Minggu, 04 September 2011

UNTITLED [lagi]


===
Ia memang tak percaya pada ramalan, seperti halnya kau tak meyakininya. Namun, ia percaya vonis dokter yang tak kau temukan perbedaannya dengan ramalan.

===
Kau tersenyum dalam tidurmu, tak lama sebelum kau menggeliat mengumpulkan sisa nyawamu yang masih terbang dari alam mimpi. Namun senyum itu tak juga pudar, kendati kau harus meninggalkan kenyamanan untuk memulai hari yang sibuk. Tentu saja, suara termerdu yang pernah kau dengar seumur hidupmu lah yang membangunkanmu.
Dengan sengaja kau tak kunjung mematikan alarm yang berbunyi “Wake up, my JinYoung” hasil rekaman kekasihmu. Kau justru membereskan tempat tidur dan melipat selimutmu. Semua keteraturan yang tentunya kau dapatkan berkat dorongan si pengisi suara alarm.
Sebelum beranjak ke kamar mandi, barulah kau matikan bunyi alarm itu. Dengan raut menyesal tentunya.
Hari itu adalah hari tepat tiga tahun kau meresmikan hubunganmu dengan Karin. Kau tersenyum melihat lingkaran merah yang ditorehkan gadis itu di kalender kamarmu. Tepat di bawahnya, terpampang di atas meja belajarmu, foto-fotomu bersama Karin dalam pigura buatan tangan yang cantik adalah hadiah darinya setahun yang lalu. Kau teringat janjimu pada dirimu sendiri untuk menghadiahkan sesuatu yang spesial, tidak hanya tiket taman bermain seperti tahun lalu.
Sampai lewat pertengahan hari kau lalui dengan aura cinta dan kebahagiaan yang terkuar dari dirimu. Kerutan pertama di dahimu hari itu adalah saat dengan tegang kau memotong tangkai mawar yang telah kau rawat setahun belakangan.
“Romantis sekali putra mama.” Entah sindiran atau sanjungan terlontar dari bibir ibumu, melihat putranya menuai tanaman mawarnya.
Kau mendengus, enggan disebut romantis walaupun itu kenyataannya. Bagimu, merawat mawar dengan duri-duri tajamnya belumlah sebanding dengan perhatian dan kasih sayang Karin padamu. Sikap Karin secara tidak langsung mengajarkanmu untuk sabar, telaten, dan lembut.
Senyumanmu terus merekah selama mengendarai mobil menuju pantai. Sesekali kau melirik pada sebuket mawar putih yang akan kau persembahkan pada gadismu tercinta. Sore itu bidadarimu memintamu menemuinya langsung di pantai tanpa kau jemput.
Di tengah-tengah banyak orang, dengan cuek kau membawa sebuket mawar putihmu, seakan ingin memamerkan diri bahwa kau adalah lelaki yang romantis. Dengan radar khusus kau langsung dapat mengenali sosok bidadarimu di antara kerumunan orang di pinggir pantai. Tanpa ragu kau hampiri gadis dengan dress biru langit yang berdiri tegak di tengah ombak kecil yang memainkan kakinya. Rambut panjangnya tergerai beterbangan oleh angin yang mendesir cukup kuat.
“Permisi, Nona,” sapamu seraya menepuk ringan bahunya. Kau tutupi wajahmu dengan mawar putih yang kau bawa.
Karena ia tak kunjung mengambil bunga jerih payahmu, dengan perlahan kau menurunkannya. Memunculkan wajahmu untuk mencari alasannya.
Matanya yang serupa telaga terhalangi oleh bulir-bulir kristal cair yang menggenang di pelupuk matanya. Bibir tipisnya yang berwarna merah muda bergetar kecil.
Kau semakin melebarkan senyummu, puas atas kerja kerasmu yang membuahkan keharuan baginya.
“Ingat, kan, aku pernah bilang sedang merawat tanaman mawar dan kau tak percaya? Ini buktinya.” Dadamu membusung bangga mengatakannya.
Dalam waktu kurang dari sedetik ia menghambur ke pelukanmu, menumpahkan air mata bahagianya di dadamu. Kau dan dirinya tak peduli pada tatapan orang-orang yang melihat kalian dengan haru, bagaikan sedang menonton drama romantis. Kau justru balas memeluknya lebih erat dengan sebelah tanganmu yang tidak memegang mawar.
Tidak sampai satu menit kemudian ia melepaskan pelukannya. Dengan enggan kau melakukannya juga.
“Ikut aku,” ajak Karin yang air matanya belum juga berhenti mengalir. Gadis itu menarik tanganmu dan membawamu menjauh dari bibir pantai.
Di bawah sebuah pohon kelapa yang condong, ia menghentikan langkahnya. Di sana sudah ada seorang gadis berambut pendek berwarna cokelat dengan highlight merah. Cherry, sahabat bidadarimu menatap Karin yang menangis dengan heran.
Karin mengusap sisa air matanya lalu duduk tidak jauh dari Cherry. Kau merutuk dalam hati, menyesali keputusan Karin mengajak Cherry pada momen spesialmu dengan pencuri hatimu.
“JinYoung, duduklah di sini.” Karin menepuk pasir di antara Cherry dan dirinya.
“Kenapa harus di situ?” tanyamu berbarengan dengan Cherry yang bertanya “Kenapa harus di sini?”
“Karena aku meminta begitu,” dengan senyum manis yang menyebalkan Karin menjawab pertanyaanmu dan Cherry.
“Aku tidak mau.” Kau menolak permintaan gadismu dengan tegas.
Please?” Karin memasang ekspresi memelas di wajah manisnya. Ekspresi yang tak pernah gagal meluluhkan hatimu.
Dengan raut yang jelas menunjukkan keterpaksaan, kau turuti permintaan aneh Karin.
Beberapa saat berlalu tanpa ada seorang pun yang bicara. Kau masih berkutat dengan rasa penasaranmu atas sikap Karin, sedangkan kedua gadis itu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
“Ini bungamu. Kau belum menerimanya.” Akhirnya kau memulai percakapan dengan Karin seraya menyodorkan mawar putih itu.
“Kau pegang dulu ya, JinYoung.” Kau mengerutkan dahi mendengar balasannya. “Hmm…” Karin tampaknya ingin bicara sesuatu yang akan menjelaskan keanehannya. “Kuharap kau tidak marah, JinYoung, tapi kumohon berikan bunga itu pada Cherry.”
Kau dan Cherry sama-sama membelalakkan mata mendengar pernyataan Karin.
“Ke –kenapa?” Dengan suara tercekat kau berusaha mencari tahu alasannya.
“Karena kuingin kau menyukainya.” Karin tersenyum mengatakannya, tapi gurat kepedihan terpeta di balik matanya.
“Mana mungkin?!” Kau berteriak dengan penuh emosi. Amarah bergejolak di dalam dadamu secara tiba-tiba.
“Kumohon..” Untuk pertama kalinya raut andalan gadis itu dalam membujuk tidak berhasil. Bahkan sampai ia memohon dengan tangis.
Karena kau yakin ada rasa sakit dalam air matanya.
“Tidak mungkin!” bentakmu semakin keras. Kau langsung berdiri dan berjalan menjauhi kedua gadis itu.
“Karin, mengapa kau…?” Kau mendengar Cherry bertanya pada sahabatnya dengan ketidaksetujuan yang sama denganmu.
“Tolong, kabulkan permohonanku. Tolong, penuhi permintaanku. Ini harapan terakhirku pada kalian.” Karin menangis kencang seraya mengatakan di sela sesenggukannya.
“Apa maksudmu?” Cherry terdengar sangat heran bercampur kesal.
Karin tidak menjawab. Ia justru menangis lebih keras lagi.
“Hey, ada apa denganmu?” Kali ini Cherry bersuara lebih lembut. Diusap-usapnya punggung sahabatnya dengan halus.
Kau berbalik mendekati gadismu. Kebingungan, kekesalan, tetapi juga sayang yang meluap memancar dari sinar matamu. Kau usap puncak kepalanya lembut dan penuh kasih sayang.
“Kalian … kalianlah … dua orang yang sangat kusayangi.” Gadismu terbata di sela senggukan tangisnya. Wajahnya penuh leleran air dari mata yang mulai membengkak.
“Aku –kami– pun sayang padamu.” Kau coba menghapus air mata di pipi gadismu, walaupun pipi itu kembali basah setelahnya akibat tetesan baru.
“Karena itulah … aku harap … kalian bisa … saling menyayangi …”
“Kami saling menyayangi, kok. Aku dan JinYoung tidak pernah bermusuhan.” Kali ini Cherry yang membalas. Mata gadis ceria itu juga sudah mulai tergenang air mata solidaritas walaupun ia masih belum tahu maksud Karin.
“Bukan hanya sebagai teman …” Karin tampak menguatkan diri mengatakannya.
“Apa maksudmu?!” Emosimu kembali meledak. Membuat kau menyesal membuat gadismu menangis lebih keras lagi.
“Aku mau … kalian … saling mencintai …” Karin langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Menutupi raungan yang menyembul di sela tangisannya.
“TIDAK MUNGKIN! Aku tidak mau menuruti permintaan anehmu kali ini!” Setiap kali kau membayangkan perpisahanmu dengan Karin, emosimu selalu tidak terkontrol. Karin tahu betul kau tidak bisa mencintai dua gadis sekaligus. Bila Karin memintanya mencintai gadis lain, itu artinya Karin memintanya tak lagi mencintainya.
“Kau ini kenapa, Karin?” Cherry mendekap gadismu erat. Ia menangis karena yakin ada sesuatu di balik permintaan bodoh sahabatnya itu.
Lama. Tidak ada yang berbicara lagi. Raungan Karin belum reda, lalu ditambah dengan tangisan Cherry. Kepalamu seakan ingin meledak. Telingamu menjerit mendengar suara tak nyaman itu. Bukan karena khawatir ada orang yang mengira kau penyebab tangisan dua gadis itu, melainkan karena kau tak punya ide menghentikan adegan penuh air mata ini.
“Hentikan, Karin!” Masih dengan emosi yang meluap kau menyuruhnya berhenti menangis.
“Kau juga, bukannya mengentikan tangisannya malah ikut menangis!” Bentakmu pada Cherry.
Dengan perlahan Cherry melepas pelukannya. Ia tampak berusaha keras menghentikan tangisnya. Tangannya sibuk menghilangkan jejak air duka di wajahnya.
Kau membungkuk di hadapan gadismu, mengulurkan tanganmu kembali untuk menghapus air matanya.
Please, berhentilah menyiksaku seperti ini.” Kali ini dengan lembut kau memohon padanya.
Gadismu menatapmu dengan pandangan yang tak dapat kau terjemahkan. Tapi air mata yang jatuh mulai berkurang. Napasnya mulai teratur dan senggukannya mulai jarang.
Dengan sabar kau menunggu bidadarimu sampai benar-benar tenang untuk menjabarkan alasan ketidakwarasannya. Tak peduli pada langit yang mulai temaram dan udara yang mulai tak hangat.
Kau memutuskan untuk duduk kembali di sebelahnya dan menyandarkan kepalanya di bahumu. Seperti biasanya, ia menjadi jauh lebih tenang.
“Umurku tidak panjang.” Tiba-tiba gadismu mengatakan sesuatu yang sangat mengejutkanmu. Tubuhmu langsung mengejang, tetapi kau tak melepaskan tanganmu yang melingkari pinggangnya.
“Bu –bukankah … kau … tidak percaya ramalan?” tanyamu dengan kaku. Kau sadari Cherry juga mematung di sampingmu.
“Ini bukan ramalan. Ini vonis dokter. Dokter bilang umurku tidak akan lama lagi.” Gadismu mengatakannya dengan tenang, seolah hanya menceritakan pengalamannya sehari-hari.
“Tapi dokter bukan Tuhan! Bahkan dokter bukan hakim yang bisa memvonis hukuman mati!” Cherry menjerit dengan suara serak.
Bidadarimu tertawa. Tawa yang miris.
“Ya, dokter memang bukan Tuhan, bukan pula hakim. Dokter hanya manusia pintar yang mengetahui kondisi tubuhku dan dapat menghitung peluangku untuk hidup. Dokter hanya sesosok manusia yang … mengingatkan aku pada kematian.” Gadismu tampak lain dari biasanya. Ia seperti seseorang yang telah menguap kewarasannya.
“Tapi aku senang bertemu dengannya. Aku senang mendengar vonisnya.” Karin menatap lembut padamu dan Cherry. “Karena aku bisa menyatukan dua orang yang sangat aku cintai.”
“Kau tidak bisa pasrah begitu saja! Vonis dokter itu bukan harga mati! Kau masih bisa memperjuangkan hidupmu!” Cherry berusaha keras membangkitkan semangat gadismu, walau suaranya serak dan ada sengal tertahan di tenggorokannya.
“Aku hanya manusia biasa yang tidak bisa lari dari takdir.” Di matamu kini gadismu menjelma menjadi sosok pesimis yang menyedihkan.
Kau melemah. Kau tidak tahu harus berbuat atau berkata apa lagi. Gadismu tampak sangat keras kepala dengan keyakinannya akan vonis dokter yang tak kau temukan perbedaannya dengan ramalan.
“Kalau begitu, jalani sisa hidupmu denganku, betapapun singkatnya waktu itu. Jangan paksa aku meninggalkanmu sebelum kau meninggalkanku jauh lebih lama. Hentikan pikiran-pikiran bodohmu dan lalui hari-harimu dengan kebahagiaan bersamaku.” Hanya itu yang bisa kau katakan dalam kelemahanmu.
“Apa maksudmu?! Kau mendukung kepasrahannya?!” Cherry memakimu kecewa.
Kau tidak memedulikan sahabat gadismu itu. Kau justru memeluk bidadarimu lebih erat, berusaha menjadi sandaran terbaik di saat-saat kehancuran kekasih hatimu.
“Lihat, sebentar lagi sunset. Sudah lama sekali kita tak melihatnya bersama di pantai.” Kau berbisik dengan lembut di telinganya. Mengabaikan keberadaan Cherry yang sejak awal tadi kau anggap mengganggu kebersamaanmu dengan cintamu.
“Ya. Indah sekali.” Gadismu bergumam pelan. Menyaksikan mega kemerahan yang berpadu dengan lazuardi biru jernih dan disirami cahaya keemasan yang menakjubkan.
Kau mengamati sosok-sosok bahagia di tepi pantai yang cukup jauh darimu. Anak-anak yang berlarian, orang tua mereka yang bersantai di atas hamparan tikar lembut, juga pasangan muda-mudi yang berjalan bersisian di tengah sapuan ombak kecil. Beberapa dari mereka kau kenal karena pantai ini pantai terdekat dari rumahmu. Di pantai inilah berjuta kenangan sejak kecilmu tercipta. Di pantai ini juga pertama kali kau nyatakan perasaanmu pada gadis dalam pelukanmu saat ini. Tiga tahun lalu.
“Lihat, itu Lilly.” Kau menunjuk seorang gadis yang setahun lebih muda darimu dan Karin. Lilly adalah gadis yang tinggal di sebelah rumah Karin, tidak jauh dari rumahmu.
“Dia bersama seorang lelaki?” dengan heran Karin bertanya, karena sepengetahuanmu dan Karin, Lilly adalah sosok ceria yang masih seperti anak-anak.
Kau mengamati sosok lelaki bertampang bayi yang berjalan bersama Lilly. Kau mengenalinya sebagai Baro, mahasiswa baru di kampusmu yang juga penghuni baru kamar asramamu. Baru beberapa hari yang lalu lelaki itu memasukkan barang-barangnya di asrama tempatmu tinggal. Lelaki itu tampaknya setipe dengan Lilly, sama-sama masih kekanakan.
“Mungkin dia temannya,” tebakmu.
Kau dan gadismu malah menonton kelakukan dua manusia hampir dewasa yang berwajah dan bersikap beberapa tahun lebih muda itu. Si gadis tampak sangat antusias berceloteh, sementara si lelaki tampak garuk-garuk kepala beberapa kali.
Tak lama kemudian, tatkala sang surya sudah nyaris meninggalkan tahtanya, kau melihat kejadian itu. Kejadian yang kelak kau ketahui menjadi penyebab murungnya kawan baru di kamar asramamu.
“Atau mungkin bukan?” tanya gadismu membalas tebakanmu.
“Entahlah. Kalau di facebook mungkin tulisannya it’s complicated,” candamu melihat Lilly berlari meninggalkan Baro.
“Kau ini, jangan bercanda seperti itu. Aku tahu apa alasan Lilly. Itu alasan yang sama dengan yang kuberikan padamu.”
“Oo. Maaf,” ujarmu singkat. Dalam hati kau menyoraki Baro ‘Dasar kau, bocah cilik. Ternyata kau lebih berani daripada aku. Hehehe’
“Oh ya, satu hal lagi peringatanku untukmu. Jangan coba-coba mencurinya seperti yang dilakukan lelaki itu pada Lilly. Jangan padaku, dan jangan pada siapapun. Jadilah lelaki sejati yang tahu menghormati perempuan.” Karin tampak seperti seorang ibu yang sedang menasihati anaknya.
“Siap, Ma’am!” Dengan canda kau melakukan gerakan hormat pada kekasihmu. Ia tertawa. Tawa yang tak lagi miris.
“Sepertinya kita harus mengantarnya pulang.” Gadismu melepaskan tanganmu dan hendak berdiri.
“Tidak usah! Biar aku saja.” Cherry yang akhirnya memilih untuk memakan camilan yang ia bawa sambil memainkan game di ponselnya daripada menonton kemesraanmu dengan Karin mencegah usul cintamu.
“Hmm, baiklah. Kau bawa mobil, kan, JinYoung? Kalau begitu kau antar aku pulang, sedangkan Cherry mengantar Lilly. Bagaimana?”
“Apa kita pulang sekarang juga?” Kau memanyunkan bibirmu.
“Tentu saja, JinYoung-ku.” Gadismu tersenyum. Senyum termanis yang pernah kau lihat. Kau juga paling suka dengan kata-katanya, JinYoung-ku. Mendengarnya kau merasa memiliki sayap untuk terbang.
“Hhh, baiklah.”
Cherry segera berlari mengejar Lilly. Sekilas kau lihat Baro masih terpaku di tempatnya semula. ‘Dasar, bocah cilik. Kenapa kau tidak segera meminta maaf? Gadismu dan gadisku memang dua dari sedikit gadis yang agak saklek di milenium ini. Tapi percayalah, gadis-gadis seperti merekalah yang sesungguhnya kita dambakan.’
Karin melambai-lambaikan tangannya pada kedua gadis yang sudah siap di atas sepeda motor cantik Cherry. “Hati-hati.” Pesan gadismu bagai amanat seorang ibu yang akan melepaskan anak-anaknya pergi. Kedua gadis yang sudah memakai helm itu mengangguk sebelum melesat pergi.
“Ini. Kau belum menerimanya.” Lagi-lagi kau sodorkan bunga kesukaan gadismu.
“Bukankah sudah kubilang –“
“Bukankah sudah kubilang kau jalani sisa hidupmu denganku, tak peduli berapa lama waktu yang kita miliki?” potongmu.
“Baik … baiklah …. Terima kasih, JinYoung.” Akhirnya gadismu menerima bunga kerja kerasmu, dengan senyum dan genangan air mata kebahagiaan di pelupuk matanya.
Sepanjang jalan pulang, kau genggam erat tangan gadismu dengan sebelah tanganmu. Lagu-lagu romantis berputar pelan mengiringi kebisuanmu dengan gadis tercintamu. Tak peduli pada apa yang akan terjadi nanti, besok, lusa, atau kapanpun. Kau dan dirinya akan berusaha menjalani hidup yang kalian miliki dengan kebahagiaan.
Karena masa depan itu misteri.
Bunyi ponsel Karin mengusik ketenangan lagu klasik romantis yang menjadi backsound kalian.
“Halo?”
Tidak sampai semenit kemudian pembicaraan Karin di ponselnya berhenti. Raut wajah Karin yang sudah tenang kembali tegang.
“Ada apa, Sayang?” tanyamu khawatir.
Karin-mu membisu. Tubuhnya membeku.
Kau memutuskan untuk menepikan mobilmu. Lalu menatap wajahnya lekat-lekat. Mencari jawaban di sana.
Raut itu raut penyesalan. Air mata yang seakan tak ada habisnya kembali memenuhi pelupuk matanya. Tubuhnya bergetar, seirama dengan getaran di bibirnya.
“Ada apa, Sayang?” Kau mengulang pertanyaanmu dengan kalimat yang persis sama.
“Cherry … Lilly …” ucap gadismu terbata.
“Tenang, Sayang. Ada apa dengan mereka?”
“Mereka kecelakaan.” Gadismu langsung menangis keras.
Kau terhenyak di jok mobil yang kau duduki. ‘Kecelakaan?’
“Sekarang mereka ada di mana?”
Gadismu memberitahu nama rumah sakit tempat Cherry dan Lilly dilarikan.
“Kau mau kita sekarang ke sana?”
Gadismu mengangguk.
“Baiklah, tapi kumohon kau tenangkan dirimu dulu.”
Gadismu mengangguk lagi, lalu dengan sekuat tenaga menghentikan tangisannya dan menghapus air matanya.
Kau memutar arah mobilmu yang sudah tidak jauh dari tujuan semula.
Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, kau masih menggenggam erat tangan kekasihmu. Berharap dapat memberikannya kekuatan.
Gadismu langsung melesat masuk rumah sakit setibanya kau dan dirinya di sana. Kau sampai berlari mengejarnya.
Di ruang gawat darurat, kau dan Karin menemukan kedua gadis itu terbaring dengan simbahan darah. Keluarga mereka masih dalam perjalanan, tapi kau dan Karin sepakat mengiyakan saran dokter untuk memindahkan Cherry ke ruang operasi karena lukanya sangat serius. Sementara Lilly yang tidak separah Cherry tengah tertidur. Atau tidak sadarkan diri. Kau dan Karin menghampirinya.
Gadis itu bagaikan putri tidur. Setelah selesai diberi perawatan, ia langsung dipindahkan ke ruang rawat. Kau dan Karin mengantarnya sampai ke ruang rawat.
Yang membuatmu dan Karin begitu miris adalah saat Lilly sadar. Orang tua gadis itu sudah berada di sana. Lilly menanyakan pertanyaan yang sama puluhan kali. Mengapa ia ada di sana, apa yang terjadi, hari itu hari apa, adalah pertanyaan-pertanyaan yang kerap kali ia tanyakan setiap beberapa menit. Dengan gemas campur sedih Karin terus menjawabnya.
“Kau kan tadi sudah menanyakannya, Lilly.” Ibunda Lilly mengeluh.
“Masa? Aku sudah menanyakannya? Hehehe, maaf. Aku tidak ingat.”
“Sudahlah, tidak apa-apa, Tante. Ya, Lilly, kau tadi kecelakaan saat pulang dari pantai bersama Cherry.” Jelas gadismu untuk ke puluhan kalinya.
“Lalu bagaimana dengan Cherry Onnie?”
“Sekarang ia sedang mendapatkan perawatan. Kau doakan saja, ya, agar ia segera sembuh.”
Lilly mengangguk-angguk mantap. Tak lama kemudian ia bertanya, “Lho, sedang apa berkumpul di sini? Memangnya sekarang hari apa?”
“Hari ini hari Sabtu dan kami sedang menjengukmu. Lihat, ini di rumah sakit, dan kau sedang berada di ranjang ruang rawat.” Seceria mungkin Karin menjawabnya, walau suara beningnya sudah sangat serak.
“Sedang menjengukku? Memangnya aku kenapa?”
Kau segera memohon diri dari ruangan itu seraya mengajak Karin. Kau tahu gadismu sudah ingin menangis mendengar dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama dari Lilly.
Karin langsung memelukmu di luar ruangan. Tangisannya meledak.
“Lilly saja seperti itu. Bagaimana dengan Cherry?” tanya gadismu di sela tangisannya.
“Cherry sedang mendapat perawatan dari dokter-dokter hebat. Kau percaya pada dokter, bukan?” jawabmu sambil sedikit menyindirnya. Berharap ia mengerti bahwa dokter adalah manusia biasa.
Gadismu menangis semakin keras. Kau memeluknya semakin erat.
“Kita tidak hanya bisa memasrahkan semuanya pada dokter, kita masih bisa berdoa.” Bisikmu padanya.
Gadismu mengangguk dalam pelukanmu. Dengan perlahan ia mulai kembali tenang.
Setelah beberapa jam dalam ruang operasi, Cherry dipindahkan lagi ke ruang ICU. Karin mendapat kesempatan menemuinya setelah orang tuanya, walaupun Cherry masih belum sadar.
Kau menemani Karin menemui sahabatnya. Gadismu menggenggam tangan Cherry lembut. Kau sudah mengatakan pada kekasihmu bahwa ia bisa memberikan semangat pada sahabatnya walaupun Cherry sedang tidak sadar.
“Cherry, kau tahu? Kini aku bersemangat lagi dengan hidupku. Aku mau berjuang untuk hidupku. Aku tidak mau percaya vonis dokter, atau siapapun juga. Aku mau hidup seperti hidupku sebelumnya. Aku … aku harap kau juga begitu.” Suara gadismu mulai bergetar lagi. Kau memegang bahunya, menguatkan lagi dirinya.
“Ah, tentu saja kau begitu. Kau adalah gadis yang penuh semangat. Cherry-ku adalah gadis kuat. Ia pasti sanggup bertahan.” Gadismu menghirup napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan lagi kekuatan baru.
“Cherry, kau ingat es krim rasa baru yang kita lihat di iklan kemarin? Rasa durian, rasa kesukaanmu. Kau mau membelinya, kan?”
Esoknya…
“Cherry, tadi adikmu meneleponku, katanya ia ingin sekali ke sini dan membawakanmu Pussy. Pussy sejak kemarin tak henti mengeong, sepertinya kangen sekali padamu. Tapi sayangnya Pussy tidak boleh dibawa ke rumah sakit. Jadi, kau harus cepat pulang ya untuk menemuinya?”
Esoknya…
“Cherry, boyband favoritmu sudah mengeluarkan album baru! Kau sudah lama menantikannya, bukan?”
Esoknya…
“Cherry, coba tebak apa yang kubawa. Tadaa! Album baru boyband kesukaanmu! Tapi ini punya adikku. Kalau kau mau, kau harus membelinya. Sekarang kau dengarkan ya?” Dengan penuh kasih sayang gadismu memakaikan earphone di telinga sahabatnya yang tak bergerak sedikitpun sejak dipindahkan ke ruang ICU itu.
Setelah lagu diputar, gadismu melesat keluar ruangan. Ia tidak sanggup membendung air matanya. Tapi tak lama kemudian ia kembali lagi.
Esoknya…
“Cherry, hari ini Lilly sudah dibolehkan pulang. Kapan kau menyusul? Pasti tidak lama lagi.”
Lilly menutup mulutnya yang menganga, terkejut melihat keadaan Cherry. Tidak menyangka apa yang dialaminya belumlah apa-apa dibandingkan apa yang dialami Cherry.
Esoknya…
Esoknya…
Esoknya…
Setiap hari gadismu mengunjungi sahabatnya di rumah sakit, walaupun tidak setiap hari kau bisa mengantarnya. Gadismu pergi begitu saja, naik taksi atau bus.
Kau mulai mengkhawatirkan kesehatan gadismu. Ia memang berusaha tampak kuat dan semangat, karena ia ingin menularkan semangatnya pada sahabatnya. Tapi kau dengan jelas dapat melihat wajahnya semakin pucat, rona di wajahnya tak lagi tampak, bibirnya tak secerah dulu. Kau juga dengan jelas dapat merasakan jari-jarinya semakin kurus kini.
“Karin, kau harus memperhatikan kesehatanmu juga.” Dengan ragu kau ucapkan hal itu.
“Aku justru merasa lebih kuat sekarang. Aku tidak lagi cemas akan vonis dokter itu. Bahkan aku selalu menyemangati Cherry.” Ia membantah ucapanmu.
“Ya, aku juga merasa begitu. Tapi –“
“Karin-ssi!” panggil salah satu perawat yang berjaga di ruang ICU. “Cherry sudah sadar! Ia mencari Anda.”
“Benarkah?” Kau lihat binar kebahagiaan jelas terpancar di mata kekasihmu. Dengan segera ia melesat masuk ke ruangan sahabatnya.
Cherry masih lemah, tapi matanya sudah terbuka. Ia menatap gadismu lekat-lekat.
“Tomorrow is mystery. Yesterday is history. Today is a gift …” Dengan suara lemah dan parau Cherry mengutip kata-kata Master Oogway dalam film Kungfu Panda, film kesukaan gadismu dan sahabatnya itu.
“Ya, sekarang aku sudah mengerti. Aku akan berjuang untuk hidupku. Kita akan berjuang bersama, Cherry. Karena saat ini adalah anugerah …” gadismu tak kuasa membendung air matanya. Ia mencium tangan sahabatnya yang tengah digenggamnya.
Cherry menggeleng lemah. Gadismu menatapnya bingung. Cherry balas menatapnya seraya tersenyum.
“My time has come …” ucap Cherry lemah, sebelum dengan perlahan matanya terpejam kembali. Untuk selamanya.
Gadismu ambruk. Dengan sigap kau menangkapnya sebelum tubuhnya membentur lantai. Seluruh kekuatan gadismu yang dengan susah payah ia kumpulkan sudah habis, bersama perginya alasan pengumpulan kekuatan itu.
===
Kau menggenggam tangannya lembut, selembut senyumannya yang meneduhkan hatimu.
Hari ini gadismu akan pergi ke luar negeri, mencoba pengobatan yang lebih baik. Berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Menghargai gift yang diberikan Tuhan saat ini, mengusahakan mystery itu adalah sesuatu yang baik.
“Selamat tinggal.” Gadismu mengucapkan salam perpisahan.
“Sampai jumpa.” Kau berusaha mengingatkannya untuk kembali padamu.
Gadismu tersenyum. Lalu ia melambai-lambaikan tangannya padamu seraya menjauh.
===
Tapi malang tak dapat ditolak. Kau mendapati kabar sehari kemudian bahwa gadismu menyusul sahabatnya. Dengan semangat serta keikhlasan.
===
THE END
===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar