Minggu, 21 Juni 2009

Matahari Laksmi

Detak jarum jam di dinding kamarku terdengar sangat jelas seakan tak ingin diriku merasa tuli ditelan kebisuan. Jam berbentuk kemudi mobil itu menunjukkan pukul setengah satu malam. Tugas sekolahku yang lumayan banyak sudah selesai sejak satu setengah jam yang lalu. Jadi seharusnya aku sekarang sudah tenggelam dalam lautan mimpi. Tapi entah mengapa aku tak bisa terlelap. Kucoba memejamkan mata, tapi pikiranku masih melanglang buana. Decakan cicak di balik jam menyuruhku untuk segera tidur. Dalam pejaman mata, aku heran, kenapa ada wajah gadis itu?
Gadis periang itu adalah
Laksmi. Baru beberapa bulan belakangan ia menjadi teman sekelasku. Ia pindah dari sebuah sekolah unggulan di kota besar ke sekolahku, sekolah yang hanya terkenal di kota mungil nan terpencil ini. Sifatnya yang terbuka, ramah, ceria, dan suka melawak di kelas membuatnya memiliki banyak teman dalam sekejap. Ditambah paras orientalnya dengan mata sipit yang selalu berbinar, bibir tipis berwarna merah muda yang selalu menguntaikan senyuman yang mempesona, rambut hitam lurus panjang yang selalu dikuncir kuda, kulit putih, postur tubuh yang tinggi semampai seperti model lengkap dengan kaki jenjangnya, membuat hampir semua anak lelaki di sekolahku, terutama di kelasku, terkagum-kagum bahkan tergila-gila padanya. Mungkin hanya aku yang terkecuali.
Laksmi memang lain dari yang lain. Dari segi penampilan saja, dia terlihat mencolok dibanding siswa lainnya. Maklum, ia dari kota besar. Gaya berpakaian, berjalan, dan berbicaranya lain dari teman-temanku yang asli kota kecil ini. Aku tak mengatakan ia melakukan hal yang salah, hanya saja hal yang tak lumrah. Laksmi suka sekali melawak. Lelucon yang terlontar darinya selalu segar dan mengundang tawa, tak pernah ada lelucon yang menghina orang lain. Laksmi juga suka mengajak teman-teman bermain bola bekel, petak umpet, petak jongkok, petak jingkrik, batu 7, ular naga, galasin, dan permainan anak-anak yang lain. Sifatnya yang agak manja dan childish itu mengingatkanku pada seseorang, tapi aku tak ingat siapa orangnya.
Entah mengapa, ia senang sekali mengusikku, mengajakku bercanda, dan mencoba untuk memancing perhatianku seperti ia menyedot perhatian siswa lainnya. Tapi perhatianku tak pernah dapat tercuri olehnya. Bukannya bermaksud sombong, tapi memang begitulah keadaannya. Siswa baru yang mendadak populer itu sepertinya ingin bisa mendapat perhatianku juga. Aku tak yakin dia bisa mencairkan sifatku yang -menurut banyak orang- sangat dingin.
Oke, sekarang memang ia berhasil menguasai pikiranku. Tapi itu beralasan. Aku memikirkan gadis itu karena teringat pada kejadian seminggu yang lalu, saat ada razia di sekolah yang dilaksanakan oleh Petugas Penegak Disiplin. Salah satu rekanku yang juga merupakan Petugas Penegak Disiplin sepertiku menemukan sebuah tempat kumpulan CD di dalam tas sekolah Laksmi. Ia langsung menyitanya dan mencatat namanya. Kulihat Laksmi menatapku lain, seperti ada sesuatu yang ingin disampaikannya, tapi tak sanggup dikatakannya. Matanya terlihat was-was, ia menggigit bibir bawahnya dan tangannya mencengkeram rok abu-abunya. Lagi-lagi hal itu mengingatkanku pada seseorang yang sampai sekarang tak kuingat siapa orangnya.
Sejak hari itu, yang berarti sudah beberapa hari sampai malam ini, aku merasa sikap Laksmi agak berubah, khususnya terhadapku. Mungkin ini hanya perasaanku, tapi aku merasa ia menjauh dariku. Jangankan untuk bercanda denganku, kalau tiba-tiba berpapasan saja ia menghindar. Apa ia kesal padaku karena aku yang saat itu juga melakukan razia tak berbuat apapun saat rekanku menyitanya? Hey, jangan berpikir karena aku teman sekelasnya, lantas aku harus bersikap tidak adil! Aku adalah petugas penegak disiplin, dan aku harus melaksanakan kewajibanku dengan baik!
“Hhh…” kuhembuskan nafas panjang. Tapi sebagian diriku yakin, Laksmi bisa mengerti posisiku. Jadi karena apa ia menjauh dariku?
Kulirik jam dinding lagi untuk yang kesekian kalinya. Pukul satu lewat dua puluh menit. Huff… apa-apaan ini? Bisa-bisa aku tertidur di kelas besok! Eh, nanti, karena sekarang sudah dini hari.


Sebelum bel masuk dikumandangkan, aku melangkahkan kakiku menuju ruang ekskul Penegak Disiplin, ekskul yang kuikuti. Aku mencari CD milik Laksmi yang disita. Aku hanya ingin tahu, kira-kira CD itu berharga untuknya atau tidak. Mungkin jika CD itu penting aku bisa mengembalikan padanya dan berpesan agar ia tak membawa CD itu lagi. Dan mungkin sikapnya padaku bisa seperti dulu lagi.
Tak sulit mencari kumpulan CD itu. Dengan segera aku menemukan sebuah tempat CD satu-satunya di kumpulan barang sitaan. Aku membuka tempat CD itu dan melihat CD-CD apa yang ada di dalamnya. Hanya CD lagu-lagu biasa, rata-rata lagu rock. Hmm… lumayan juga selera gadis ini, tak seperti kebanyakan gadis lain.
Tiba-tiba aku sedikit terkejut menemukan namaku tertulis di salah satu keping CD. Karena aku tak yakin, aku mengeja perlahan-lahan dalam hati. Benar, tulisan itu sangat jelas berbunyi “Untuk Matahariku, Ginanjar P.”. Aku tertawa dalam hati. Begitu banyak orang tua yang tak kreatif membuatkan nama untuk anaknya, termasuk orang tuaku. Ginanjar P. adalah nama yang umum sekali. Kakaknya temanku bernama Ginanjar Pratama, pamannya tetanggaku bernama Ginanjar Pradipta, selain itu ada teman papaku sejak kecil bernama Ginanjar Pasaribu. Begitu banyaknya nama yang mirip denganku. Mungkin Ginanjar P. yang dimaksud Laksmi ini adalah teman, sahabat, atau mungkin pacarnya. Siapapun dia, pastinya orang itu berarti sekali bagi Laksmi. Hal itu terbaca dengan jelas dari kata “Matahariku” yang ia gunakan. Tulisan itupun ditulis dengan sangat rapi menggunakan spidol warna biru, warna yang kebetulan aku sukai juga. Tetapi aku tak tahu apa isi CD itu, dan memang aku tak berhak tahu.
Bunyi bel segera menghentikan kebandelanku membuka-buka barang milik orang lain. Aku agak heran juga pada diriku. Biasanya aku tak pernah peduli pada orang lain. Bahkan aku sampai dicap es batu, patung, ice man, snowman, dan sejuta julukan-julukan seperti itu, tetapi tetap saja aku tak peduli. Oh, tapi untuk yang satu ini, aku bisa jelaskan. Aku hanya tak ingin punya musuh, apalagi gadis seperti Laksmi yang punya banyak penggemar yang siap menjadi bodyguardnya. Tiba-tiba aku ingat, aku harus segera ke kelas, karena guru mata pelajaran pertama ini hampir selalu tepat waktu, tetapi juga sangat jahil. Bisa-bisa aku dihukum menyanyikan lagu Mars Sekolah di tengah lapangan bila terlambat masuk kelas. Maka aku pun berlari menuju kelas. Akibatnya aku lupa membawa CD milik Laksmi untuk ku kembalikan agar ia bisa bersikap biasa lagi padaku.
Saat membuka pintu kelas, aku dikagetkan oleh tingkah Laksmi yang konyol.
“Ginanjar, gue punya sulap dong.” Katanya sambil mengocok kartu.
“Udah-udah, gurunya udah mau masuk.” Kilahku. Aku malas sekali menanggapi permainan sulap kanak-kanaknya yang mudah ditebak. Dan memang, kulihat guru yang kumaksud tadi sedang berjalan menuju kelas.
Laksmi sudah bersikap seperti semula! Ternyata aku hanya salah sangka padanya. Selama beberapa hari kemarin Laksmi memang tak mengajakku bercanda, tak melakukan hal-hal kekanak-kanakan seperti tadi, tak menggangguku, bahkan sebisa mungkin tak bertemu denganku. Tapi terbukti, itu hanya perasaanku saja.
Pulang sekolah, tiba-tiba Laksmi memanggilku saat aku akan menyalakan mesin motorku.
“Ginanjar!” teriaknya dengan suara melengking. Lalu ia berlari menghampiriku.
“Anterin gue pulang, ya!” pintanya santai dan tanpa ragu langsung naik ke motorku. Gadis ini benar-benar cuek!


Rumah Laksmi cukup bagus. Salah, sangat bagus. Rumah itu mungil dengan halaman yang luas dan penuh tanaman hias. Bangunan rumah itu sepertinya sudah cukup tua, tetapi masih terawat dengan baik. Dindingnya berwarna putih dan atapnya berwarna cokelat tua. Pintunya terlihat sangat kokoh namun tetap terkesan ramah dan terbuka seperti penghuninya, jendelanya besar dan banyak, membuat bagian dalam rumah itu sepertinya sangat sejuk ditiup angin dari pohon besar di samping rumah melalui jendela-jendela itu.
“Ini rumah gue. Kapan-kapan main ya!” tawarnya.
Aku hanya mengangguk tipis sambil tersenyum. Lalu bergegas pulang.
“Eh, Ginanjar! Tunggu dulu!” tahannya.
“Apaan?”
“Hari Minggu lo ada acara nggak? Kalo nggak, mau nggak nemenin gue ke salah satu tempat menarik di kota ini? Soalnya temen-temen gue pada pengen liat fotonya. Kalo bisa jangan tempat wisata yang udah umum, tapi ke tempat yang belum banyak pengunjungnya dan belom pernah diliput media! Gimana, mau kan?” pintanya.
“Hmm… gimana ya?” pikirku menimbang-nimbang.
Please…” harapnya dengan suara memelas. Jari-jari kedua tangannya saling dikaitkan, dan ia meletakkan dagunya pada kedua tangannya yang terkait itu. Matanya tak lepas memandangku dengan harap-harap cemas.
Melihatnya memohon seperti itu, lagi-lagi aku teringat pada seseorang itu lagi, seseorang yang sampai sekarang aku masih belum ingat siapa orangnya. Caranya memohon sama seperti Laksmi. Tangannya, matanya, nada suaranya saat memohon, sama seperti orang yang pernah ku kenal. Aku terdiam beberapa saat untuk mengingat-ingat sampai dahiku berkerut. Ya, yang bisa kuingat hanyalah orang itu sama dengan orang yang sifatnya seperti Laksmi dan ekspresi cemasnya juga sepertinya. Tapi aku tak dapat mengingat lebih dari itu.
“Hey, gimana nih jadinya? Lama amat mikirnya.” desak Laksmi tak sabar, menyadarkanku dari lamunan.
Aku terkesiap sejenak. Lalu mengangguk pelan.
Air muka Laksmi berubah menjadi cerah seketika. Matanya yang tadi penuh harap sekarang sudah kembali berseri-seri. “Beneran?” tanyanya memastikan penglihatannya masih normal.
“Iya, lagipula gue emang lagi pengen ke sana.”
“Emang kita mau ke mana?” tanyanya ingin tahu.
“Hmm… ada deh! Udahlah, pokoknya hari Minggu jam 10 lo harus udah siap, ntar gue jemput.” Kataku berahasia. Tak tahu kenapa, semakin lama aku merasa semakin nyaman bersamanya. Dia hampir bisa membuatku yang katanya ‘dingin’ ini mencair.
“Siip…!” katanya sambil mengacungkan kedua ibu jari tangannya padaku.
“Ya udah, gue pulang dulu ya.” pamitku.
“Ati-ati yaa…!!” teriaknya sambil melambai-lambaikan tangannya saat motorku mulai melaju. Wajahnya berseri-seri bahagia seperti orang yang memenangkan undian.


Hari Minggu tepat jam 10, aku menjemput Laksmi. Ternyata dia memang sudah siap. Ia mengenakan pakaian terusan dengan rok selutut berwarna putih dan rambutnya dikepang dua dengan sedikit poni di dahi. Walaupun penampilannya lain dari biasanya, ia tetap terlihat sangat menawan. Tiba-tiba perasaan Déjà vu itu datang lagi. Kupandangi dia lamat-lamat.
“Kenapa sih?” tanya Laksmi membuyarkan pikiranku seketika.
“Oh, eh… nggak apa-apa. Kamu cantik.” Aku tergagap menjawabnya. Aku tak tahu kenapa aku tiba-tiba mengucapkan itu. Tapi, memang benar sih.
Dia terdiam sesaat, wajahnya berubah menjadi agak murung, tapi kemudian ia tersenyum tipis . “Makasih.” Jawabnya. Lalu dia naik motorku dengan posisi miring menghadap jalan.
Sepanjang perjalanan sama sekali tak ada pembicaraan. Bahkan ia sama sekali tak menanyakan akan kemana aku membawanya. Saat aku memacu motorku dengan kecepatan lumayan tinggi, ia tetap bergeming. Hanya mempererat cengkeramannya di jaketku. Alhasil tak ada sepatah kata pun yang terucap baik dariku maupun darinya sampai aku memarkir motorku.
“Pantai?” tanyanya heran. Aku jadi bingung, apa sepanjang perjalanan tadi dia tertidur sampai-sampai tak tahu kalau aku mengajaknya ke pantai?
“Iya. Gimana, suka nggak tempatnya?”
“Hmm…” ia memandang sekeliling, tampak heran melihat hanya ada segelintir pengunjung. “Kok sepi?” lanjutnya.
“Kan lo bilang kalo bisa jangan tempat wisata yang udah umum, tapi ke tempat yang belum banyak pengunjungnya dan belum diliput media. Ya inilah tempatnya. Sebenernya bagus, tapi kalah pamor dengan pantai lain yang terkenal itu.” Jelasku.
Laksmi mengangguk paham dan mengeluarkan kamera digital dari dalam tasnya. Tak diduga ia malah memotret aku. Aku langsung protes, tapi ia malah berlari menuju bibir pantai. Dipotretnya beberapa objek menarik di pantai itu, tak menghiraukan aku. Akhirnya aku memutuskan untuk menggulung celanaku dan berjalan menuju laut, membiarkan kakiku disambut ombak, rambutku dibelai angin pantai, dan kulitku dipanggang matahari. Lalu Laksmi menghampiriku dan ikut bermain dengan ombak. Kami kembali terdiam dan hanyut dalam lamunan masing-masing, sampai akhirnya ia mengajakku mencari minuman.
Sambil menikmati kesegaran es kelapa muda, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kaca mata berbingkai bulat seperti milik Nobita, tokoh kartun temannya Doraemon. Kemudian ia bertanya padaku apakah aku pernah melihat seseorang memakai kaca mata seperti itu.
“Tentu aja pernah. Si Nobita.” jawabku.
Lalu ia memakai kaca mata itu dan bertanya apakah aku pernah mengenal orang yang memakai kaca mata seperti itu, tapi aku tak menjawab. Pasti ada maksud di balik pertanyaan-pertanyaan dan sikap anehnya itu.
“Jadi, pernah nggak lo kenal sama orang yang memakai kaca mata seperti ini?” ulangnya.
Aku mengingat-ingat. Entahlah, banyak sekali orang berkaca mata yang pernah hadir dalam hidupku. Masa aku harus menghafalkan bingkai kaca mata mereka?
“Hhh… baiklah. Gue udah dapet foto-foto yang cukup, gue udah nggak haus lagi, jadi sekarang gue mau pulang.” Katanya sambil melangkah menuju tempat parkir meninggalkan diriku yang terbengong-bengong di warung es kelapa muda.


Sudah seminggu Laksmi tidak masuk sekolah. Aku benar-benar bingung. Sejak hari Minggu aneh itu, Laksmi tak menampakkan ujung sepatunya di sekolah. Ternyata ia sakit, dan teman sekelas ingin menjenguknya pulang sekolah, termasuk aku.
Tiba-tiba aku teringat untuk mengembalikan CD-CD Laksmi yang disita rekanku. Pulang sekolah sebelum berangkat bersama menuju rumah Laksmi, aku mengambil CD-CD itu di ruang ekskulku. Setelah itu aku dan teman-teman sekelasku berangkat bersama dengan aku sebagai pemandu jalannya, karena hanya aku yang tahu alamat rumahnya.
Laksmi terbaring tenang di tempat tidurnya. Ia tampak seperti Putri Tidur di dongeng-dongeng. Saat mamanya melihatku, rautnya aneh. Ternyata ia kenal padaku! Padahal saat aku mengantarkan atau menjemput Laksmi, aku tak pernah bertemu mamanya yang sibuk bekerja. Lalu tiba-tiba saja beliau ingin berbicara padaku. Maka aku menemuinya di ruang tamu, sementara yang lain di kamar Laksmi, mendoakannya agar cepat sembuh.
Kata Tante Winni, ibunda Laksmi, aku adalah teman kecil Laksmi. Bertahun-tahun yang lalu, saat masih SD, aku adalah teman akrab Laksmi. Kami bertetangga di kota besar itu. Lalu kelas 4 SD aku pindah ke kota kecil ini. Sejak itu kami langsung kehilangan kontak sama sekali.
Aku mencoba mengingat-ingat, lalu tiba-tiba ingatanku muncul begitu saja. Tidak berupa kepingan-kepingan ingatan yang selama ini kurasakan. Aku ingat semuanya dengan jelas. Seseorang yang sifatnya mirip Laksmi, tingkah lakunya mirip Laksmi, suka memakai baju terusan seperti yang Laksmi pakai hari Minggu lalu adalah teman kecilku, dan teman kecilku adalah Laksmi, orang yang sekarang sedang aku jenguk. Tapi, mengapa Laksmi tak pernah mengatakannya padaku?
Aku teringat akan CD Laksmi yang bertuliskan nama yang kukira hanya mirip dengan namaku. Lalu aku menanyakan tentang CD itu pada Tante Winni.
“Ginanjar, nama yang tertera di CD itu memang nama kamu. Laksmi bilang ia akan memberikan CD itu padamu saat kamu ulang tahun. Tapi ternyata malah disita. Laksmi tak tahu kalau akan ada razia. Kebetulan salah satu CD lagu-lagu dalam kumpulan CD itu ingin dipinjam temannya, jadi ia bawa.”
“Ooh…” hanya itu yang dapat aku katakan. Aku tak tahu harus berkata apa.
“Hmm… Ginanjar, ada lagi hal yang ingin tante sampaikan pada kamu. Sebenarnya Laksmi melarang tante memberitahukannya padamu. Tapi tante benar-benar sedih dengan kondisi Laksmi saat ini.” kata Tante Winni.
“Memangnya ada apa, Tante?” tanyaku penasaran.
“Sebenarnya, saat papa Laksmi mengatakan bahwa kami sekeluarga harus pindah ke kota ini, Laksmi-lah yang sangat antusias menyetujui, karena Laksmi ingin bertemu dengan kamu. Tahukah kamu, Ginanjar? Kamu sangat berarti di mata Laksmi. Tapi menurut tante dia tampak kecewa setelah bertemu denganmu, dan tante baru tahu sekarang alasannya, ternyata kamu sudah lupa pada Laksmi. Saat pulang dari pantai bersamamu hari Minggu kemarin, Laksmi terlihat sangat sedih lalu tiba-tiba jatuh sakit. Tante benar-benar bingung. Tante juga tak tahu seberapa besar arti dirimu bagi Laksmi, tapi yang jelas cukup besar. Jadi tolong, Ginanjar, hibur Laksmi ya. mungkin Laksmi akan cepat sembuh.”
Aku terkejut. Aku sama sekali tak menyangka. Aku hanya menganga, tak ada kata yang bisa kuucapkan. Lama aku termenung, tak sadar bahwa Tante Winni pergi dari hadapanku lalu kembali lagi membawa sebuah kotak berwarna biru. Beliau memberikan kotak itu padaku, beliau bilang, itu kotak dari Laksmi. Laksmi ingin memberikan kotak itu padaku sebagai hadiah ulang tahunku selain CD itu. Berhubung besok adalah hari ulang tahunku dan kondisi Laksmi tidak memungkinkannya untuk menyerahkan kado itu padaku, Tante Winni memberikannya padaku sekarang.
Di rumah, aku membuka kotak itu. Aku menemukan beberapa puisi karangan Laksmi beserta tanggal pembuatannya. Ternyata sebelum aku kenal dengannya, saat aku mulai berkenalan dengannya, saat aku menjadi teman baiknya, sampai saat aku pergi meninggalkannya, diceritakan Laksmi dalam puisinya. Aku baru tahu ia suka menulis puisi sejak kecil. Aku juga menemukan beberapa foto Laksmi kecil, fotoku tempo dulu, dan fotoku bersama dirinya saat masih SD. Aku memang tak banyak berubah. Masih tinggi, berbadan tegap, berkulit sawo matang, berhidung mancung, bermata tajam, dan jarang tersenyum. Pantas Tante Winni dan Laksmi yang banyak berubah mengenaliku sedangkan aku tak mengenali mereka.
Dari puisi-puisi dan foto-foto itu, aku baru tahu tentang apa yang Laksmi alami dan rasakan. Sebelum aku kenal dengannya, tak ada yang mau berteman dengannya karena Laksmi anak yang culun dan cengeng. Ia berkacamata seperti Nobita, rambut dikepang dua, suka memakai baju terusan model zaman dulu, dan gagap. Lalu aku hadir dalam kehidupannya. Kesangaran dan kegalakanku awalnya membuat ia takut, tapi lama-lama kami malah menjadi akrab. Dia yang manja dan kekanakan selalu kulindungi dengan sikap galakku. Aku memang bersikap keras dan kasar juga padanya, tapi justru itulah yang membuatnya berubah. Ia menjadi lebih kuat dan tidak cengeng. Ia juga bisa bersikap cuek menanggapi teman-teman yang mengejeknya. Percaya dirinya mulai berkembang.
Tapi 2 tahun kemudian aku pindah, ke kota kecil yang kudiami sampai sekarang. Kepergianku awalnya membuat Laksmi sangat sedih, tapi dia sudah cukup kuat tanpa perlindunganku.
Aku memutar CD dari Laksmi. Kudengar suara dentingan piano mengalun merdu. Lalu kudengar sebuah suara perempuan menyanyikan puisi-puisi Laksmi. Kucermati suara itu baik-baik. Ternyata benar dugaanku, itu suara Laksmi. Aku tak menyangka suara nyaringnya bisa terdengar sangat indah saat bernyanyi. Aku merasa sangat dihargai.
Mengetahui semua hal ini membuatku sangat heran, bagaimana mungkin aku yang biasa-biasa saja ini bisa menjadi sangat berarti bagi seorang Laksmi. Aku sama sekali tak sadar bahwa hal yang menurutku sepele dan tak penting bisa berarti sangat berharga dan sangat penting bagi orang lain. Aku tak tahu bahwa sifatku yang sering dikritik ini bisa membantu orang lain untuk berubah. Kubaca penggalan puisinya yang saat itu sedang dinyanyikan Laksmi dalam CD.
Matahari itu
Yang menumbuhkan kepercayaanku
di saat aku sudah tak percaya pada diriku
Yang menghadirkan pelangi
setelah selama ini hanya hujan yang menghampiri
Semua puisi-puisi Laksmi ia nyanyikan dalam CD itu. Beberapa diiringi piano, yang lain diiringi gitar. Aku terus memutar CD itu sampai aku tertidur.


Di malam ulang tahunku ini, aku bertemu Laksmi. Ia mengenakan gaun biru dan terlihat luar biasa cantik. Ia tersenyum padaku. Senyumannya sangat mempesona. Ia mengucapkan selamat ulang tahun padaku, dan berterima kasih padaku karena telah menjadi mataharinya. Aku meminta maaf karena aku sempat lupa padanya, dan ia memaafkanku.
Tiba-tiba dering ponselku mengacaukan semuanya. Aku tiba-tiba ada di tempat tidurku, dan Laksmi menghilang. Jam di dindingku berkata masih pukul setengah satu malam. Siapa yang meneleponku?
“Ginanjar, maaf tante mengganggu kamu malam-malam. Mmm… Selamat ulang tahun, Ginanjar. Maaf jika tante merusak hari ulang tahunmu. Tante hanya ingin memberi tahu bahwa Laksmi… Laksmi sudah tiada, ia sudah meninggal.” Kata Tante Winni dengan suara parau yang tetap halus.
Suara lembut Tante Winni terdengar bagai halilintar yang merobek gendang telingaku dan menyengatku dengan tegangan yang sangat tinggi. Aku merasa limbung, lalu semuanya terlihat berputar-putar di mataku. Termasuk pikiranku. Bagaimana mungkin? Aku baru saja bertemu dengan Laksmi, orang yang pertama kali mengucapkan selamat ulang tahun padaku.
Bekasi, 30 April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar