===
Mungkin kurang tepat bila aku bersyukur melihat kenyataan ini, kenyataan bahwa Lilly, sahabatku, tergolek lemah di ranjang rumah sakit dengan balutan perban di dahi yang melingkar hingga belakang kepalanya. Suaranya yang biasanya bertenaga dan penuh semangat kini terdengar lemah dan parau. Namun, senyuman tulusnya tak pernah pudar menghiasi wajah imutnya.
===
“Hey! Dari tadi kau melamun saja,” JinYoung hyung mengagetkanku dari belakang seraya menepuk bahuku keras.
Untung saja aku bukan orang yang latah, tetapi tegurannya membuatku sedikit mengejang tadi.
“Kau sedang memikirkan seseorang,” lanjut ketua kamar kami itu setelah ia menyandarkan tubuhnya di sofa tepat di sampingku.
“Tidak,” elakku dusta. Enggan saja rasanya ditebak sedemikian rupa oleh kawan sekamarku ini.
“Pasti seorang gadis.” Lelaki itu tidak menghiraukan elakanku.
“Tidak!” sergahku lebih keras dari sebelumnya.
“Dan kelihatannya kau sedang khawatir, entah mengkhawatirkannya atau dirimu sendiri.” JinYoung hyung tetap saja membicarakanku seolah-olah aku ini orang lain.
“Hhh, terserah kau saja.”
“Kau telah melakukan sesuatu yang salah. Kau khawatir ia marah, kau juga khawatir kau dibencinya. Ya, sepertinya kau mengkhawatirkan kalian berdua.” JinYoung hyung tak henti juga berceloteh sok tahu.
Tapi nyatanya semua yang dikatakannya memang benar. Seolah ia memang tahu.
Aku memutuskan untuk diam, tak lagi peduli dengan ucapan-ucapannya bahkan dengan sanggahan-sanggahan seperti tadi.
Dan ternyata keputusanku benar. Ia tak lagi mencicit dengan menyebalkan.
JinYoung hyung malah sudah pulas di sebelahku. Wajahnya yang tampak polos saat tidur seperti ini melunturkan kejengkelanku padanya.
Aku beranjak dari sofa empuk itu untuk menuju balkon. Di ruang kecil di lantai lima itu, aku kembali melamun.
Lilly menatapku dengan tatapan yang lain dari biasanya. Ada kobaran api di mata itu, ada gurat kekecewaan di kedua alisnya yang bertautan, dan ada desis kebencian di balik bibir mungilnya yang terkatup erat.
Aku mengusap wajahku yang penuh peluh kini. Malam hari di asrama kampus tempatku tinggal saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk berkeringat. Udara di wilayah ini cukup dingin, bahkan sangat dingin di malam hari.
Aku terduduk lemas di kursi balkon. Rasanya peluh itu menghanyutkan seluruh kekuatan yang kumiliki.
Jam digital yang melingkari pergelangan tanganku mengatakan bahwa saat ini belum terlambat bagiku untuk pergi. Masih ada waktu jika aku pergi sekarang, walau mungkin hanya tersisa sedikit waktu besuk saat aku tiba di sana.
Rumah sakit tempat Lilly dirawat akibat kecelakaan yang menimpanya.
Kecelakaan yang terjadi tepat satu jam setelah ia meninggalkanku dengan rasa bersalahku. Tepat satu jam setelah untuk pertama kalinya kulihat wajahnya merona merah karena amarah. Tepat satu jam setelah aku menyadari bahwa aku terlalu takut kehilangan senyuman manis di wajah indahnya.
Ah, tapi kaki ini begitu lemas, tangan ini begitu gemetar, dan hati ini terlalu takut untuk menerima ajakan Hongki hyung untuk membesuknya.
Mungkin kini Hongki hyung dan kawan-kawan SMA ku yang lain sedang bercengkerama dengan Lilly. Dengan sifat humoris dan tawa cerianya, Lilly selalu membuat kami, temannya, selalu rindu pada kelakarnya. Hongki hyung, senior kami di ekskul pramuka yang menjadi ketua ekskul saat di tahun pertama kami, memang sangat akrab dengan angkatan kami, terutama dengan Lilly yang sama-sama humoris sepertinya.
Aku mendesah. Walau sangat lemas, kaki ini sesungguhnya ingin melangkah. Walau gemetar sekali, tangan ini sebenarnya ingin menggapai. Walau terlalu takut, hati ini sejujurnya ingin aku di sisinya.
Atau ia di sisiku.
Gadis itu tampak jelas mewarisi darah Eropa yang pada akhirnya kuketahui berasal dari ayahnya. Warna kulitnya khas Kaukasia dengan hidung mancung dan tinggi semampai. Rambutnya yang sangat lurus berwarna kecokelatan, senada dengan warna mata beningnya yang terbingkai bulu mata lebat yang melengkung indah. Kedua pipi dengan rona merah muda yang menawan itu membentuk cekungan kecil setiap ia tersenyum. Dengan senyum itu dan tatapannya yang menyihir, ia sukses membuatku menubruk tiang sekolah di hari pertama.
Gadis yang kemudian kuketahui bernama Lilly itu ternyata sekelas denganku. Aku setengah senang setengah malu akibat tindakan memalukanku di pertemuan pertamaku dengannya. Tapi kulihat ia menanggapi hal itu dengan santai. Dengan cueknya ia mengajakku mengobrol dan melontarkan jokes segar yang mencairkan sikap kaku –khas anak baru– ku.
Seperti yang kuramalkan, dalam waktu singkat Lilly sudah akrab dengan sebagian besar orang yang baru kenal dengannya. Tidak hanya teman sekelas, teman seangkatan bahkan kakak-kakak kelas pun akrab dengannya. Bukan hanya lelaki (yang aku tahu jelas apa motif mereka dekat dengan gadis itu), melainkan juga perempuan tidak segan untuk dekat dengannya. Mungkin karena sikapnya yang hangat, tidak terlalu menunjukkan kecantikannya (baca: centil), dan kemampuan berkomunikasinya yang sangat baik yang membuatnya terkenal dalam sekejap.
Dan mungkin kau menduga seperti apa yang kukira bahwa kelak aku akan tersingkir perlahan lalu kemudian lenyap selamanya dari sisinya. Tergantikan oleh sosok-sosok baru yang lebih menyenangkan daripada seorang lelaki berwajah kekanakan sepertiku. Tapi kenyataannya tidak. Mungkin karena aku lah teman pertamanya di sekolah ini, ia selalu mengajakku dalam obrolan bersama teman-teman yang lain. Dan itu mau tidak mau membuat mereka memperhatikanku juga. Atau mungkin karena keberanian yang entah muncul darimana yang membuatku mengikuti semua ekskul yang Lilly ikuti, termasuk ekskul pramuka, yang notabene ekskul yang lumayan mengandalkan fisik padahal tubuhku selaras dengan tampang bayiku.
Alhasil, Lilly kerap kali menolongku ketika aku sudah terengah-engah berlari mengelilingi lapangan sekolah –yang luasnya tidak kurang dari lapangan sepak bola– sebanyak tujuh kali. Sebenarnya pertolongannya tidak lebih dari senyuman matahari dan kalimat-kalimat pendek penyemangat, namun efeknya seperti oase di tengah padang gurun pasir yang tandus.
Lilly yang cukup kekar untuk ukuran wanita itu juga pernah membantuku menancapkan pasak tendaku saat kami berkemah. Saat itu aku memang sedang kurang sehat sehingga tak sanggup menancapkan pasak dengan kuat (percayalah, ini bukan alasan yang aku buat-buat. Sungguh!). Untungnya teman-temanku yang masing-masing sedang sibuk tidak menyadari bantuan Lilly untukku itu. Lagipula, kalaupun mereka tahu, mereka tidak pantas menertawaiku karena mereka pun tidak sepenuhnya benar telah menyuruhku menancapkan pasak dengan kondisi tubuh yang tidak fit (walaupun aku juga tidak sepenuhnya benar karena memaksakan diri ikut camping).
Aku mengubah cara dudukku, mencari pose paling santai untukku mengenang saat-saat sekitar tiga tahun lalu. Memori itu masih dapat terbaca dengan jelas, seperti melihat film tempo dulu dengan aku dan Lilly sebagai tokoh utamanya.
Lilly dan aku. Lilly dan Baro. Teman-teman sering memanggil kami Libaro untuk menyingkat nama kami karena bisa dibilang kami satu paket. Seperti teman-temanku yang punya kelompok semacam gank yang terdiri dari beberapa orang dengan sebutan tertentu, orang-orang juga memanggil kami dengan sebutan itu, Libaro, seolah-olah kami membentuk gank seperti mereka. Padahal apa enaknya punya gank dengan anggota dua orang?
Aku tersenyum kecil mengingat sebutan itu. Libaro, nama yang aneh untuk sebuah gank, tapi nama itu adalah gabungan dari nama kami.
Nama itu terdengar mirip Libero. Ya, Libero adalah sebutan untuk pemain bertahan dalam permainan sepak bola maupun volley, dan Libero adalah posisi yang ditempati Hongki hyung dalam tim volleynya. Baru kuingat bahwa ialah yang pertama kali memanggil kami dengan sebutan itu.
HongKi hyung memang sangat dekat dengan kami. Walaupun ia dua tahun lebih tua, tapi sikapnya tidak sok dewasa, bahkan cenderung kekanakan. Mungkin itulah yang membuat kami bertiga sangat nyambung. HongKi hyung memiliki segudang lelucon konyol, baik verbal maupun dengan gerakan. Itu membuatnya tidak jauh berbeda dengan Lilly. Sedangkan aku seperti anak bawang. Kau tahu anak bawang? Itu adalah sebutan bagi anak yang setengah masuk setengah tidak dalam permainan. Biasanya anak kecil yang ikut permainan kakaknya yang menempati posisi itu.
Aku hanya bisa tertawa menonton Lilly dan HongKi hyung bermain tebak-tebakan. Entah karena aku bodoh atau pertanyaan mereka yang lebih bodoh, aku tak pernah bisa menjawab pertanyaan mereka. Jadi, pertanyaan yang dilontarkan Lilly dijawab oleh HongKi hyung, begitu pula sebaliknya. Kalau salah satu dari mereka tidak bisa menjawab pertanyaan dari yang lain, maka pertanyaan itu tidak terjawab (karena aku juga pasti tidak tahu). Untuk memberikan pertanyaan pun aku kapok, karena setiap pertanyaan yang kuajukan pasti terjawab L
Jadilah HongKi hyung, Lilly, dan aku seperti tiga orang kakak beradik dengan aku sebagai si bungsu.
Suara Yong-Hwa CN Blue dalam lagu Sweet Holiday mengembalikanku pada waktu dan tempat saat ini. Aku mengeluarkan ponsel flip dari saku jaketku dan menemukan nama HongKi hyung di sana.
Panjang umur.
Setelah menimbang beberapa saat, aku memutuskan untuk membiarkan panggilan itu, tidak di-reject dan tidak dijawab. Biarlah ia mengira aku tidur atau ke mana pun, tapi semoga saja ia tidak berhasil menebak bahwa aku tidak ingin menjawab teleponnya.
“Adik-adikku, aku tahu perpisahan tidak mungkin tak terjadi. Tapi kuharap, sampai kapanpun kalian saling menjaga dan menyayangi. Kalau salah satu sedih, yang lain harus menghibur. Kalau ada yang sakit, yang lain harus menjenguk. Kalau berbuat salah mintalah maaf, dan kalau dimintai maaf maafkanlah.” HongKi hyung memberi kami petuah ketika kami menghadiri acara kelulusannya. Baru kali itu ia terlihat dewasa dan bijaksana. Sejujurnya hatiku bergetar mendengarnya.
Ahh, aku mendesah panjang. Dengan geram kuacak-acak rambutku sendiri.
Setelah ada 3 panggilan tak terjawab yang semuanya dari HongKi hyung, ponselku kembali bisu.
Maafkanlah? Seringan itukah memaafkan? Semudah itukah Lilly akan memaafkanku kalau aku meminta maaf padanya? Amarah itu begitu berkobar di matanya, kekecewaan itu terpeta jelas di wajahnya, kebencian itu tergambar kuat di sikapnya. Bagaimana mungkin ia memaafkanku?
Aku meremas rambutku kuat-kuat hingga seakan ingin mencerabut setiap helainya. Kepala ini selalu berputar tiap kali kuingat tatapan marahnya. Telinga ini selalu berdenging setiap saat raut kecewanya hadir di benakku. Tubuh ini limbung ketika kebenciannya menohok hatiku.
Sungguh, aku mau meratap meminta maafnya. Aku bersedia berlutut di hadapannya. Aku rela dicaci demi satu kata maafnya.
Tapi, apakah ia bahkan mau melihat wajahku? Sudikah ia walaupun hanya mendengar suaraku? Bersediakah ia menerima kehadiranku?
Akankah ia memaafkanku?
Tanganku kini berhenti menyiksa rambutku. Tetapi tubuh ini yang justru mulai bergetar hebat, seirama dengan senggukan-senggukanku yang mengiringi terjunnya kristal-kristal bening yang menjelma sungai kecil di pipiku.
Aku menyesal. Aku menyesal, Tuhan. Aku terima rasa sakit ini sebagai tebusan atas kesalahanku padanya. Ampuni aku, dan kumohon bukalah hatinya untuk memaafkan aku.
Entah berapa lama aku menangis sendirian di balkon lantai 5 asrama kampusku. Aku begitu larut dalam suasana hatiku hingga tak sadar di mana aku berada saat ini. Aku baru kembali ‘sadar’ setelah kurasakan sebuah tangan hangat merangkulku.
Dengan sedikit terkejut kuangkat wajahku yang selama aku menangis tadi terbenam di antara kedua lututku. CNU hyung berdiri tepat di depanku, Gongchan berdiri di sebelahnya dengan tatapan penasaran. Sandeul berada di sisi CNU hyung yang berbeda dengan Gongchan. Ia menyunggingkan senyuman matahari. Kukatakan senyuman matahari karena senyumannya (yang serupa dengan senyuman Lilly dulu) seolah memiliki energi yang memancarkan kekuatan.
JinYoung hyung duduk di sebelah kiriku sambil tetap merangkul bahuku. Jiwa kebapakan yang tidak cocok dengan wajahnya sedang kambuh ternyata.
CNU hyung, JinYoung hyung, Sandeul dan Gongchan adalah teman sekamarku. Walaupun berbeda angkatan (aku, Sandeul, dan Gongchan –yang terlalu cepat masuk sekolah saat di TK- adalah mahasiswa tingkat pertama, sedangkan kedua hyung kami itu duduk di tingkat kedua), tetapi kami berlima sangat solid. Mataku yang masih basah menitikkan air mata lagi, tetapi kali ini dibarengi dengan senyuman.
CNU hyung, Gongchan, dan Sandeul mendekat padaku dan JinYoung hyung. Lalu entah siapa yang memulai, kami berlima saling berpelukan erat. Tak peduli terlihat aneh atau tidak, tapi aku merasa sangat nyaman.
Tanpa sepatah kata pun, kehadiran mereka menghangatkan jiwaku, seperti selimut yang melingkupiku agar tak lagi menggigil.
“Baiklah, sekarang siapa yang lapar?” JinYoung hyung memecah suasana haru kami.
“Aku,” jawab Gongchan jujur.
“Aku juga,” timpal Sandeul.
“Sama,” tambah CNU hyung.
Kami semua tertawa. Lalu satu persatu meninggalkan balkon. JinYoung hyung dan aku yang berada paling belakang masih menunggu kawan kami melalui pintu yang hanya muat satu orang itu.
Saat tinggal aku dan JinYoung hyung, ia yang masih merangkulkan tangannya di pundakku berbisik singkat, “Jangan takut untuk minta maaf.”
Aku membulatkan mataku, kembali dibuat heran olehnya yang seolah memang tahu itu.
Dengan menjengkelkannya ia mengedipkan sebelah matanya, sok misterius karena ia pasti dapat membaca keherananku.
===
Dengan terus berusaha menguatkan hati, aku memberanikan diri memasuki kamar rawat Lilly. Sebenarnya jam besuk sudah lewat sejak beberapa jam lalu. Tetapi atas bantuan JinYoung hyung –yang ternyata adalah tetangga Lilly yang melihat kejadian yang membuatku tersiksa seperti ini- aku bisa masuk menggantikan ibunda Lilly yang dibujuk JinYoung hyung, karena hanya boleh ada satu orang yang menunggu pasien di luar jam besuk.
Detak jantungku mendadak semakin cepat ketika tanganku yang tiba-tiba licin oleh keringat memutar kenop pintu. Sambil menahan napas kubuka pintu itu perlahan.
Aku harus siap bila ia mengusirku.
Setelah pintu terbuka cukup lebar untuk memasukkanku, aku memejamkan mata sambil melangkah masuk. Selangkah, dua langkah. Aku yakin sudah berada di dalam ruang rawat Lilly sekarang, dan seharusnya Lilly sudah bisa melihat kedatanganku.
Tapi tidak ada bentakan pengusiran di sana.
Aku membuka mataku dengan sangat perlahan. Kelopak mataku terlalu takut membiarkan mataku menemui matanya.
Aku tidak melihat api yang berkobar di matanya.
Aku tidak membaca gurat kecewa di wajahnya.
Aku tidak merasakan kebenciannya.
Yang kulihat saat ini adalah sesosok malaikat, salah, sesosok manusia serupa malaikat yang menatapku dengan tatapan yang teduh dan senyum yang cantik.
“Baro? Mengapa diam saja? Masuklah.” Meski parau, suara itu jelas menunjukkan keramahan.
Dengan kaku kakiku melangkah dari sisi pintu.
“Mengapa sikapmu aneh begitu?” Tanya Lilly dengan tatapan heran setelah aku duduk di kursi di sisi ranjangnya seperti robot.
“Ma –maaf –maafkan aku!” ujarku terbata.
Tatapan heran itu masih belum pudar dari mata laksana bintangnya. Tiba-tiba sedetik kemudian ia tertawa. “Hahaha, tidak apa-apa, Baro. Kau mau menjengukku saja aku sudah sangat senang.”
Kali ini giliranku yang menatapnya dengan heran. Apa maksudnya?
“Kau merasa bersalah karena tadi tidak ikut menjengukku di jam besuk seperti yang lainnya? Kau takut mengganggu waktu istirahatku? Kau merasa tidak enak hati pada ibuku?” tebaknya meleset 100%.
Aku tersenyum kecil. Tentu saja bukan karena hal-hal yang disebutkannya itu yang membuat keringat sebesar biji jagung merembes dari pori-pori dahiku sekarang. Memang hal-hal itu juga cukup membuatku merasa tidak enak padanya, tetapi ada yang jauh lebih besar dari itu.
“Aku… aku minta maaf… atas kejadian waktu itu,” jawabku masih tersendat.
“Kejadian apa?” tanyanya bingung.
“Perlukah kau membuatku sakit lagi dengan mengoreknya? Aku menyesal, Lilly. Aku… aku benar-benar menyesal. Aku kini mengerti, perbuatanku sungguh tak patut. Aku paham sekarang, bahwa bukan dengan cara itu aku menjaga dan menyayangimu. Aku… aku minta maaf.” Leleran air mata kembali membasahi pipiku.
“Sudah, berhentilah menangis, Baro.” Dengan kelembutan seperti Lilly yang semula, ia menepuk-nepuk lenganku seperti kakak yang sedang mencoba menghentikan tangis adiknya.
Setelah beberapa saat, tangisku reda. Tubuhku pun sudah tidak lagi berguncang hebat.
“Baro, dengarkan aku.” Panggilannya mengangkat wajahku untuk menatapnya. “Kecelakaan ini membuatku kehilangan memoriku selama satu hari, yakni hari di mana kecelakaan itu terjadi. Aku tak tahu apa yang membuatmu merasa begitu bersalah seperti ini. Jadi, maukah kau menceritakannya padaku?” tanyanya perlahan dengan suara selembut angin.
Aku kembali tersengal. Hilang ingatan satu hari? Tepat di hari kecelakaan, satu jam setelah ‘kejadian’ itu? Oh Tuhan, inikah caraMu membalas perbuatanku? Tahukah kau, Tuhan, betapa berat bagiku untuk mengingatnya, apalagi untuk menceritakannya?
Lilly masih menatapku dengan tatapan sabar menunggu penuturanku.
“Aku… hari itu… kau dan aku… kita…” berulang kali aku mengubah kata, terlalu bingung bagaimana caranya menyusun kata-kata dengan baik.
“Tenanglah, Baro. Aku berjanji akan mendengarkan penjelasanmu sampai selesai.” Janji itu menguatkanku. Setidaknya ia tak akan mengusirku di tengah-tengah ceritaku.
Hari itu hari Sabtu. Aku sengaja mengajaknya pergi seharian karena kami akan kuliah di tempat yang berbeda. Ya, semacam acara perpisahan untuk kami.
Sejak pagi kujemput ia di rumahnya dan kuajak ia berkeliling kota, sekalian mencoba mobil baru hadiah dari papaku. Kami begitu senang hari itu, dapat kulihat matanya berbinar lebih terang daripada biasanya. Aku pun merasakan pipiku pegal karena terlalu banyak tersenyum.
Setelah seharian mengunjungi berbagai tempat wisata, di sore hari aku mengajaknya ke pantai. Sore itu pantai cukup ramai. Tapi kami masih bisa menikmati suasana. Aku dan Lilly berjalan bersisian menyusuri bibir pantai. Ombak kecil sesekali melewati kaki kami. Anak-anak kecil berlarian di sekitar kami. Tapi kami terus berbincang santai sambil terus berjalan. Semakin lama semakin menjauhi keramaian.
Saat kami menyadari situasi, matahari sudah nyaris terbenam. Jejak sinarnya yang keemasan memantul di wajah memesonanya. Entah setan apa yang merasukiku, aku melihat Lilly tidak seperti biasanya. Bukan Lilly temanku yang sering melontarkan lelucon dan terkadang tertawa agak terlalu besar. Tapi sesosok makhluk cantik yang menghipnotis kewarasanku.
“Ya ampun, kita sudah sejauh ini! Sebentar lagi mataharinya terbenam, kita akan kesulitan kembali jika sudah gelap!” ujarnya agak panik.
Lilly berjalan agak terburu-buru kembali ke tempat kami semula, di mana banyak orang berkerumun yang menantisunset yang tinggal beberapa saat lagi.
Tapi sebelum Lilly jauh dariku, entah iblis apa yang ikut merasukiku. Aku menarik tangannya agak keras, membuat badannya membalik ke arahku.
Sedetik. Hanya sedetik saja aku mengecup bibir mungilnya.
Selama sedetik itu, Lilly yang sempat terkejut dengan cepat menguasai diri. Ia melepaskan diri dariku dan mundur beberapa langkah.
Lilly menatapku dengan tatapan yang lain dari biasanya. Ada kobaran api di mata itu, ada gurat kekecewaan di kedua alisnya yang bertautan, dan ada desis kebencian di balik bibir mungilnya yang terkatup erat.
Sedetik kemudian ia berbalik pergi dengan langkah secepat yang ia bisa.
Kali ini aku tidak lagi mengganggunya.
Air mataku mengalir bagaikan hujan deras. Kepalaku benar-benar tertunduk kini. Sebuah pengakuan dosa telah selesai.
Aku tak mendengar suara Lilly sama sekali. Mungkin ia masih bingung harus berkata apa, mungkin ia masih terlalu lemah untuk memakiku, mungkin… entahlah. Aku tak berani mengangkat kepalaku untuk mengetahui alasannya.
Beberapa menit berlalu dalam kesunyian. Tak sesenti pun aku mengangkat kepalaku.
“Lehermu tidak pegal?” tiba-tiba Lilly bersuara. “Angkat wajahmu, atau kau mau lehermu menggunakan penyangga sepertiku?” candanya.
Perlahan-lahan aku mengangkat kepalaku. Dengan agak takut aku kembali menatapnya.
Mata itu teduh seperti hujan. Keduanya membalas tatapanku lembut tanpa amarah dan kebencian.
“Mungkin kecelakaan inilah jalan Tuhan untuk mengakurkan kita kembali.”
“Maksudmu?” tanyaku tidak mengerti.
“Kalau aku tidak hilang ingatan, mungkin aku tidak mau mendengar penjelasanmu. Mungkin juga aku tidak menyadari kesalahanku.”
“Kesalahanmu? Memangnya kau salah apa?”
“Aku salah dengan tidak menutup kesempatan bagimu. Padahal sejak dulu aku tahu, otak lelaki dan perempuan itu berbeda,” ujarnya seraya menghela napas sesal. “Apalagi aku cantik, hehehe.” Aku bersyukur ia sudah bisa berkelakar.
“Baiklah, Baro. Aku memaafkanmu, dan aku juga minta maaf padamu. Kau mau memaafkanku, bukan?” tanyanya setengah memaksa dengan bercanda.
Aku mengangguk mantap.
“Mungkin jalan bertiga dengan HongKi hyung lebih aman. Lain kali kita harus mengajaknya,” usulku.
“Tepat sekali,” jawabnya dengan senyum lebar.
===
Mungkin kurang tepat bila aku bersyukur melihat kenyataan ini, kenyataan bahwa Lilly, sahabatku, tergolek lemah di ranjang rumah sakit dengan balutan perban di dahi yang melingkar hingga belakang kepalanya. Suaranya yang biasanya bertenaga dan penuh semangat kini terdengar lemah dan parau. Namun, senyuman tulusnya tak pernah pudar menghiasi wajah imutnya.
Tapi nyatanya kini aku bernapas lega dalam hati.
===
THE END
===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar