Minggu, 04 September 2011

SAKURA -part 5-


“Maaf, Shaoran…” bisik Tomoyo yang bersandar di balik pintu kamarnya. Tangannya meraih bandul di kalung yang melingkari lehernya lalu membukanya. Tampak foto dua orang lelaki paling dicintainya di dalam bandul itu. Ayahnya, dan seorang lelaki lain.
-part 5-
Tomoyo bukannya tidak tahu perasaan Shaoran padanya. Justru ia sudah mengetahuinya bahkan sebelum adik sepupu kesayangannya itu tahu. Tomoyo hanya berpura-pura tidak tahu dan berharap Shaoran akan dapat melupakan perasaannya pada Tomoyo.
Itulah mengapa Tomoyo sejak awal tidak pernah berniat mengakrabkan diri pada sahabat adiknya itu. Selalu menghindari kemungkinan-kemungkinan mereka bisa bersama dalam waktu lama, menghindari perbincangan yang lama dengannya, juga “menolak” kado ulang tahun dari lelaki yang lebih muda darinya itu. Itu semua dilakukan Tomoyo karena satu hal.
Ia tidak ingin menyukai lelaki yang lebih muda daripada dirinya.
Walaupun hanya beberapa bulan, tetapi Shaoran tetap lebih muda daripada dirinya. Apalagi kegemarannya bermain game dan menonton kartun sangat bukan tipe Tomoyo. Terlalu kekanakan, tidak seperti yang Tomoyo inginkan. Ditambah lagi dengan tingkah polahnya yang tidak pernah serius, sering cengengesan, serta tidak rapi dan teratur.
Sangat berbeda dengan lelaki yang fotonya tersimpan dalam bandul kalungnya, bersama ayahnya yang juga adalah lelaki yang paling dicintainya.
Tomoyo menutup bandul kalungnya kembali dan menggenggamnya erat, seakan tak ingin ada sedikit pun celah untuk apapun yang ingin masuk ke dalam bandul itu ataupun keluar.
Ya, Tomoyo takut. Ia takut Shaoran dapat menelusup ke dalam bandul itu.
^-^
“Shaoran, bagaimana tadi acara jogging kalian?” tanya Sakura penasaran.
“Mmm.” Shaoran hanya senyam-senyum sendiri.
“Apa? Ceritakan padaku! Aku sudah tidak sabar!”
“Mmm.” Shaoran tetap dengan jawabannya semula, cengar-cengir nggak jelas.
“Kau ini kenapa sih? Sariawan? Sakit gigi? Atau mendadak bisu?” tanya Sakura setengah jengkel.
“Huu… enak saja! Aku baik-baik saja! Aku hanya…” tiba-tiba Shaoran kembali senyum-senyum sendiri dengan tampang bodoh.
Plak! Karena tidak sabar, Sakura memukul sahabatnya itu dengan penggaris yang kebetulan ada di ruang tivi karena beberapa hari yang lalu setelah dipakai Sakura untuk mengerjakan PR-nya lupa dikembalikan.
“Auww! Kau ini kejam sekali! Sabar dong! Aku kan sedang menikmati mengingat kembali hal tadi.” Kata Shaoran yang nadanya berubah. Saat berteriak sampai bilang sabar dong menggunakan nada kesal, tetapi saat mengucapkan kalimat terakhir tiba-tiba terdengar sangat melankolis.
“Cih,” Sakura mencibir.
“Aku bahagia sekali.” Ucap Shaoran dengan kepala mendongak dan tatapan ke awang-awang.
“Lalu?” tanya Sakura menuntut jawaban lebih.
“Lalu apa? Pokoknya aku bahagia, kau pasti tahu itu bukan?”
“Uuugh, ceritakan padaku dengan detail sedetail-detailnya!” pinta Sakura.
“Tidak mau. Salah siapa kau tadi tidak mau ikut?”
“Huuu, kau ini, harusnya berterima kasih karena aku tidak ikut kau jadi bisa berduaan dengan Tomoyo.”
Shaoran menurunkan pandangannya dari menatap langit-langit ke wajah Sakura. Ia tersenyum hangat, tidak seperti orang gila seperti tadi.
“Yang boleh kau tahu hanya bahwa aku bahagia!” ucapnya sambil mengacak-acak rambut gadis itu lalu berdiri.
“Sampai jumpa, Sakura. Aku pulang dulu. Salam untuk Tomoyo, ya!” pamit Shaoran.
Dengan bibir mengerucut Sakura mengantar Shaoran sampai ke pintu depan, masih tidak puas dengan jawaban Shaoran tadi.
Shaoran melambai sambil tersenyum lebar. Sangat lebar sampai kedua matanya menyipit hingga hampir membentuk garis.
Shaoran tidak mau Sakura dapat membaca apa yang ada dalam matanya. Karena mata itu akan menceritakan semuanya, perasaan yang lebih mendominasinya saat ini, yang bisa dibilang bertolak belakang dengan apa yang tadi ia ucapkan pada Sakura.
^-^
Sakura langsung bergegas menuju lantai dua, lebih tepatnya ke kamar yang letaknya tepat di atas kamarnya sendiri.
Tok tok tok!
Setelah jeda beberapa detik, pintu terbuka.
“Ada apa, Sakura? Masuklah.” Ajak Tomoyo.
Sakura menurut, ia langsung masuk dan menghempaskan tubuhnya di ranjang Tomoyo yang sangat nyaman itu.
“Tomoyo, aku merasa ada yang berbeda di sekolahku.” Cerita Sakura.
“Apanya  yang berbeda?”
“Entahlah, aku merasa sikap siswa-siswi di sekolahku banyak yang berubah. Siswi-siswi menjadi lebih sering bergosip daripada sebelumnya, toilet pun selalu wangi parfum gadis. Mereka juga jadi sangat memperhatikan penampilan.”
“Apa yang salah dengan hal itu?”
“Entahlah, hanya saja… itu tidak biasa, dan itu sangat bukan mereka.”
Tomoyo diam, tetapi matanya memandang Sakura, menyimak cerita gadis itu.
“Lalu para siswa, mereka lebih aneh lagi. Mereka menjadi overacting, seolah-olah sangat haus akan perhatian. Awalnya mereka terlihat frustasi, tapi setelah itu menjadi aneh begitu.”
Tomoyo mengerutkan keningnya, turut bingung akan keheranan Sakura.
“Mengapa bisa begitu? Apa yang menyebabkan mereka menjadi seperti itu?” tanya Tomoyo.
“Entahlah. Menurut pengamatanku dan Shaoran, itu karena kedatangan dua orang murid baru di sekolah kami.”
“Mengapa kalian bisa menyimpulkan seperti itu?” tanya Tomoyo lagi. Pertanyaannya menjadi menyerempet ke pertanyaan ilmiah, karena memang itulah khas Tomoyo.
“Karena semua keanehan itu dimulai sejak kedatangan mereka.”
“Kedua orang itu lelaki?” tanya Tomoyo menerka berdasarkan cerita Sakura tadi.
Sakura mengangguk, “Dan keduanya luar biasa.” Tambahnya.
“Luar biasa dalam hal apa?” tanya Tomoyo.
“Hampir semua hal. Tampan, kaya, pintar. Besok ada pelajaran olah raga dan mungkin mereka ternyata hebat juga berolah raga. Atau mungkin tidak.”
“Wow, tampaknya mereka sangat istimewa.”
“Yeah, begitulah.”
“Lalu apa yang membuatmu terlihat merasa terganggu begitu?” tanya Tomoyo.
“Aku hanya, ah entahlah. Aku tidak merasa terganggu kok. Hanya merasa aneh saja. Ya sudah, aku hanya mau cerita begitu saja, kok.” Tutup Sakura. Sebenarnya, ia hanya ingin berbasa-basi sebentar sebelum masuk ke topik utama.
“Oh, ya. Tapi Shaoran tidak berubah.” Tambah Sakura.
Tomoyo membulatkan kedua matanya, bingung. Mengapa Sakura tiba-tiba bicara begitu?
“Oh, baguslah. Kau jadi tidak perlu khawatir.”
“Ya. Shaoran tidak perlu mengubah sikapnya karena tidak ada yang dikhawatirkan Shaoran di sekolah, sementara siswa lain takut gadis yang disukainya di sekolah akan tergila-gila pada anak baru itu.”
Tomoyo tiba-tiba mematung, ia mulai menebak kemana arah pembicaraan Sakura.
“Mungkin Shaoran tidak menyukai siapapun.” Ucap Tomoyo kaku.
“Di sekolah.” Tambah Sakura.
“Yeah, mungkin Shaoran tidak menyukai siapapun di sekolah.” Ulang Tomoyo dengan suara ragu, cemas, dan takut.
“Aku tahu kau pasti sudah mengetahuinya, Tomoyo.”
“Mengetahui apa?” tanya Tomoyo pura-pura.
“Siapa gadis yang disukai Shaoran.”
Tomoyo diam. Tidak tahu harus berkata apa.
“Tomoyo, Shaoran sangat menyukaimu. Dan sebagai orang yang berada di tengah-tengah kalian, aku tidak ingin melihat salah satu atau bahkan kalian berdua terluka. Katakan padaku apa kau menyukainya juga atau tidak.”
Tomoyo diam.
“Ralat. Bukan apakah kau menyukainya juga atau tidak, tapi apakah kau bisa menyukainya juga atau tidak?” ralat Sakura.
Tomoyo semakin diam. Kali ini ia menunduk dalam-dalam.
“Tidak. Aku tidak akan bisa menyukainya.” Lirih Tomoyo menjawab beberapa saat kemudian.
Kekhawatiran Sakura nyata sudah. Ia benar-benar berada dalam posisi sulit sekarang. Tidak tahu siapa yang akan dibantunya. Membantu Tomoyo membuat Shaoran melupakan perasaannya kah? Atau membantu Shaoran membuat Tomoyo menyukai sahabatnya itu kah?
Keduanya sulit.
“Mengapa?” tanya Sakura, memastikan mana yang lebih sulit.
“Ia lebih muda daripada aku.” Jawab Tomoyo.
“Apa kau tidak akan bisa menyukai lelaki yang lebih muda? Atau hanya kepada Shaoran?”
“Yang pertama.” Jawab Tomoyo mantap karena ia  tahu jawaban itu memudahkan Sakura.
‘Terima kasih, itu membuat sedikit lebih mudah bagiku.’ Batin Sakura. Setidaknya ia sudah tahu mana yang lebih mungkin ia pilih.
“Jadi, kau tidak akan menyukai siapapun yang lebih muda darimu?” ulang Sakura memastikan.
“Ya.” Jawab Tomoyo lebih mantap. Ia mengangkat kepalanya dan memandang Sakura kali ini.
“Baik. Itu akan lebih mudah bagiku. Apa kau mau aku membantumu agar Shaoran bisa melupakan perasaannya padamu?” tanya Sakura.
“Jika kau tidak keberatan. Karena aku juga tidak ingin melukai perasaannya. Mungkin dengan bantuanmu akan mengurangi perasaan terlukanya.” Jawab Tomoyo.
Kesepakatan telah dicapai. Shaoran harus melupakan perasaannya pada Tomoyo.
Sakura meninggalkan kamar Tomoyo dan menuju kamar yang terletak tepat di bawahnya. Sambil mengelus boneka beruang putih hadiah dari Shaoran untuk Tomoyo yang ditukarkan Tomoyo dengan Barbie-nya, Sakura bicara seolah-olah ia bicara pada si pemberi awal boneka itu.
“Shaoran, maafkan aku. Tapi aku menyayangi kalian. Kau tidak boleh terus menyukainya karena ia tak akan pernah menyukaimu. Itu hanya akan membuatmu terluka dan ia pun merasa tersiksa karena menyakitimu. Sekali lagi, maafkan aku.”
Kemudian dipeluknya boneka itu erat-erat. Memikirkan cara terbaik agar keinginannya dan Tomoyo terwujud dengan baik.
^-^
Segelas besar ice cappuccino, sekotak kentang goreng, sebuah cheese burger berukuran jumbo, satu cup pudding cokelat dan sebotol air mineral tergeletak di depan Sakura. Gadis itu sudah mulai merasa air liurnya membanjir dalam mulutnya, tak sabar menyikat habis makan siangnya.
Melihat ekspresi Sakura yang seperti anak kelaparan melihat sepotong kue, Shaoran menggeleng-gelengkan kepalanya. Nafsu makannya tiba-tiba menguap. Sepiring spaghetti dan sekaleng minuman soda pesanannya sepertinya akan membuat perutnya mual.
Saat cheese burger jumbo itu perlahan-lahan mendekati bibir Sakura yang sudah siap terbuka, tatapan Shaoran mengikutinya, menatap dengan ngeri. Seolah-olah ia adalah burger naas itu yang siap dilahap monster kelaparan bernama Sakura. Shaoran menelan air liur dengan kepayahan, seperti ada yang menyangkut di kerongkongannya.
Tiba-tiba gerakan Sakura terhenti. Ia menatap Shaoran dengan heran.
“Kau kenapa? Kau seperti melihat hantu.”
“Bukan hantu, tapi monster.” Jawab Shaoran tanpa sadar.
“Monster? Mana?” Tanya Sakura bodoh.
“Tepat di depanku saat ini.”
Sakura terdiam sepersekian detik sebelum memelototi Shaoran.
“Hahaha, kau memang seperti monster yang rakus, Sakura!”
“Apa maksudmu?” Tanya Sakura garang.
“Lihatlah, apa di kantin ini ada gadis yang nafsu makannya sepertimu?” Tanya Shaoran balik.
Walaupun kesal, tapi Sakura menurut. Ia memandang sekelilingnya. Dan memang benar, tak ada gadis yang nafsu makannya sebesar Sakura. Sebagian besar dari mereka hanya memesan segelas jus buah dan beberapa orang membeli sepotong sandwich.
“Biar saja! Memangnya aku peduli?” sahut Sakura cuek.
Shaoran tersenyum melihat reaksi Sakura. Sahabatnya itu memang tidak seperti kebanyakan gadis di sekitarnya. Tapi Shaoran bukan tidak menyukai sikap sahabatnya itu. Setidaknya, menurut Shaoran, Sakura lebih baik daripada gadis-gadis itu, yang berubah perangai setelah kedatangan kedua murid baru nan rupawan. Mereka seolah kehilangan diri mereka sendiri dan menjelma menjadi pribadi-pribadi baru yang (masih menurut Shaoran) memuakkan.
Seperti mereka itu artis saja! Dalam sekejap sudah memiliki banyak fans bahkan fans-fans itu sudah membentuk sebuah fans club. Aneh, selebriti bukan, orang terkenal juga bukan.
“Kau sedang memikirkan apa?” Tanya Sakura membuyarkan pikiran Shaoran.
“Oh, hmm, sesuatu. Tapi bukan hal yang penting.” Jawab Shaoran.
“Ooh,” tanggap Sakura lalu kembali melanjutkan makan siangnya.
Shaoran tampak mengernyit mual ketika melihat ke arah pintu kantin. Sakura yang melihat ekspresi wajah Shaoran langsung mengikuti arah pandang sahabatnya itu.
Dua orang lelaki yang menjadi idola baru di sekolah baru saja memasuki kantin. Masih dengan gaya berjalan yang sangat elegan, dan tentu saja masih selalu diikuti puluhan pasang mata siswi yang berada di kantin saat itu dengan tatapan memuja.
Kedua lelaki itu menuju meja di sudut kantin. Setelah menghempaskan tubuhnya di kursi dekat jendela, si lelaki berwajah dingin langsung mengalihkan wajahnya ke jendela. Sebelumnya ia tampak begitu muak dengan tatapan yang ia terima selama menuju tempat itu. Sementara lelaki dengan wajah ramah langsung memesan minuman dan kembali dengan segelas jus tomat dan segelas vanilla latte.
Dalam sekejap meja-meja di sekitar meja mereka yang semula agak sepi karena letaknya yang terpencil mendadak ramai. Meja-meja itu langsung diisi para penggemar mereka. Melihat hal itu, Shaoran mengernyit sebal lagi.
“Kau kenapa, sih? Sepertinya terganggu sekali dengan kehadiran mereka.” Tebak Sakura.
“Hmm, tidak juga.” Elak Shaoran.
“Merasa tersaingi karena pengagum-pengagummu berubah haluan?” ejek Sakura.
“Hah, aku biasa saja. Lagipula siapa yang mau diidolakan gadis-gadis macam itu?” bantah Shaoran.
Shaoran memang sebelumnya mempunyai beberapa penggemar, walaupun jumlahnya jauh di bawah jumlah penggemar Jun dan Sasuke sekarang. Dan sepertinya, sejak kedatangan kedua lelaki yang mendadak jadi idola itu, jumlahnya semakin menurun drastis.
“Aku heran mereka bisa nyaman di sekolah ini, dikelilingi fans-fans menyebalkan itu. Aku saja dulu sempat ingin pindah sekolah.” Kata Shaoran.
“Ah, kau saja yang berlebihan. Kau kan tidak pernah secara terang-terangan diganggu oleh mereka? Lagipula, siapa bilang mereka nyaman. Kau kan tidak tahu mereka.”
“Lihat saja, si lelaki yang kau bilang namanya Jun itu tampak senang. Ia bahkan selalu tersenyum pada semua orang. Mau tebar pesona?” kata Shaoran pedas.
“Hush! Kau ini! Sudahlah, akui saja kau iri pada mereka.”
“Aku? Iri? Pada mereka?” tantang Shaoran sombong.
“Tentu saja. Apalagi kalau bukan iri? Sudahlah, Shaoran. Kau tidak usah kecewa seperti itu. Aku masih mau kok, berteman denganmu.” Hibur Sakura.
Shaoran merengut sambil menggumam tidak jelas, masih tidak terima dengan ucapan Sakura.
Sakura melihat ke arah Jun dan Sasuke serta penggemar mereka di sekitar tempat itu. Gadis-gadis itu tampak jelas berusaha mendekati idola mereka, namun mereka masih segan. Entah malu, atau takut? Aura kedua lelaki itu memang sangat kuat terpancar. Aura kekuasaan, kekayaan, keeleganan, dan lain-lain yang seakan menunjukkan bahwa mereka terlarang untuk didekati sembarang orang.
Sampai saat makan siang itu, atau beberapa hari setelah kedatangan mereka, belum ada satu orang pun yang berani mengajak mereka bicara selain guru dan kepala sekolah. Dan tak ada yang bisa mengira siapa murid yang pertama kali berbicara dengan mereka. Walaupun salah satu dari mereka tampak ramah, tapi ia hanya memamerkan senyum luar biasa indahnya, tidak mengucapkan sepatah kata pun pada teman-teman barunya.
Tiba-tiba saja, seorang gadis berambut hitam pendek dengan nampan berisi sekotak susu dan sepotong roti cokelat berjalan santai menuju meja Jun dan Sasuke, lalu dengan santai pula duduk di sebelah Sasuke. Gadis berponi yang dari mulutnya mencuat gagang lollipop itu tampaknya tidak sadar akan adanya puluhan pasang mata dengan death glare ke arahnya yang disertai geraman tertahan dari gadis-gadis yang sejak awal mengincar posisi gadis itu.
Mendengar ada seseorang di sebelahnya, Sasuke menoleh dengan terkejut. Begitu pula dengan Jun, yang membulatkan matanya heran tapi senyumnya melebar. Gadis itu tetap cuek di tempatnya. Setelah lollipopnya habis, ia mengambil rotinya lalu memakannya. Sangat biasa, tanpa kecanggungan atau keanehan apapun. Bahkan terlihat sangat menikmati makan siangnya. Seakan ia berada di dimensi lain saat ia makan makanan itu.
Gerakan Jun, Sasuke, gadis-gadis penggemar mereka, Shaoran, Sakura, dan pengunjung kantin lainnya seketika berhenti dan mereka memandangi gadis itu.
“Maruko!!” Teriak Sakura setelah pulih dari kekagetannya.
Gadis itu mengangkat kepalanya yang semula agak tertunduk karena terlalu menikmati makanannya, dan ia baru sadar bahwa puluhan pasang mata sedang mengarah padanya.
Dengan bingung, ia menjawab Sakura dengan pertanyaan, “Ada apa Sakura?”
Ada apa yang dimaksud berarti dua. Pertama, ada apa Sakura memanggil namanya, dan yang kedua, ada apa sampai ia dilihat seperti alien begitu.
“Err… bagaimana keadaanmu? Kudengar beberapa hari ini kau tidak masuk sekolah karena sakit.” Jawab Sakura dengan pertanyaan juga setelah berpikir sesaat mau berkata apa.
“Oh, aku sudah baikan. Ya, beberapa hari yang lalu aku memang sakit, tapi tidak terlalu parah kok.” Jawab Maruko.
Maruko kemudian mengedarkan pandangannya berkeliling, dan masih mendapati mata-mata itu tertuju padanya. Ia langsung melihat pakaiannya, bertanya-tanya apakah ada yang salah pakaiannya, lalu mengelap sekeliling bibirnya, mungkin wajahnya belepotan. Tapi Maruko tidak menemui apapun yang aneh dari dirinya.
“Hei, apa ada yang aneh denganku?” bisik Maruko pada lelaki di sebelahnya yang tak lain adalah Sasuke.
Sasuke mengerutkan keningnya, tidak terbiasa diajak bicara.
“Kau baik-baik saja.” Jawab Jun dengan ramah. Itulah kali pertama ia bicara dengan sesama murid. Suaranya yang merdu itu membuat para penggemarnya menahan napas.
“Lalu, mengapa mereka semua menatapku seperti itu? Seolah-olah aku ini alien atau orang gila saja.” Tanya Maruko masih dengan berbisik.
“Hmm, mungkin mereka tak biasa melihat ada orang lain apalagi perempuan duduk bersama kami.” Jawab Jun yang ikut-ikutan berbisik.
Maruko mengerutkan dahinya bingung. “Memangnya mengapa kalau aku duduk bersama kalian? Bangku lain kan sudah penuh. Apa aku salah?”
Jun menggeleng. Tapi Sasuke segera menimpali, “Tentu saja. Kau akan membuat mereka juga ingin duduk bersama kami besok. Jadi itu sama artinya dengan kau mengusir kami dari tempat ini karena kami tidak suka kenyamanan kami terganggu!” bentaknya kasar, namun dalam volume kecil sehingga hanya mereka bertiga yang bisa mendengar.
“Hah? Apa maksudmu? Hahaha. Percaya diri sekali kau!” sahut Maruko sambil terkekeh tak percaya.
“Hei! Lihat saja besok! Apa yang kukatakan benar atau tidak!” balas Sasuke dengan suara yang tiba-tiba meninggi.
“Sudahlah, Sasuke. Bukankah itu bagus bila kita akan bisa berbaur dengan siswa-siswi di sini nantinya?” kata Jun.
“Kau saja sana!” bentak Sasuke yang kemudian pergi dengan tergesa.
Maruko menatap punggung Sasuke yang semakin menjauh dengan pandangan aneh campur heran.
‘Benar-benar seorang dengan sense of humor yang buruk!’ batin Maruko kesal.
^-^
“Kau tadi lihat kan, Sakura, seperti apa sikap si anak baru itu!” ucap Shaoran membuka pembicaraan setelah mereka sampai di rumah Sakura. Hampir setiap hari sejak Tomoyo mulai sibuk melakukan penelitian di sekolahnya untuk mengikuti lomba membuat karya ilmiah, Shaoran menemani Sakura sampai saudara sahabatnya itu datang.
Sakura mengangguk, mulutnya masih sibuk mengunyah permen karet, sesekali membuat gelembung dari permen karet itu.
“Sok keren!” tambah Shaoran.
Sakura tetap hanya mengangguk-angguk.
“Kau ini kenapa sih?” Tanya Shaoran gusar.
“Kenapa apanya?” Tanya Sakura balik.
“Dari tadi aku mengajakmu mengobrol, tapi kau hanya diam saja.” Protes Shaoran.
“Tidak apa-apa. Hanya bosan saja dari tadi kau membicarakan mereka.”
“Oh, maaf. Aku hanya –“
“Ya, aku mengerti. Kau hanya tidak suka pada mereka. Itu saja sudah cukup. Tidak usah membicarakan mereka saja kalau begitu.” Potong Sakura.
Shaoran diam. Dia merasa ada yang janggal dengan sikap Sakura.
‘Maafkan aku, Shaoran. Aku hanya masih memikirkan bagaimana caranya agar kau… berhenti menyukai kakak sepupuku.’ Batin Sakura menyesal.
Setelah beberapa saat hening, Shaoran mencoba membuka pembicaraan lagi dengan Sakura. Tanpa Shaoran sadari, dia memilih topik yang jauh lebih salah daripada yang tadi.
“Bagaimana kabar penelitian Tomoyo? Apa akhir-akhir ini ia makin sibuk?” Tanya Shaoran.
“Uhm, yeah, begitulah.” Jawab Sakura sekenanya.
“Pasti ia lelah sekali.” Ujar Shaoran sambil menggeleng-gelengkan kepalanya prihatin.
“Tentu saja.” Sahut Sakura.
“Sampai kapan ya dia akan sibuk seperti ini?” Tanya Shaoran.
Sakura mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu.
“Andai saja aku bisa –“
“Shaoran, kau mau minum apa?” potong Sakura. Ia ingin menghindari topik mengenai Tomoyo.
“Hmm, apa saja boleh!”
“Baiklah, tunggu sebentar ya.” Pamit Sakura lalu melesat ke dapur, membuat dua gelas minuman.
Sambil mengaduk minuman, Sakura terus memikirkan bagaimana caranya agar Shaoran berhenti menyukai Tomoyo. Sangat menyakitkan bila melihat seseorang yang sangat kau sayangi sangat menginginkan sesuatu yang kau tahu takkan bisa ia miliki.
“Hei! Lama sekali! Aku hauus..” kata Shaoran membuyarkan lamunan Sakura sambil menepuk pundaknya, sengaja mengagetkan Sakura.
Sakura yang tersentak kaget langsung marah-marah, tak terima dikejutkan seperti itu.
“Kau ini bisa sabar sedikit saja tidak sih?! Sebentar lagi juga aku selesai!” omelnya nyaring.
“Iya, maaf, maaf. Habisnya kau melamun begitu sih. Apa ada masalah?” Tanya Shaoran khawatir.
Sakura menggeleng. Ia buru-buru mengangkat nampan berisi dua gelas minuman dingin itu lalu beranjak menuju ruang tivi, tempat biasanya ia dan Shaoran menghabiskan waktu.
Shaoran yang mengekor di belakang Sakura terus memandangi gadis di depannya itu. Ia tahu ada yang sedang dipikirkan Sakura, dan itu membuat Sakura jadi tidak seasyik biasanya.
Setelah menghempaskan tubuh di sofa, Sakura mengambil remote dan menyalakan televisi. Matanya menatap layar tivi, tapi Shaoran tahu pikirannya tidak di sana. Shaoran terus saja menatap Sakura. Menunggu sahabatnya itu bercerita dengan sendirinya.
Risih dipandangi terus seperti itu, Sakura akhirnya menoleh pada Shaoran.
“Kenapa kau melihatku seperti itu?” Tanya Sakura.
“Aku menunggumu bercerita padaku. Yang waktu itu juga kau belum cerita padaku.”
“Siapa bilang aku mau cerita padamu?”
“Uugh, kau ini kenapa sih? Jutek sekali. Sedang PMS ya?” Tanya Shaoran.
“Tidak, aku hanya sedang banyak pikiran. Oh, mengertilah Shaoran. Jangan paksa aku cerita padamu, oke? Ini rahasia perempuan!” jawab Sakura berusaha seramah mungkin.
“Baiklah, aku tidak akan mengganggumu lagi.” Jawab Shaoran sambil mengerucutkan bibirnya.
Mereka sama-sama diam sambil menatap layar tivi. Tapi tak satupun dari mereka yang benar-benar menontonnya. Acara hiburan yang sangat lucu itu hanya ditatap saja, tak ada tawa sama sekali. Pasti akan sangat menyedihkan bila pengisi acara itu tahu yang menontonnya tidak terhibur sama sekali.
‘Apa kau mengetahui sesuatu yang tidak ku ketahui yang ada hubungannya dengan Tomoyo, yang membuatku tidak benar-benar bahagia kemarin?’ Shaoran bertanya-tanya dalam hati.
‘Apa Tomoyo sudah punya pacar? Apa Tomoyo dijodohkan ibunya dengan orang lain?’ Terka Shaoran.
‘Bagaimana caranya agar Shaoran tidak terus memikirkan Tomoyo?’ Tanya Sakura dalam hatinya.
“Kau tidak ada PR? Kalau ada, pulang saja, aku baik-baik saja kok.” Kata Sakura akhirnya.
“Hmm, sepertinya ada sih. Oh ya, tapi aku kan bisa sekalian bertanya pada Tomoyo nanti. Hehehe. Selain bisa diajarkan gratis, bisa berlama-lama dengannya juga.” Jawab Shaoran sambil terkekeh.
‘Oh, jangan, Shaoran. Itu akan berakibat buruk bagi kalian berdua.’ Larang Sakura dalam hati.
“Hmm, kurasa Tomoyo akan sangat kelelahan. Mungkin ia ingin langsung istirahat begitu pulang.” Itulah yang bisa dikatakan Sakura untuk melarang Shaoran.
“Benar juga katamu. Baiklah, aku kerjakan sendiri saja di rumah.” Jawab Shaoran sambil tersenyum mengerti.
“Ya sudah, seperti kataku tadi, kau tidak apa-apa kok pulang. Aku baik-baik saja.”
“Oke. Ku harap kau memang benar-benar baik-baik saja. Aku pulang dulu.” Pamit Shaoran.
Sebelum keluar, seperti biasa, Shaoran mengacak-acak rambut Sakura dengan sayang.
“Ingat, kau selalu bisa bercerita padaku kapanpun.” Ucapnya sebelum pergi.
Sakura hanya mengangguk lalu melambaikan tangannya.
‘Untuk hal ini, aku tidak bisa bercerita padamu, Shaoran.’ Jawabnya dalam hati sambil terus melambaikan tangannya.
Baru kali ini Sakura sampai meminta Shaoran pulang seperti itu, dan itu membuat Sakura sakit.
Tiba-tiba Sakura teringat pembicaraan beberapa orang gadis di sekolahnya saat di toilet tadi.
“Jadi kau sudah putus dengan Kakashi?!” Tanya Aya terkejut pada Dika.
“Yeah, begitulah.” Jawab Dika lesu.
“Memangnya ada masalah apa?” Tanya Aya lagi.
“Ia bilang ia tak sanggup menjalani hubungan jarak jauh. Semenjak ia lulus dan mulai masuk kuliah, hubungan kami memang merenggang.”
“Tapi bukankah dari dulu kalian memang sudah tidak satu sekolah? Ia SMA-nya di A SHS kan?”
“Memang, tapi setidaknya tidak sejauh sekarang. Dulu ia masih sering main ke rumahku. Sekarang mana sempat? Sekarang saja ia tinggal di rumah pamannya yang dekat dengan kampusnya.”
“Jadi begitu. Kau yang sabar ya, Dika. Kan masih ada aku dan teman-teman yang lain.” Hibur Aya.
“Terima kasih, Aya.” Ucap Dika tulus, lalu ia menghela napas sebelum berkata lagi, “Mudah-mudahan aku bisa melupakan perasaanku padanya. Karena perasaan itu membuatku sakit sekarang.”
“Cepat atau lambat, kau akan terbiasa tanpanya. Lagipula, kalian kan sudah tidak bertemu lagi. Kurasa kau akan cepat dapat melupakan perasaanmu.”
“Yeah, aku sependapat denganmu. Aku tidak bisa membayangkan jika kami putus di saat kami masih sering bertemu, pasti akan sangat sulit bagiku untuk melupakannya.”
“Ya, omong-omong, di dalam toilet yang itu siapa ya? Dari tadi kok tidak keluar-keluar? Toilet-toilet lain sudah beberapa kali ganti orang.” Tanya Aya heran.
“Entahlah, mungkin orangnya ketiduran. Hehehe.”
Merasa sedang dibicarakan, Sakura buru-buru menyalakan kran untuk menandakan dirinya tidak ketiduran. Lalu buru-buru melesat keluar kamar mandi tanpa sempat ditegur dua orang yang berbeda kelas dengannya itu.
Tiba-tiba saja Sakura merasa mendapat pencerahan dari pembicaraan gadis yang baru saja putus dengan pacarnya yang merupakan alumni sekolah Tomoyo dengan temannya.
^-^
TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar