Sudah biasa, saya pikir, bagi saya untuk membuat
perencanaan. Tujuan, impian, cita-cita, dan sejenisnya sudah tidak asing lagi
bagi saya. Bahkan, saya pernah membuat tulisan mengenai hal tersebut. Namun,
pada dua siang itu saya tersentak. Malu. Apa benar saya sudah tahu tujuan saya?
Dua siang. Dua tempat. Dua situasi. Pertanyaan pada
siang, tempat, dan situasi pertama terjawab beberapa minggu setelahnya,
tepatnya di siang, tempat, dan situasi yang kedua. Keduanya sama-sama
menghentakkan saya dalam hal yang sudah saya paparkan sebelumnya.
Apa tujuan hidup kamu? Sebuah pertanyaan simpel dari
dosen saya membuat saya meringis. Saat itu saya yakin saya sudah punya. Saya
sering membuat perencanaan dalam hidup saya, mulai dari perencanaan studi,
perencanaan karir, kalau perencanaan hidup … mungkin. Mungkin sudah, mungkin
juga, hmm, belum. Ah, bukankah saya sudah punya tujuan hidup? Atau, apakah yang
saya kira tujuan sebenarnya bukan benar-benar tujuan?
Kali kedua terjadi bukan di dalam kampus. Ketika
mengikuti sebuah pelatihan, saya dikenalkan “istilah baru”. Terminal dan halte.
Bukan terminal dan halte kendaraan umum seperti yang saya maknai biasanya,
melainkan “terminal” dan “halte” dalam hidup. Saya, dan peserta pelatihan saat
itu, diminta untuk mengevaluasi “tujuan” yang telah kami tuliskan sebelumnya,
apakah “tujuan” itu adalah “terminal” alias tujuan akhir, atau baru “halte”
alias tujuan sementara.
Saya menelan ludah. Tanpa
lama berpikir, saya menulis kata HALTE besar-besar. Semua ini baru halte. Dari
sekian baris mimpi yang saya tulis itu, semuanya bukan yang terakhir, bukan
final.
Saya
jadi kembali teringat pada “banyak jalan menuju Roma”. Dalam konteks ini,
bahkan jika keadaan membuat saya harus melalui jalan yang bukan di mana
halte-halte itu berada, itu sejatinya tak mengapa. Lagi-lagi, karena itu hanya
persinggahan sementara.
Dan
bukan di dunia ini pemberhentian akhir itu berada.
Nampaknya
saya terlalu sibuk membayangkan jalan-jalan yang mengantarkan saya pada
“halte”, hingga terlupa pada “terminal”.
Namun demikian,
itu tidak berarti “halte”-“halte” tersebut menjadi tidak penting. Mereka
penting, tapi yang saya pahami sekarang, mereka bukan lagi yang utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar