Minggu, 04 September 2011

SAKURA -part 2-


“Ada yang mengganjal pikiranmu?” tanya Shaoran khawatir.
“Aku – aku baik-baik saja.” Jawab Sakura yang langsung menunduk sambil menyesap ice cappuccino nya, tak ingin membalas tatapan khawatir Shaoran.
-Part 2-
Shaoran’s POV
Selama beberapa saat aku dan Sakura terdiam, sesuatu yang tidak biasa bagi kami, dua makhluk yang kalau ketemu sama-sama sakit jiwa itu. Kalau kami diam begini, kemungkinannya adalah
: 1. Kami lagi sariawan atau sakit gigi, 2. Kami lagi sibuk sendiri-sendiri (Aku membaca buku, Sakura main hpku), atau 3. Kami lagi berantem. Tapi, saat ini kami lagi sehat wal afiat, lagi nggak berantem, kalau sibuk sendiri? Sepertinya hanya dia yang sibuk sendiri.
Sakura tidak biasanya menyesap ice cappuccinonya perlahan-lahan sambil tertunduk seperti itu, apalagi tahan untuk tidak berceloteh dalam jangka waktu selama ini denganku.
“Kau berbohong, kan?” tebakku tiba-tiba.
Sakura tampak terkejut sedikit karena tiba-tiba aku memecahkan keheningan di antara kami dengan berkata begitu.
“Berbohong apa?” tanyanya dengan mata membesar, benar-benar tidak mengerti maksudku.
Rupanya pikirannya sudah jauh saat ia terdiam tadi, kalau tidak, ia pasti masih ingat sebelumnya kami membicarakan apa.
“Ada yang mengganjal pikiranmu.” Ujarku dengan kalimat yang sama dengan yang tadi, tapi dalam intonasi yang berbeda. Bukan lagi pertanyaan, tapi pernyataan.
“Hahaha, tidak juga. Aku memang sedang memikirkan sesuatu, tapi hal ini tidak mengganjal kok, biasa saja. Bukan masalah.” Ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tapi aku tidak bodoh. Aku tahu lagi-lagi ia berbohong.
“Kau tahu, aku selalu siap mendengarkanmu kapanpun.” Ucapku serius.
“Hahaha, yang aku tahu, wajahmu tidak cocok untuk bicara sok serius seperti itu!” jawabnya sambil tertawa.
“Aku tidak bercanda, Ms. Kinomoto!” balasku gusar. Huh, aku kan serius siap mendengar curahan hati sahabat sekaligus calon adik iparku ini!
“Hahaha, seharusnya kau bercermin bila ingin berbicara seperti itu, kau pasti akan tertawa.” Balasnya kembali sambil tertawa-tawa lagi.
Aku diam saja, tak mau membalas perkataannya karena ia akan terus berkata seperti itu. Jadi hanya kutatap matanya lekat-lekat, karena hanya dengan begini ia akan ketahuan berbohong.
Sakura mencoba menghindari tatapanku dengan memainkan ujung sedotannya sambil masih terkekeh sedikit. Akhirnya dengan paksa aku angkat dagunya dan memegangi kedua pipinya, memaksanya menatap mataku. Tapi lagi-lagi ia mengelak dengan memutar-mutar bola matanya, tidak membalas tatapanku.
“Lihat mataku, Ms. Kinomoto.” Perintahku tegas. Biasanya tak lama kemudian ia akan menurut dan aku bisa membaca perasaannya lewat mata hijaunya itu. Tapi kali ini sepertinya ia benar-benar tidak mau membagi perasaannya denganku.
“Eh, Shaoran, apa kau menyadari sesuatu?” tanyanya tiba-tiba, masih dengan mata yang tidak mengarah padaku.
Akhirnya kulepaskan pipi chubbynya, menyerah untuk saat ini.
“Menyadari apa?” tanyaku malas-malasan.
“Lihat, kantin jadi lebih ramai! Tadi di kelasku juga ramai seperti ini!” ujarnya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kantin.
Dengan malas aku mengikuti pandangannya. Hmm, sepertinya ia benar. Ada yang tidak biasa di sana.
Terutama para gadisnya.
Gadis-gadis SMA itu tidak biasanya seberisik hari ini. Mereka bergerombol dan mengobrol dengan sangat antusias dan menggebu-gebu, seperti membicarakan sebuah gossip terpanas abad ini. Hal itu sangat bukan khas mereka, atau kami lebih tepatnya, warga kota damai tenteram adem ayem yang sebagian besar penduduknya kalem-kalem dan nggak suka ikut campur masalah orang (eh, kecuali dalam hal seperti aku dan Sakura tadi, aku memaksa ingin tahu karena memang biasanya tidak ada rahasia di antara kami, lagipula apa sih masalah gadis periang seperti itu? Paling-paling tidak terlalu penting, hanya saja membuatku penasaran).
“Mengapa para gadis itu bicara dengan penuh antusias seperti itu?” tanyaku.
Sakura mengangkat bahu.
“Hey, kau kan wanita. Masa kau tidak tahu?” tanyaku.
“Memangnya aku harus tahu? Lagi pula, mungkin bukan karena mereka wanita, mungkin saja salah satu dari mereka ulang tahun.” Jawab Sakura asal.
“Sebanyak itukah yang ulang tahun hari ini?” tanyaku lagi, melihat begitu banyak perkumpulan gadis-gadis yang setidaknya terdiri dari 4-5 orang yang menyebar di seluruh penjuru kantin.
“Oh iya, ya. Lihatlah, yang lelaki sepertinya bertampang muram semua. Ada apa sebenarnya? Kalau kau, kenapa tidak muram?” tanya Sakura balik.
“Mana ku tahu. Mungkin mereka diputuskan pacar mereka.” Jawabku tak kalah asal dengan jawaban Sakura tadi.
“Apa hari ini hari putus nasional?” tanya Sakura lagi.
Kami sama-sama terdiam lagi, tapi kali ini karena kami sibuk mengamati keanehan itu.
Tak lama kemudian, semuanya jelas.
Sangat jelas, setelah dua orang lelaki masuk ke kantin.
Seketika para gadis terdiam dan menatap ke arah mereka. Ada yang dengan terang-terangan menatap, ada pula yang mencuri pandang sedikit-sedikit, dan semuanya dengan tatapan yang sama: berbinar, tatapan memuja, dan sejenisnya.
“Ternyata karena mereka.” Kata Sakura padaku.
“Mereka itu siapa?” tanyaku.
“Murid baru. Dua-duanya masuk kelasku. Yang kelihatannya dingin itu namanya Sasuke Uchiha, yang kelihatannya lebih ramah itu namanya Jun Yamamoto.” Jelas Sakura.
“Apa mereka itu artis?” tanyaku. Maklum, aku tidak suka nonton televisi, apalagi banyak sekali aktor-aktor metroseksual yang digandrungi gadis-gadis.
“Sepertinya tidak, aku belum pernah melihat mereka.”
“Tentu saja, kalaupun mereka artis kau juga pasti belum pernah melihat mereka! Memangnya kau tertarik nonton selain kartun-kartun konyol favoritmu itu? Sepertinya aku salah bertanya padamu, kau kan juga pasti tidak tahu!” kataku sambil menoyor kepalanya.
“Huuu, kau ini. Tomoyo kan suka nonton drama seri, jadi kadang-kadang aku ikut nonton juga.”
Kedua lelaki itu masuk ke kantin dengan gaya jalan seperti tadi pagi (elegan dan berkelas sekali), si Jun itu mengedarkan pandangan, seperti mencari sesuatu atau seseorang.
Saat matanya menatap ke arah aku dan Sakura, ia tersenyum (dan saat itu aku mendengar pekikan tertahan dari gadis-gadis yang melongo di sekitar kami, membuatku sebal saja). Tapi Sakura hanya menatapnya polos, jelas sekali dia bingung.
Dan lagi-lagi aku melihat raut terkejut yang sepersekian detik berikutnya hilang, namun bukan di wajah Jun, melainkan Sasuke.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar