Jumat, 18 Januari 2013

Romantis

Belum lama ini saya membaca novel "Samita: Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho" karya Tasaro terbitan DAR! Mizan. Novel fiksi historis itu berlatar masa keruntuhan Majapahit, jadi saat membaca beberapa nama tokohnya, saya teringat pelajaran Sejarah beberapa tahun lalu (kayak udah lama banget ninggalin bangku sekolah aja, hehe).

Novel ini mengisahkan seorang gadis bernama Hui Sing, yang diceritakan merupakan murid paling muda dan perempuan satu-satunya dari tiga murid Laksamana Cheng Ho. Hui Sing ini selain cerdas juga jago bela diri Thifan. Bersama kakak-kakak seperguruannya, Hui Sing ikut dalam perjalanan sang guru yang memimpin armada Kerajaan Ming sejumlah puluhan ribu menuju Kerajaan Majapahit untuk misi perdamaian. Berbagai peristiwa dialami gadis tangguh itu, mulai dari persahabatan dengan seorang gadis di Simongan dan sempat terjadi pertempuran di sana, pengkhianatan salah satu murid Laksamana Cheng Ho, jatuh hati pada salah satu pemuda Majapahit, perjuangan dan penantian bertahun-tahun untuk menyelamatkan cintanya, sampai perjuangan habis-habisan membela keluarganya.

Novel ini sarat nilai moral, tapi saya tidak akan membahas itu sekarang. Entah mengapa saya memilih untuk membahas kisah cinta alias bagian-bagian yang so sweet dalam novel yang banyak adegan pertarungan ini (itu sih bukan entah mengapa, tapi emang maunya, hahaha).

Meskipun yang berjuang mati-matian memperjuangkan cinta adalah Hui Sing alias Samita, tapi sangat jauh berbeda dari 'perjuangan' cinta seorang cewek yang ngejar-ngejar cowok di sinetron-sinetron. Apalagi sampai rebutan cowok dengan cara-cara yang, menurut saya, nggak elegan. Demi membuka kedok calon istri lelaki yang dicintainya, Sad Respati, Hui Sing rela berpisah dengan guru dan kakak seperguruannya untuk kembali ke Majapahit. Meskipun dua tahun terjebak di dasar jurang, toh semangat Hui Sing yang kemudian mengubah namanya menjadi Samita (satu-satunya kenang-kenangan dari Respati) tidak mengendur. Pada akhirnya, setelah dua tahun berusaha mendatangi Respati, mendapati lelaki itu telah menikah dan tampak bahagia, Samita tidak setega itu langsung menghancurkan kebahagiaan Respati. Barulah setelah 'didesak' oleh Mbok Rukmi, Samita memperjuangkan kebenaran itu. Tidak meledak-ledak, Samita justru hanya mengucapkan beberapa kalimat saja. Menurut saya, itu keren dan elegan.

Sampai di situ, Samita tidak langsung memperoleh cintanya. Respati, yang kemudian mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Rakryan Rangga Majapahit setelah berpisah dengan istrinya, pergi untuk mencari hakikat hidupnya. Lagi-lagi, selama dua tahun Samita hanya menunggu, mengawasi, dan menjaga lelaki itu dari jarak tertentu yang bahkan tidak disadari oleh Respati.

Kendati perjalanan mereka meraih cinta tidak dengan kontak yang intens, tiada sentuhan, bahkan bertatapan pun tidak berlebihan, namun saya tetap merasakan keromantisan (atau so sweet-nya) kisah mereka. Ketika kemudian mereka menikah (yah, jadi saya bocorin nih ceritanya hahaha), saya, yang padahal cuma sebagai pembaca dan sayangnya BUKAN pelaku (-_-"), sampai mukul-mukul bantal saking girangnya (oke, saya memang lebay kalau baca novel, bisa sampai nangis-nangis atau ketawa-ketawa sendiri). Yaa, meskipun kebahagiaan itu ada jangka waktunya, sih.

Well, secara umum saya suka dengan karakter Samita dan Respati. Keduanya sama-sama strong, berhati lembut, dan berjiwa ksatria. Kyaaaaaa!! Jadi mau senyum-senyum bayangin Respati #ups #dihajarsamita wkwkwkwk :p

Oia, selain Samita-Respati, ada lagi pasangan yang diceritakan di novel ini, Ramya dan Windriya. Pasangan ini memang tidak bernasib sebaik Samita-Respati, dan saya cukup merasa tersayat-sayat membaca kisah mereka seperti alunan kecapi yang dimainkan Dewi Kecapi Maut yang menyayat hati. Kalau suka yang galau-galau, pasangan ini pas nih. Harmonisasi kecapi yang berpadu dengan seruling yang dimainkan sepenuh hati, syair-syair cinta, penantian panjang, ayam panggang (lho? Kok ada ayam panggang segala? Hehe, maksudnya, pertama kali mereka bertemu itu selain karena suara seruling Windriya, juga karena aroma ayam panggangnya yang menggoda perut Ramya), pas deh membuat perasaan jadi galau. Yah, meskipun saya masih nggak bisa bayangin ada orang yang rela hidup di pinggir jurang untuk waktu yang tak terbatas demi menunggu seseorang yang entah bagaimana nasibnya setelah jatuh ke jurang yang sangat dalam itu, karena, menurut saya, itu agak... konyol. Nggak move on, gitu. Hehehe. Tapi, karena saya sendiri belum pernah mengalami cinta yang sebegitu dalamnya, jadi mungkin saya terlalu kejam menilainya. Apalagi, ternyata yang dinanti-nantikannya akhirnya benar-benar muncul beberapa tahun kemudian. So sweet-nya lumayan 'dapet' juga meski tidak berakhir menyenangkan.

Yak, meskipun tulisan ini seperti mengulas rasa gula dalam sayur sop (ini sayur sop bikinan mama saya lho, entah yang lain pada pake gula apa nggak), alias hanya secuil dari banyak sekali hal yang bisa diulik dari novel ini, tapi saya ingin menunjukkan, bahwa keromantisan itu nggak hanya bisa dibangun dengan kata-kata "aku cinta padamu" dan sejenisnya, pacaran, dan/ataupun kontak secara fisik. Bukan bermaksud menyindir, menceramahi, apalagi ngajak ribut, lho. Just wanna share my opinion saja :) Seperti yang saya tulis barusan, nggak "hanya", jadi yang saya sebutkan kemudian itu memang bisa juga menjadi romantis, misalnya mama saya hobi banget mengumbar kata-kata yang membuat muka papa saya merah, terlebih setelah anak-anaknya udah pada gede dan sudah cukup bisa memahami. 

Sekian :)

2 komentar:

  1. ciyeeeee.......
    hahahaha....... :P
    lya dan hujan....

    BalasHapus
    Balasan
    1. -_____-"
      postingan ini bukan edisi hujan, cintaah..

      Hapus