Selasa, 27 November 2012

orang dalam cermin

pada cermin itu kulihat orang yang mirip denganku
tapi sepertinya dia bukan aku

bukankah aku sedang gelisah saat ini?
sementara ia terlihat tenang dan begitu nyaman, tersenyum seolah tanpa beban

lihat, ia tertawa! matanya menyipit terangkat oleh pipi
sedangkan aku menatapnya dalam tangis yang rasanya mengalir di pipiku

dia mulai terlihat ketus dan galak
padahal aku terisak

tapi... tunggu
saat dia berbalik, seperti ada lukisan yang luntur dari wajahnya

sedih
takut
cemas

dan kurasa di balik cermin ku lihat bahwa kami sama

Senin, 26 November 2012

Nggak ngerti lagi sama lupa ini

Kupikir ke-pikun-an ku kali ini sudah berlebihan.
Beberapa kali tugasku terabaikan hanya karena : LUPA. Lupa yang keterlaluan.
Bagaimana tidak? Aku tahu ada tugas yang harus kukerjakan, tapi aku lupa untuk mengerjakannya. Lupa yang benar-benar lupa.
Contohnya minggu lalu. Kalau yang ini memang tugasnya saja aku lupa, apalagi mengerjakannya. Aku sampai membuat kesal temanku saat aku berulang kali mengiriminya sms hanya untuk menanyakan tugas kami. Kira-kira begini isinya:
Saya : Ada tugas apa aja sih?
Teman : Metpen sama Psidik
Saya : Metpen yang mana, psidik yang mana?
Teman : Metpen yang penelitian sama SPSS, psidik yang kelompok
Saya : Penelitian yang mana? SPSS yang mana?
Teman : Penelitian kelompok kita itu, kan belum kelar. Trus SPSS yang disuruh latihan ngerjain soal pake SPSS itu loh Ly, makanya dicatet, kamu kan sibuk.
Saya : (dalam hati) Maaaaaf... :'(
Contoh lainnya adalah pada hari Jumat kemarin. Yang ini aku tahu, tapi lupa. Aku tahu harus melakukan sebuah kegiatan yang mewajibkanku mengenakan jaket almamater dan tanda pengenal. Tapi, aku baru ingat bahwa aku harus membawanya tepat saat ponselku bergetar, panggilan dari panitia bahwa aku harus datang saat itu juga. Beruntung, aku yang harus ditemani salah seorang teman, berhasil "menculik" teman yang kebetulan sekali duduk di sebelahku. Jaket pun pinjaman. Tapi tanda pengenal terpaksa tidak terpenuhi.
Lebih parah lagi adalah aku lupa harus mengumpulkan laporan keuangan pada hari yang sama. Aku tahu aku harus membuat laporan keuangan, tapi aku seolah berada di "dunia" lain dan tidak merasa itu hari Jumat. Aku pulang ke kosan, besoknya ke rumah, bercerita lalala pada mama, termasuk tentang laporan keuangan itu. Aku tahu, tapi aku tidak ingat sama sekali untuk mengerjakannya. Aku baru teringat belum mengerjakannya pada hari Senin pagi, sebelum berangkat kuliah. Lupa yang aneh, menurutku. Kebangetan.
Nggak ngerti lagi deh sama diriku sendiri :(

Makanya dicatet Ly!
Iya, aku tahu. Aku udah berusaha. Tapi, kayaknya cara itu tetap kurang efektif bagiku. Ada dua masalah dalam mencatat tugas, baik di hape maupun di notes:
1. Aku lupa menulis tugasnya
2. Aku lupa membaca catatanku
Mungkin aku harus mencatat di tangan saja sekalian. 

Tapi, pulpen saja aku sering lupa bawa atau kehilangan.

Ngga ngerti lagi :(

aku

tersaruk-saruk dalam rimba kebimbangan
mencoba menggerapai "aku" yang mengabur
tak berbentuk

menggerutu pada cemas
melihat "aku" semakin hancur
tak berwujud
tak dikenal

karena kutakut kehilangan "aku"

Selasa, 20 November 2012

Tentang Hujan (Lagi)

Hanya lembabnya sepatu kawan
dan payung basah di jemuran
yang yakinkanku bahwa kau memang nyata
Tanpa kudengar rintikmu, kulihat alirmu, kuhirup aroma tanah yang kau kuarkan, apalagi kusentuh dinginmu

Ah, hujan
Mungkin kau tak ingin mengusik hariku yang gersang
dan bisa jadi kau tak kan pernah datang

Senin, 12 November 2012

Ah, Kawan..

Kawan, hujan ini membuat kepalaku pening, tapi ia sering sekali menyelubungiku akhir-akhir ini. Aku ingin pergi saja, berteduh. Namun, kau tepuk pundakku dan sodorkan payung. Ah, kau tahu kalau aku memang tak bisa mengabaikan hujan.
Pun kau tunjukkan turbin kecilku, dan berharap ia bisa berputar dengan aliran deras sang hujan yang kucemaskan, agar menjadikan untukku pelita yang 'kan menenangkanku.
Ah, kawan. Terima kasih lagi, dan temani aku menata semua ini.


Ditulis setelah menjalani perjalanan singkat dari kampus ke halte bersama seorang kawan.

Minggu, 11 November 2012

Hujan


Aku ingin bercerita tentang hujan. Kini, entah sejak dan sampai kapan, aku mengubah pandanganku terhadapnya. Aku tidak ingin lagi mempersalahkannya yang telah membuat hariku kelabu, aku tak mau lagi membencinya karena mengurungku dari menjelajahi dunia.
Karena kupikir itulah dia. Tak mungkin aku berharap hujan akan membiarkanku menari riang di taman terbuka tanpa kebasahan. Tanpa ragu ia melingkupiku, seperti halnya tiada sungkan ia menguarkan harumnya tanah padaku.
Kurasa, aku mengagumi keberaniannya mengguyur muka bumi dan melunturkan debu yang menempel di sana, kendati sebagian orang merutuki caranya, terutama saat ia terlalu deras. Terkesan keras. Sungguh, aku melihat sesungguhnya ia tidak keras. Hujan itu tetap meneteskan air, bukan batu.
Maka bila aku memakai payung, bukan berarti aku menolak kehadirannya. Aku hanya ingin buktikan pada mereka, bahwa aku masih bisa menari di bawah naungan hujan. Hujan toh tak melarangku meninggalkan rumah.
Ah, hujan. Meski aku ingin menemanimu, akankah tarianku pantas mengiringi rinaimu? Masihkah kau ingat warna payungku?


Ditulis saat galau dalam perjalanan ke rumah

Jumat, 09 November 2012

Bahkan, dan aku hanya menggeleng-geleng

Siapa kau? Seenaknya saja muncul di sana dan di sini. Merendahkanku bahkan tanpa kata. Menertawaiku bahkan tanpa kita bersua. Mempermalukan diriku bahkan pada entah siapa. Bahkan, kemunculanmu saja tanpa rupa.

Mungkin?

Lagi-lagi hanya ingin bercerita tentang pelangi. Bukan karena ia terlalu dan paling istimewa, melainkan lebih kepada tak ada bahan lain, mungkin?

Pagi itu jalanan masih basah, tapi langit mulai cerah. Dengan langkah-langkah yang kecil tapi cepat aku berusaha menyusul seorang kawan, namun ternyata ia tak berhenti di tempat yang aku kira. Di sanalah aku melihatnya, pelangi.

Tak ada lagi yang terasa berbeda saat melihatnya. Namun entah mengapa, aku melihat, atau mungkin saja berharap melihat, ada yang lain di mata yang sama terkejutnya denganku itu. Seolah ada pertanyaan di balik sana, yang mungkin selamanya tak terucapkan.

Aku jadi merasa bersalah. Akankah tanya itu adalah sebab terciptanya jarak antara kami yang kubuat tanpa sengaja tempo dulu? Padahal, aku sudah siapkan jawaban, bahwa jarak itu tidak kumaksudkan, dan jika dia tak menginginkannya maka bisa saja terhapuskan. Aku dan dia mungkin bisa seperti aku dengan yang lain, atau dia dengan yang lain. Tidak menjadi terlalu asing seperti saat ini.

Atau mungkin saja, ia memang tak pernah terpikir pertanyaan itu. Bahkan tak menyadari apa yang terjadi. Khas dia, bukan?

Ah, sudahlah. Enggan memikirkan apa yang mungkin. Nyatanya, aku tersenyum melihatnya tidak se-mementingkan diri sendiri seperti dulu. Yah, walaupun tak sepenuhnya tanggap apa yang seharusnya dia lakukan.

Ya, aku akan selalu memakluminya. Mungkin ia belum paham.

Hhhh...

Seringkali bingung bagaimana menyampaikannya. Atau, justru sebenarnya belum jelas apa yang ingin disampaikan? Rasanya tak dapat menampilkan diri yang sebenarnya. Namun, apa aku sendiri yakin siapa diriku sesungguhnya? Tidak terima jika orang lain menerka-nerka siapa saya, atau memang tidak mau mengakui apa adanya?

Menyepi

Kalau di depanku saat ini ada kolam, ingin rasanya aku tenggelam yang dalam. Lalu berdiam.

Terlalu banyak menyibukkan diri, mungkin? Hingga tak ada lagi waktu berbincang pada hati.

Butuh sendiri.