang sedemikian rupa itu kini tak beda jauh dengan onggokan keset yang belum kucuci sejak seminggu yang lalu.

Sebagai teman sekamarnya, aku hanya bisa duduk di sampingnya, menawari tisu yang baru kubeli dari minimarket di ujung jalan. Sesekali mengelus punggungnya, atau merapikan rambutnya yang beterbangan ditiup kipas angin hingga menampar-nampar wajahku.

Aku belum tahu apa yang membuat sahabatku ini terlihat begitu nelangsa. Saat aku tinggal ke minimarket tadi, ia masih memamerkan deretan giginya yang dipagari kawat dengan bandul-bandul pink itu.

"Ando..." Ku dengar Ira mulai mengatakan sesuatu. Setelah setengah jam aku menunggunya bercerita, akhirnya ia mengeluarkan satu nama, pacarnya.

"Ando kenapa? Apa dia minta... putus?" Dengan sangat hati-hati aku menanyakannya. Sudah sejak beberapa hari yang lalu Ira dan Ando sering sekali bertengkar.

"Nggak," Ira mengusap air matanya lalu menatapku bingung.

Sebelum tatapannya berubah menjadi 'jadi-lo-ngarepin-gue-putus?', aku buru-buru menambahkan, "Maksud gue, apa Ando minta putusin sambungan teleponnya sama lo? Gitu."

Beruntung, Ira orang yang suka berpikiran positif. Ia menerima saja ucapanku barusan.

"Nggak, kok. Gue tadi mau bilang kalo Ando bentar lagi mau dateng. Lo tadi beli cemilan juga kan, Ta? Gue minta ya."

Aku mengangguk meski masih bingung. "Jadi, lo nangis karena apa?"

"Ooh, itu. Tadi nyokap gue nelepon, katanya hamster gue mati. Huaaaa." Ira kembali melanjutkan tangisnya sambil memelukku.

"Udah, udah. Jangan nangis lagi, nanti pas Ando dateng trus lo nya masih acak-acakan gini gimana? Kan malu."

"Bodo ah. Dia kan harus nerima gue apa adanya. Gue sekarang lagi berduka, trus tau-tau dia bilang mau dateng. Salah sendiri kalo ternyata dia ga suka liat gue lagi kacau gini."

Tak sampai sepuluh menit kemudian Ando datang. Dengan paksa kusisir rambut Ira agar tak membuat Ando shocked.

"Andoooooo!!!!" Pekik Ira saat baru saja dibukanya pintu gerbang kos-kosan kami. Dengan penasaran, kulirik apa yang membuat pekik itu terdengar bahagia.

Ternyata, ada sepasang hamster baru berada di tangan Ando..

[Flash Fiction] Moon

Purnama di bulan ke lima. Masih kuingat dulu kita memandangnya. Bersama kita rangkai impian sepenuh asa. 

Lima tahun bergulir tanpa terasa. Sebagai bukti cinta, dulu kurelakan kau kejar cita. Namun kini, aku meragu. Apakah cintaku atau cintamu yang tak seperti dulu? Jika cintaku tak pernah luruh, mengapa kesabaranku mulai rapuh? Bila wanita di hatimu tak terganti, kenapa kau tak juga kembali?

"Wulan, datanglah ke tempat ini setiap purnama. Kelak di sana, aku pun akan memandang bulan yang sama. Padanya kutitipkan rinduku dan menanti salammu." 

Purnama, kau kini tertutup awan. Apakah salam dariku sudah layu karena tak kunjung dijemput olehnya?

Purnama, aku lelah mengharap rindunya. Cukup jawab saja pertanyaanku : Sedang apa dan di mana Chandra?

Rabu, 19 September 2012

Asing

Tidak, saya tidak merasa terasing, terdengar terlalu menyedihkan. Saya hanya ingin mengasingkan diri sejenak. Penat.
Di sana saya harapkan ketenangan di sini, tapi di sini saya berpikir mungkin yang saya cari ada di sana. Lalu harus ke mana?
Tanggung, lelahnya hanya setengah. Sekalian saja habiskan seluruh kekuatan, biar kebas dan terbebas dari malas.

Senin, 17 September 2012

[Flash Fiction] In The End ...

Percuma.
Satu kata itu saja yang terngiang-ngiang di telinganya, serupa kaset yang diputar ulang terus menerus.
Bukankah sudah kubilang sebelumnya?
Ia tahu, kalimat itu akan terarah padanya.

Ia menatap cermin. Benar saja, sosok di hadapannya kini sedang menertawainya. Keterlaluan! Ia tidak tahu apa-apa tentang apa yang kurasakan.
Praangg!!
Sosok mengerikan yang tadi menertawainya kini hancur. Potongan-potongan kecilnya mempertontonkan air mata yang tiba-tiba saja menderas.

Senggukan dan seringaian itu lah yang pada akhirnya mengiringi aliran darah dan air mata yang bersumber dari sebuah lubang penyesalan yang sia-sia.