Minggu, 30 Agustus 2009

Sepotong Kue Terakhir


Aku sibuk membolak-balik halaman majalah langgananku. Lebih tepatnya sok sibuk. Aku tak tahu harus melakukan apa saat jarum jam di dinding berjalan terseok-seok. Mungkin ia merasa sangat lelah berputar-putar di tempat yang sama. Tiba-tiba mataku terhenti pada halaman ramalan bintang. Aku tertawa kecil. Masihkah ada yang percaya pada ramalan berdasarkan tanggal lahir?
Di hari, tanggal, bulan, dan tahun yang sama kami dilahirkan. Ia hanya 3 jam lebih tua dariku. Tapi nasib kami sungguh jauh berbeda. Hidupnya yang selalu bahagia berbanding terbalik denganku.



Namanya Ira. Aku mengenalnya hampir setahun yang lalu. Saat itu aku sedang berusaha kabur dari rumah karena aku merasa sudah tak tahan hidup di rumah yang hanya berisi pelayan-pelayanku. Aku hampir tak pernah bertemu orang tuaku. Mereka pulang setelah aku tidur, dan pagi harinya saat aku mau berangkat ke sekolah mereka sibuk bersiap-siap berangkat kerja. Entah apa yang ada di otak orang tuaku selain uang, uang, dan uang. Entah berapa angka yang menurut mereka cukup, sehingga dapat mengurangi jam kerja mereka. Bahkan aku tak ingat kapan terakhir kali aku berbicara dengan mereka.
Tapi, Ira bilang seharusnya aku bersyukur. Bersyukur untuk apa? Ia bilang aku seharusnya bersyukur karena semua kebutuhanku mereka penuhi.
“Memangnya yang aku butuhkan hanya uang? Aku butuh perhatian, kasih sayang!” ujarku ketus.
“Yaa… setidaknya mereka nggak pernah marahin kamu, kan?” kata Ira.
“Aku lebih suka dimarahin! Seenggaknya kalo mereka marahin aku itu tandanya mereka masih peduli sama aku!”
“Kalo gitu, misalkan kamu bener kalo orang tua kamu gak peduli sama kamu, apa kamu pikir mereka akan peduli kamu kabur? Kabur malah ngerugiin kamu. Kalo di rumah hidup kamu terjamin. Sedangkan di luar?” bujuk Ira dengan caranya.
“Tapi kamu bisa hidup seneng tuh! Kalo kamu bisa, aku juga bisa!” kataku ngotot.
“Aku masih punya rumah, Via. Yah, walaupun gak bisa dibilang rumah juga sih. hehehe.” Jawabnya sambil nyengir.
Ira memang hidup di jalanan. Ia adalah seorang pengamen. Tapi ia benar-benar menjual suaranya. Ia menyanyi dengan suaranya yang sangat bagus. Penampilannya pun nggak lusuh seperti pengamen kebanyakan. Intinya, ia nggak ingin dikasih uang karena orang kasihan sama dia, tapi karena kemampuannya dalam bernyanyi dan bermain gitar.
Sekilas, hidupku emang tampak lebih beruntung daripada Ira, tapi sebenernya nggak. Ira jauh lebih bahagia. Senyumnya selalu terukir di wajahnya. Matanya selalu bersinar-sinar penuh semangat. Tak pernah satu kata keluhanpun keluar dari bibirnya.
Aku iri pada Ira. Iri pada hidupnya yang bahagia, walaupun sangat sederhana. Ira selalu bisa membuatku lebih bersemangat menjalani hidup, setidaknya aku nggak pernah lagi berniat kabur dari rumah. Mungkin karena hanya Ira lah satu-satunya orang yang mau berteman denganku yang sungguh nggak ramah ini, kami menjadi sahabat baik. Aku sering mengajaknya main ke rumahku, walaupun dia sering ngerasa nggak enak karena takut rumahku ia kotori. Setelah kupaksa-paksa, akhirnya ia mau juga, walaupun mungkin terpaksa.
Selama bersahabat dengannya, aku yang lebih banyak bercerita, mungkin karena aku yang sering mengeluh. Ira selalu mendengarkan ceritaku dengan baik, menasihatiku, menyemangatiku, mengingatkan aku, juga mendukungku. Bisa dibilang ia tahu semua tentangku. Tak kusadari, aku tak tahu apapun tentangnya selain namanya. Itupun nama panggilan.
Aku baru menyadarinya saat sudah 3 hari tak kulihat ia di tempat ia biasa mengamen. Aku bingung mau mencari Ira kemana. Aku tak tahu rumah Ira. Setelah mondar-mandir mencari Ira, aku bertanya pada seorang ibu pemilik warung kecil di pinggir jalan.
“Ira? Ira yang sering nitip kue di sini?” tanya ibu itu.
“Nitip kue?” aku bertanya balik.
“Iya, setiap pagi dia nyetor kue ke saya. Jadi saya beli kuenya buat saya jual lagi.” jelas ibu itu.
“Memang kue nya mana, Bu?” tanyaku. Aku ingat Ira pernah membuat kue di rumahku. Rasanya luar biasa enak. Kue buatannya adalah kue terenak yang pernah kurasakan.
Ibu itu menyodorkan sepotong kue padaku. setelah membayarnya, aku mencicipi kue tersebut. Rasanya sama persis dengan yang Ira buat. Aku yakin memang Ira sahabatku-lah yang dimaksud ibu ini. Aku baru tahu kalau disamping mengamen, Ira juga jualan kue.
“Oh, iya, Bu. Ira yang jual kue ini. Ibu tahu dimana rumahnya?” tanyaku semangat.
“Hmm… tahu sih, Neng. Tapi Ira udah nggak ada di rumahnya.” Jawab ibu itu.
“Ooh, lagi ngamen ya, Bu? Biasanya dia pulang jam berapa?”
“Kayaknya dia nggak akan pulang lagi.” jawab ibu itu dengan raut sedih.
“Loh? Kenapa?” tanyaku heran. Tanpa sadar suaraku meninggi karena panik.
“Dia pindah rumah, Neng. Keluarganya pulang kampung.”
“Pulang kampung? Nggak balik lagi?”
“Nggak. Kata ibunya nggak akan balik lagi. Kue yang tadi kamu makan itu kue terakhir. Nggak ada lagi yang jual kue seenak itu ke ibu. Padahal banyak yang suka. Ya, sebenernya ibu sih bukannya sedih karena itu, ibu emang sayang sama Ira. Dia anaknya baik banget.”
“Ibu udah kenal lama sama keluarga Ira?” tanyaku.
“Sejak Ira masih bayi.” Jawabnya.
Lalu, mengalirlah cerita mengenai Ira dari bibir ibu itu. Ira adalah anak sulung dari keluarga yang bisa dibilang tidak bahagia. Sejak kecil Ira membantu ibunya mengurus rumah dan menjaga adiknya sementara ibunya mencari uang. Ibunya pun tidak bisa dibilang baik. Ia selalu membentak Ira. Apapun yang Ira lakukan selalu salah dimata ibunya. Mungkin karena ibunya selalu ingat ayah Ira setiap melihatnya. Ayah Ira sering keluar masuk penjara dan entah berada dimana saat keluar penjara, karena tak lama kemudian akan balik lagi masuk penjara. Ibu Ira sangat membenci suaminya, dan Ira lah yang menjadi korban. Sejak Ira cukup besar untuk mencari uang, ibunya menyerahkan tanggung jawab begitu saja pada Ira. Ira lah yang membanting tulang mencari uang, sementara sang ibu sering pergi entah kemana, mabuk-mabukan, dan tak pernah mengurus anak-anaknya. Ira juga yang merawat adiknya yang sering dititipkan pada ibu pemilik warung saat Ira mencari uang.
“Masa’ sih, Bu? Setahuku Ira baik-baik aja. Dia selalu kelihatan ceria.” Ujarku sangsi.
“Itulah mengapa Ibu sayang banget sama Ira. Ibu bener-bener kagum sama dia. Ira nggak pernah ngeluh, dia nggak pernah menunjukkan penderitaannya. Ira selalu bisa tersenyum. Padahal ibu tahu, di balik senyumnya itu Ira nangis. Ibu sampai sekarang masih sering heran, kok anak sebaik Ira orang tuanya seperti itu? Kok orang tua seperti itu dikaruniai anak sebaik Ira?”
Aku terdiam. Sungguh, selama ini aku salah. Ira bukan lebih bahagia dariku. Ira terlihat bahagia karena ia menginginkan bahagia. Setelah mendengar penuturan ibu ini, aku merasa dadaku ditonjok keras-keras, sampai aku merasa benar-benar sakit.
Aku menatap sepotong kue terakhir buatan Ira yang baru kumakan sedikit. Tak sanggup memakannya lagi karena sepotong kue inilah satu-satunya peninggalan Ira. Selebihnya hanya ada dalam hatiku.
Bekasi ,25 Agustus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar