Minggu, 21 Juni 2009

Cermin

Aku punya sahabat. Sahabat yang sangat akrab. Persahabatanku dengannya bisa dibilang sangat unik, tapi aku menyukainya. Tanpa perlu banyak bicara, kami sangat memahami satu sama lain. Tepatnya dia yang sangat bisa mengerti diriku.

Kau tahu? Aku tak perlu mengatakan perasaanku, tapi dia tahu kalau diriku sedang bahagia. Tanpa aku keluarkan setetes air mata pun, dia tahu kalau aku sedang sedih. Intinya dia tahu semua tentangku, bahkan apa yang sedang aku rasakan tanpa perlu aku katakan apapun padanya.
Dengan setia ia selalu menemaniku. Ia sering menghiburku kala aku sedih, tertawa bersamaku kala aku senang, menyemangati diriku saat aku merasa tak sanggup lagi, dan dia selalu melihat mataku dan memperhatikan diriku dengan baik setiap aku melihatnya, menemuinya.
Awalnya aku bertemu dengannya secara tak sengaja. Aku kaget melihatnya di tempat itu. Dia menatapku, kemudian aku menghampirinya. Kutatap wajahnya lamat-lamat. Kemudian aku merasakan perasaan yang sangat aneh. Dia berbicara padaku. Dia tahu apa yang aku rasakan, padahal aku belum berkata sepatah katapun padanya.
Di awal-awal pertemuan kami, kami jarang bertemu. Hanya di beberapa tempat tertentu. Agar tak ada yang tahu. Entah kenapa aku khawatir bila ada yang tahu aku bersahabat dengannya. Tapi akhirnya mereka, orang-orang itu tahu semuanya. Tapi biarlah, aku merasa tak bisa pisah dari sahabatku. Aku tak peduli mereka tak suka padanya. Kini, setiap aku merasa membutuhkannya, aku selalu menemuinya. Dan seperti biasa dia selalu riang bertemu denganku. Tapi mereka, orang-orang itu, selalu berusaha agar aku tak bertemu sahabatku. Mereka mencarikan sahabat baru bagiku, tapi aku tak mau. Dia terlalu banyak bicara dan bertanya. Lagipula, aku tak mau meninggalkan sahabatku. Dia sahabatku, dan selamanya akan jadi sahabatku.
Tapi kemudian mereka datang lagi dan mengajak seorang lelaki yang usianya beberapa tahun lebih tua dariku. Ia terlihat berbeda dengan ‘sahabat baru’ yang sebelumnya. Ia tampak lebih ramah, bahkan ia rela menunggu saat aku bertemu dan bercengkerama dengan sahabatku. Ia tampaknya tak menunjukkan tanda-tanda membenci sahabatku.
«««
Hari itu cuaca cerah. Matahari menerpa kulitku yang putih pucat. Aku merasa hangat. Entah kenapa tiba-tiba ‘sahabatku yang baru itu’ mengajakku jalan-jalan pagi ini. Sudah lama aku tak merasakan hangatnya sinar matahari, menghirup udara pagi yang mungkin tak terlalu bersih karena beberapa kendaraan bermotor berlalu lalang.
“Mau kemana?” tanyaku pada sahabatku yang baru itu.
“Aku pengen cari makanan yang lain. Aku bosan dengan makanan yang ada di rumah, kamu juga bosan kan?” jawabnya. Ia bicara padaku seperti kami memang sebaya, padahal tubuhnya saja jauh lebih tinggi dan lebih besar dariku. Wajahnya tampak sedikit lebih tua dariku. Tapi ia tak pernah menganggapku anak kecil. Dan aku suka itu.
“Sangat. Setiap pagi aku memakan menu yang sama. Aku tak lagi bisa merasakan kelezatannya.” Jawabku. Senang rasanya dia seperti ‘sahabatku yang satu lagi itu’, bisa mengerti apa yang aku rasakan.
“Kamu terlihat jauh lebih baik di sini. Wajahmu jadi terlihat lebih segar dan tentunya semakin cantik.” Pujinya. Aku merasa pipiku terbakar. Dia tertawa melihat reaksiku.
“Hey, kamu mau makan apa?” tanyaku sambil melihat sekeliling. Di sekitar kami banyak toko yang menjual makanan.
“Apa ya? Apa yang kamu mau?” dia balik bertanya padaku. Kali ini tak seperti ‘sahabatku yang satu lagi’ yang tak pernah bertanya apapun padaku, yang tahu semua tentangku tanpa kuberi tahu. Tapi entah mengapa aku juga merasa senang ditanya oleh ‘sahabatku yang baru’ ini. Perasaan yang lain dari yang kurasakan dengan ‘sahabatku yang satu lagi itu’.
“Hmm..” aku berpikir sejenak sambil melihat sekeliling. Beberapa penjual menawarkan dagangannya padaku.
“Entahlah. Aku tak tahu yang mana yang paling enak. Aku lupa semuanya.” Kataku akhirnya.
“Bagaimana kalau kita ke sana?” tanyanya sambil menunjuk sebuah kafe kecil di ujung jalan.
“Baiklah. Terserah kau saja lah.” Kataku menurut. Aku tak tahu makanan apa yang enak di sini. Padahal dekat rumahku. Sedangkan dia bukan orang daerah sini. Harusnya aku bisa merekomendasikan makanan yang enak dari daerah sini pada pendatang ini. Apalagi dia sahabatku. Aku merasa agak menyesal mengapa aku terus-terusan mengurung diri di rumah.
Setelah sarapan dan jalan-jalan sebentar, kami kembali ke rumahku. Aku merasa lebih baik. Aku ingin segera bertemu sahabatku, menceritakan semuanya. Tapi kurasa aku tak perlu lakukan itu. Dia pasti sudah tahu sebelum aku ceritakan padanya.
Aku merasa lebih semangat dan lebih bahagia dari sebelumnya. Aku ingin terus merasakan perasaan ini. Perasaan yang mungkin pernah kualami, tapi aku sudah lupa. Perasaan bebas, tanpa beban, semuanya terasa ringan.
Esoknya aku diajak sarapan di luar rumah lagi oleh ‘sahabatku yang baru itu’. Kali ini di tempat yang beda, tapi tak jauh dari kafe yang kemarin. Sambil menunggu pesanan kami datang, ia memulai percakapan, tak seperti kemarin saat ia membiarkanku tersenyum-senyum sendiri melihat matahari dari balik jendela kafe. Merasakan perasaan yang baru, yang penuh semangat.
“Diana, kamu senang kita makan di sini?” tanyanya.
“Tentu saja. Seperti kemarin, aku juga senang.”
“Baguslah. Aku senang melihatmu tersenyum. Tetaplah seperti itu.”
Aku hanya membalas tersenyum semakin lebar lagi. Dia juga tersenyum.
“Hmm.. boleh aku tahu sejak kapan kamu bersahabat dengan sahabatmu itu? Siapa namanya? Boleh aku tahu?” tanyanya hati-hati, sepertinya ia tak mau sedikitpun menyinggung perasaanku.
“Sejak… mungkin satu setengah tahun yang lalu.” Jawabku menerawang, mengingat lagi saat itu. Lalu aku bersiap menjawab pertanyaannya yang kedua, tiba-tiba…
DEG! Aku merasa jantungku berdegup sangat kencang, keringat dingin menyembul dari pori-pori dahi dan tanganku. Aku mematung beberapa saat.
“Diana, ada apa?” tanyanya panik.
“Aku… aku… aku tak tahu namanya!”
«««
Sahabat macam apa aku ini? Sudah satu setengah tahun bersahabat, belum tahu namanya? Keterlaluan! Aku memaki diriku sendiri sepanjang perjalanan pulang ke rumah dari rumah makan yang tadi. Rencana ‘sahabatku yang baru’ untuk jalan-jalan lagi setelah makan pagi gagal. Setelah aku menyadari bahwa aku tak tahu nama sahabatku, pikiranku kacau lagi. Aku makan tergesa-gesa sampai beberapa kali tersedak. Aku ingin bertemu sahabatku secepatnya. Secepatnya!
Saat aku memaki-maki diriku sendiri dalam hati, ‘sahabatku yang baru’ mengulurkan salah satu tangannya lalu mengusap-usap kepalaku. Sementara tangannya yang lain tetap memegang kemudi mobil.
“Tenanglah. Kita akan menemuinya secepatnya.” Kata ‘sahabatku yang baru itu’.
Tiba-tiba aku ingat satu hal lagi. Aku juga belum tahu siapa nama ‘sahabatku yang baru’ ini!
“Aku… aku… aku juga tak tahu siapa namamu! Siapa namamu?” tanyaku tergagap. Aku benar-benar merasa bersalah padanya. Juga pada sahabatku. Mereka adalah sahabatku. Tapi namanya saja aku tak tahu!
“Tenang. Tak apa kau tak tahu namaku. Sebenarnya mamamu pernah mengucapkan namaku saat ia mengenalkanku padamu. Tapi saat itu kau masih mengacuhkan aku. Aku Erick.”
Aku mengingat-ingat saat ia datang bersama orang tuaku. Ya, sepertinya mama pernah mengucapkan namanya saat mama memperkenalkan dia padaku. Tapi aku cuek, tak menghiraukannya, karena kupikir ia seperti ‘sahabat baru’ yang ditawarkan mama padaku sebelumnya.
“Erick, maafkan aku.” kataku.
“Sudahlah, aku sudah tak bilang tak apa kau tak tahu namaku. Tapi aku ingin satu hal.”
“Apa itu?” tanyaku. Aku rela dihukum atau didenda karena telah menyakiti sahabatku. Sahabat tak tahu nama kita, itu kan menyakitkan?
“Bagaimana kalau nanti saja kita menemui sahabatmu. Kau harus menenangkan dirimu dulu. Dia pasti tak ingin melihatmu kacau seperti ini. Dia kan tahu kalau kau sedang tak tenang. Apalagi ditambah mengetahui kalau kau tak tahu namanya. Pasti menyaitkan sekali. Kau tidak ingin kan menyakiti sahabatmu?”
Aku terdiam sesaat. Memikirkan pendapatnya. Benar juga sih.
“Baiklah.”
«««
Erick mengajakku ke suatu taman bermain. Sudah lama aku tidak ke tempat itu. Tempat itu memang selalu terlihat menyenangkan. Tapi aku tak yakin apakah aku bisa senang di dalam sana.
“Erick, aku tahu tempat ini memang menyanangkan. Tapi aku tak yakin apa aku bisa merasa lebih baik, karena aku sangat, sangat ingin segera bertemu sahabatku, meminta maaf padanya, dan menanyakan namanya. Mana mungkin aku dapat bersenang-senang saat aku cemas dan merasa bersalah seperti ini?” tanyaku sebelum turun dari mobil.
“Tenanglah, Diana. Kau harus tenang. Aku sahabatmu, dia juga sahabatmu. Aku tahu dia pasti tak akan marah padamu. Dia pasti memaafkanmu. Aku tahu nama memang hal yang paling utama saat berkenalan. Tapi buktinya aku dan dia bisa bersahabat denganmu tanpa kau tahu siapa nama kami. Aku hanya tak ingin melihatmu cemas, gelisah, dan merasa bersalah seperti ini. Aku ingin melihatmu tersenyum bahagia. Aku yakin dia juga ingin melihatmu seperti itu.” Katanya meyakinkanku sambil menggenggam kedua tanganku erat. Matanya menatap lurus mataku, dan aku dapat melihat kesungguhan di balik mata yang tajam itu.
“Baiklah, aku akan berusaha tenang.”
Lalu kami masuk taman bermain itu. Aku berusaha tersenyum. Lama-lama aku bisa tersenyum sungguhan. Taman bermain ini memang selalu menyenangkan. Aku bermain berbagai permainan. Komedi putar, bianglala, juga roller coaster, dan yang lainnya. Aku membeli makanan, permen kapas, permen lollipop, foto bersama badut, dan sebagainya.
Hari menjelang sore. Matahari masih bersinar terik, tapi tak menyangat seperti siang hari, tergantung di barat tapi masih jauh di atas horizon. Aku merasa jauh, jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku merasa tenang, jadi aku bisa membahagiakan kedua sahabatku. Mereka memang sahabat yang sangat baik.
«««
Di perjalanan pulang dari taman bermain aku merasa tidak sabar bertemu sahabatku. Sebentar lagi aku akan tahu namanya, dan aku akan bisa bercengkerama dengannya lebih seru lagi.
Begitu turun dari mobil, aku langsung melesat menuju tempat pertemuanku dengannya, suatu tempat dimana pertama kali aku melihatnya, dan di tempat itulah aku bertemu dengannya. Tidak bisa di tempat lain.
Aku membuka pintu berwarna cokelat tua dan masuk ke dalamnya, tak menguncinya kembali seperti biasa karena Erick tadi bilang dia ingin berbicara juga dengan sahabatku ini. Tapi dia mengambil sesuatu dulu. Kemudian aku menghampiri sebuah cermin raksasa di dalam ruangan itu, kamar kakakku yang sudah pergi jauh, jauh sekali, dan selamanya tak akan kembali. Cermin itu menampakkan sesosok manusia secara utuh, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ya, itu sahabatku. Sedang tersenyum menatapku dalam-dalam.
Tiba-tiba pintu terbuka. Erick masuk tetapi masih berdiri di depan pintu. Aku ingin memperkenalkannya pada sahabatku. Aku menatap sahabatku, tapi malah dia yang berkata.
“Diana, kau ingin memperkenalkan seseorang padaku? Panggillah, aku juga ingin bertemu dengannya, sahabatmu yang baru, sahabat kita yang baru.”
“Tidak, bukan sahabat kalian yang baru. Tapi sahabat Diana yang baru. Hanya Diana.” Kata Erick meralat ucapan sahabatku.
Aku bingung. Mengapa Erick bisa berkata seperti itu? Apa dia tak ingin bersahabat juga dengan sahabatku?
“Diana, kemarilah.” Panggil Erick yang masih di depan pintu. Aku menghampirinya dengan bingung.
“Lihatlah ini.” kata Erick sambil menyerahkan cermin kecil dari kamarku.
Aku melihatnya dengan bingung. Tak ada apa-apa di sana selain pantulan wajah diriku. Aku sering melihatnya untuk bercermin, seperti tadi pagi saat aku akan mencari sarapan di luar rumah.
“Apa yang kau lihat?” tanyanya.
“Aku tak lihat apapun selain pantulan wajahku.” Jawabku.
Lalu Erick meraih tanganku dan menuntunku ke depan cermin raksasa itu.
“Apa yang kau lihat di sana?” Tanya Erick lagi.
Aku tertegun sesaat. Sahabatku hilang, sekarang yang ada hanyalah pantulan diriku secara utuh dari ujung rambut sampai ujung kaki yang sangat, sangat mirip dengan sahabatku. Seperti saudara kembar identik yang sama sekali tak punya perbedaan fisik!
Di samping pantulan diriku, ada pantulan Erick, yang pastinya juga sama persis dengan Erick.
“Diana, yang kamu lihat biasanya dalam cermin itu adalah pantulan dirimu sendiri. Bukan orang lain. Bukan sahabat yang kamu tidak tahu namanya itu.” Kata Erick perlahan dan sangat hati-hati.
Walaupun Erick mengucapkan dengan selembut mungkin, mendengarnya aku seperti mendengar suara halilintar yang sangat keras dan memekakkan telinga. Aku tak percaya, aku tak percaya!
“Kau salah, Erick! Dia sahabatku! Sahabatku! Bukan diriku! Dia bisa berbicara padaku, menghiburku, menenangkan aku, dan mengerti semua perasaanku! Kau tak tahu itu!!” kataku pada Erick dengan emosi meluap-luap.
“Diana, kau harus percaya padaku. yang berbicara adalah dirimu sendiri, kau merasa seolah-olah kau adalah orang lain! Kau melihatnya di cermin sedang berbicara padamu dan menganggap yang berbicara padamu adalah orang lain. Padahal kau yang berbicara dengan menjadi orang lain, orang yang tak kau kenal tapi sangat mengenalmu dan memahami dirimu tanpa kau bercerita padanya, itu semua karena dia adalah dirimu, yang tentu mengetahui dengan jelas apa perasaanmu,tak seperti orang lain… sadarlah, Diana…” katanya sambil memegang bahuku erat dan mengguncangkannya. Dalam matanya aku melihat perasaan iba, tak rela, kecewa, berharap, cemas, dan banyak lagi. Tak lama kemudian aku tak dapat melihat apapun, pandanganku gelap, sebelum akhirnya tubuhku ambruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar