Selasa, 21 Oktober 2014

Siapa itu Sahabat?

[Saat mengubrek-ubrek draft, aku menemukan ini. Sudah lama sekali aku menulisnya, tapi kenapa dulu belum langsung ku posting ya? Hehe]


Sehabis baca note-nya bang Tere Liye, saya jadi teringat pada sahabat-sahabat saya. Setuju sekali saya pada apa yang ditulis pada catatan tersebut.


Pun saya jadi terngiang ucapan salah satu rekan saya beberapa bulan lalu. Ia mengatakan bahwa ia merasa tidak memiliki sahabat. Sahabat, baginya, terlalu istimewa hingga sulit rasanya menempelkan predikat itu pada satu orang pun.

Saya tidak mengatakan bahwa saya tidak pernah merasakan hal yang sama dengannya. Sahabat, pun bagi saya, adalah orang-orang yang istimewa. Lebih dari sekadar teman mengobrol, teman bekerja, apalagi teman satu golongan saja. Hanya saja, sekarang saya dengan berani mengatakan bahwa saya memiliki sahabat, bahkan banyak. Kenapa? Entahlah, yang jelas saya berpikir bukan saya yang menurunkan "standar sahabat" saya sehingga banyak yang "lolos kualifikasi", melainkan karena mereka, sahabat-sahabat saya, adalah orang-orang yang sangat baik dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dan saya sungguh menghargai dan menghormati mereka sehingga titel "sahabat" itu saya lekatkan pada mereka. Dengan kata lain, bukan saya yang mengobral gelar itu, melainkan mereka memang pantas mendapatkannya.

Memang, bagaimana kriteria sahabat menurut saya?

Saya tidak bisa mengatakannya, karena itu urusan hati *tsaah :p*, tapi yang jelas, yang sejauh ini saya pahami (mungkin kelak akan ada pemahaman lain bagi saya), ketika kami sudah lama berpisah, sudah lama tidak berkomunikasi, sudah lama tidak terhubung secara fisik, hati kami tidak pernah berpisah, tidak pernah berhenti menjalin komunikasi, tidak pernah terputus. Bagaimana mengetahuinya? Mudah saja, saya tidak pernah merasa jauh dari mereka. Sehingga, ketika kami benar-benar bertemu, obrolan kami mengalir seolah tanpa ada jeda sebelumnya.

Maka, kelekatan terhadap sahabat bukanlah pada tataran fisik, misalnya kemana pun selalu bersama seperti kembar siam. Bukan, bukan itu yang saya maksud. Kelekatan itu ada di hati.

Ya, sejauh ini baru itu yang saya pahami. Mungkin sebenarnya ada hal-hal lain yang menjadikan mereka begitu berharganya bagi saya hingga saya sebut mereka sebagai sahabat.

Senin, 20 Oktober 2014

mencari kesalahan

aku masih melacak jejakmu yang terserak
bukan tuk pastikan kau lah yang layak
karena aku justru khawatir
jika tak kutemukan bukti tuk buatmu menyingkir

Minggu, 19 Oktober 2014

kujawab saja entah

apakah jiwa kita tertukar?
karena kutemukan kata-kataku dalam tulisanmu

apakah kita kembar?
karena kudengar lagu yang sama dengan lagu yang kau tulis dulu

apakah kau pencuri, atau aku yang telah kehilangan?

atau

apakah kau dan aku sebenarnya satu?

Senin, 01 September 2014

Why do I go?

Tulisan ini sebenarnya sudah lama saya buat, tapi baru sempat saya posting sekarang hehe.

Postingan ini masih terkait dengan perjalanan saya dengan keluarga BPI 10 ke Buniayu. Di dalam goa minat khusus, selain berseru-seru ria, ada satu momen yang menarik buat saya. Ketika kami sedang beristirahat di tengah perjalanan, tepatnya di pinggir sungai bawah tanah, Bang Nur sebagai pemandu kami meminta kami untuk mematikan seluruh sumber cahaya, yakni senter dan headlamp. Keadaan sontak menjadi gulita. Pekat. Bang Nur kemudian berbicara tentang alam kubur. Saat itu kami mendengar debur air sungai yang terdengar syahdu, tetapi apa yang akan kita dengar saat di alam kubur? Saat itu kami masih bisa berpegangan pada teman di sebelah, bernapas dengan leluasa di dalam area yang cukup luas itu, tetapi apa yang kita alami di dalam ruang sekitar 2x1 meter seorang diri kelak?

Kisah Malam Pertama Di Alam Kubur
Ilustrasi alam kubur (gambar diambil dari sini)

Well, setelah melakukan sedikit perenungan tersebut, kami melanjutkan perjalanan (tentu dengan bantuan senter dan headlamp kembali, hehe). Kali ini, saya merenungi kembali perjalanan kami.

Ya, saya takjub dengan indahnya stalagtit dan stalagmit goa, tetapi lalu apa? Untuk apa sebenarnya saya melakukan perjalanan ini? Sekadar membuktikan bahwa saya 'keren' karena bisa menyusuri goa? Pembuktian pada siapa? Orang lain kah, atau justru pada diri saya sendiri? Tapi, lalu untuk apa pembuktian itu? Apa yang harus dibuktikan?
Sebenarnya, sampai sekarang saya pikir motivasi saya dalam melakukan perjalanan, baik ke gunung, ke pantai, ke laut, ke goa, atau bahkan ke kota-kota, adalah kesukaan saya. Saya melakukannya simply karena saya suka. 
Tapi, apa itu cukup? Apa itu bermanfaat? Apakah kesukaan, atau kesenangan, yang saya rasakan ini sebanding dengan uang yang saya habiskan, tenaga yang saya keluarkan, waktu yang saya gunakan, yang mungkin bisa saya gunakan untuk hal-hal lainnya? Apakah kesenangan keluarga saya ketika saya berada di tengah-tengah mereka pantas saya korbankan untuk kesenangan pribadi saya itu?

Apakah kesenangan saya ini juga dapat membuat saya senang nanti, di alam setelah dunia ini?

Saya tidak tahu, sungguh. Bahkan sampai saat ini, saya masih melakukannya tanpa mampu menjawab pertanyaan yang saya ajukan sendiri di atas.



Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
1. Karena kesenangan orang – orang Quraisy.
2. (yaitu) kesenangan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas,
3. Maka hendaklah mereka menyembah Rabb Pemilik Rumah ini ( Ka’bah).
4. Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.
(Q.S. 106: 1-4)

Selasa, 01 Juli 2014

BPI 10 goes to Buniayu (Day 2)

Though the road's been rocky it sure feels good to me.”

― Bob Marley


Dengan cukup excited keluarga BPI 10 bersiap-siap menelusuri goa minat khusus di pagi hari Minggu itu. Meskipun tubuh masih pegal-pegal setelah caving di goa semi khusus di hari sebelumnya, bayangan akan sejuknya Curug Bibijilan yang menanti kami di ujung goa cukup membakar semangat kami. Akhirnya, pagi-pagi kami sibuk fitting baju ;)

Dipiliiih dipiliiih :D (foto oleh ummi Uswah)

Setelah tampak keren dengan wearpack berwarna mencolok itu, kami asyik berfoto-foto selama sekitar 1 jam! Bukan, bukan karena terlalu narsis sampai lupa waktu, tetapi karena sebelum kami berangkat ada rombongan lain, dan memang diberi jarak yang cukup dengan rombongan tersebut :)

Mumpung warna bajunya masih kece, puas-puasin foto dulu ya :p (foto oleh )

Pintu masuk goa minat khusus ini berbeda dengan goa minat umum dan semi khusus. Kami melewati beberapa rumah warga, ber-kyaaa kyaaa melihat bayi-bayi anjing yang menggemaskan, hingga tiba di sebuah pagar kecil yang mengawali petualangan kami :)

Excitement campur sedikit tegang membuat saya cukup kalem sebelum meluncur ke dalam goa vertikal ini. Kyaaaaaaaaaaaa!!! Seru! Rasanya seperti terbang!
Ketika menjejakkan kaki di dasar goa, saya sempat merasa linglung sebentar. Rasanya nyawa saya masih ketinggalan di atas, hehehe.

Sayangnya saya gak sadar kamera :'( (foto oleh pakde Marta)

Setelah satu persatu hingga semua dari kami turun, kami mulai bergerak menyusuri goa yang basah ini. Berkali-kali kami berjalan di sungai yang terkadang terasa agak kuat arusnya. Di sini saya seperti anak kecil yang takjub melihat banyak sekali kelelawar, di samping stalaktit dan stalakmit yang tentunya kece-kece bingits.
Beberapa kali medannya menantang, seperti berjalan melipir tepat di samping dinding goa dengan berpegangan pada tali, sedikit rappeling, lalu yang lagi-lagi bikin perut saya mulas (baca: yang paling malesin) adalah berkubang lumpur lagi!




The terrain is challenging, isn't it? (foto-foto oleh pakde Marta)

Ada kejadian yang sebenarnya malas saya ingat, yaitu saya tidak bisa berjalan karena celana saya terinjak oleh kaki saya sendiri. Celana bahan saya (yang lebih cocok untuk menghadiri acara resmi itu) memang bertekstur agak keras. Tidak mudah sobek, tapi juga jadi menyulitkan langkah saya dalam situasi itu. Setelah celana itu terinjak saya sendiri, kaki saya tidak bisa lagi mengangkat. Huuuuuh, saya coba berkali-kali mengerahkan seluruh tenaga dan upaya *lebay*, sampai saya lelah sendiri. Akhirnya saya harus diberi bantuan. Kaki saya dikeluarkan dari lumpur dan celana saya digulung. [Peringatan! : Pakailah pakaian, khususnya celana, yang tidak hanya kuat, tetapi juga PAS! Jangan kepanjangan kayak saya]

Setelah menggerapai jalanan penuh lumpur, dengan beberapa bantuan berbonus (bonusnya masker lumpur gratis!) finally saya yang termasuk dalam rombongan belakang berhasil melalui pintu pagar kecil seperti di awal, dan menjumpai sinar matahari yang terik. Sembari menunggu pick up yang akan mengantar ke Curug Bibijilan, kami terpaksa berjemur hingga sekujur tubuh penuh lumpur pun seperti kue kering.



 We're like cookies, aren't we? -_- (foto oleh bang Jo)

'Selamat' ya dapet tumpangan -_- (foto oleh bang Jo)

Lama menunggu pick up yang tak kunjung tiba, kami memutuskan untuk jalan kaki ke Curug Bibijilan. Jaraknya? Hah, saya tidak tahu. Yang jelas rasanya lumayan lah siang-siang berjalan kaki dengan lumpur yang mulai mengering, sepatu boots karet kebesaran yang berisi lumpur, jalanan berkerikil yang naik turun, ditambah lagi pemandangan pick up-pick up rombongan lain yang lewat :"(
Sebagian dari rombongan kami mendapat tumpangan pick up dari rombongan lain, tetapi saya tidak termasuk di dalamnya. Terlalu malas mengejar pick up yang berhenti beberapa meter di depan saya itu. Jadi saya memutuskan untuk menikmati jalan dengan pakde Marta, bang Singgih, dan bang Agung, meskipun lama kelamaan satu persatu dari mereka mendahului saya dan tinggallah saya sendiri :"D

Rasanya legaaaa sekali melihat papan ini! (foto oleh bang Jo)

Sampai di Curug Bibijilan, ternyata saya tidak terlambat terlalu lama, karena mereka sempat bernarsis ria dulu -_-. Di curug tersebut, kami membasuh wajah dan pakaian serta boots kami yang penuh lumpur. Air sungai berarus cukup deras itu pun menjadi keruh, hehehe. Rasanya segaaaar sekali. Sebagian kelelahan kami luruh bersama air yang sejuk itu :D

Serasa jadi bawang putih, nyuci baju di pinggir sungai ;) (foto oleh bang Jo)


Bernarsis ria doloo yes! (foto oleh bang Jo)

Meskipun berat, kami harus segera meninggalkan curug itu. Dengan mobil pick up yang akhirnya datang juga, kami kembali ke rumah bang Nur untuk bersiap-siap pulang.
Tiket kereta Sukabumi-Bogor sudah di tangan (bang Kiki), tetapi sampai waktu keberangkatannya, kami belum sampai stasiun! Alhasil, kami beralih haluan ke terminal untuk naik bus.

Di dalam bus Sukabumi-Ciawi-Depok, sebelum penumpang jadi pepes :") (foto oleh bang Jo)


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Meskipun hari itu tidak terlalu mudah, aku sungguh menikmatinya.

Sabtu, 28 Juni 2014

BPI 10 goes to Buniayu (Day 1)

Happiness is having a large, loving, caring, close-knit family in another city.” 
― George Burns


Setelah merencanakan selama beberapa bulan, keluarga BPI 10 berangkat ngetrip bareng ke Goa Buniayu di Sukabumi. Sebagian besar dari kami berkumpul di stasiun Bogor untuk kemudian menuju stasiun Sukabumi dengan kereta. Jugijagijugijagijuuug.. Hehehehe. Namun, selain sekian belas orang ini, ada pula yang langsung menuju Sukabumi dengan mengendarai motor. Singkat cerita, kami bertemu di stasiun Sukabumi dan menuju kawasan Goa Buniayu dengan mobil pick up dan motor. Ngeeeeng...

Pemandangan di kawasan Buniayu (foto oleh Mamsky)

Di tempat tujuan, kami disambut oleh keluarga bang Nuryaman yang akan memandu keluarga kami :) Bang Nur sendiri adalah teman pakde Marta, salah seorang anggota keluarga BPI 10. Singkat cerita, rencana semula kami untuk masuk ke goa minat umum sore itu berubah menjadi ke goa semi khusus. Kata bang Nur, goa semi khusus bagus buat latihan kami untuk ke goa minat khusus keesokan harinya.

Beberapa hari sebelumnya saya sempat menanyakan ummi Uswah dan pakde Marta yang sudah berpengalaman ke Buniayu sebelumnya mengenai dress code, karena saya berniat mengenakan baju cantik (baca: rok/gamis) akibat keterbatasan jumlah celana yang saya miliki. Meski mereka mengatakan bisa-bisa saja, entah mengapa saya merasa ada yang gimanaaa gitu. Ternyata keputusan saya untuk mengenakan celana tepat. Yah, meskipun celana bahan saya yang lebih cocok untuk menghadiri acara resmi itu kurang enak untuk caving, sih. Kenapa tepat? Karena kami berkubang lumpur, pakai acara nyemplung ke kubangan air lumpur sepinggang pula :( dan yang lebih mengenaskan adalah...

bukan itu jalurnya. Dengan kata lain, kami disasarin :/

Apa jadinya kalau saya pakai baju cantik? :p (foto oleh pakde Marta)

Aduh, terima kasih banyak kejutannya :"D
Well, tapi ternyata memang itu bagus untuk latihan, karena medan yang akan kami tempuh keesokan harinya kurang lebih seperti itu.
Akhirnya, setelah merangkak dan megap-megap, kami berhasil keluar dari goa latihan tersebut! Yeay!

Di luar langit mulai temaram. Suara adzan maghrib samar-samar terdengar. Syahdu.

Sesampainya di rumah bang Nur, kami membilas tubuh setengah penuh lumpur kami di empang samping rumah. Rasanya... wow, kelihatan banget anak kota-nya. Norak, tapi sangat menikmati. Apalagi ditambah guyuran air hujan. Aduuuuh malam itu beban-beban pikiran seolah ikut luruh terbasuh air hujan :')

In this empang we took a [natural] shower (foto oleh bang Jo)

Setelah mandi, sholat, makan, ngobrol-ngobrol, dan main games untuk semakin mengenal satu sama lain, kami beristirahat untuk menyiapkan energi agar bisa ber-caving dengan ceria keesokan harinya. Goa minat khusus.


Kebahagiaan adalah memiliki keluarga besar di kota lain yang mengasihi, peduli, dan erat (terjemahan bebas dari quote di atas)
Semoga kasih ini, kepedulian ini, dan keeratan ini abadi ya :')
I love you all, BPI 10 members :*


P.S. : Meskipun kita baru saling berkenalan (secara agak resmi) setelah kita menelusuri goa semi khusus ini, tapi sejak awal kita bertemu, aku merasa seperti bertemu keluarga :") #jadicurhat

We're BPI 10 Family [sayangnya gak lengkap :(] (foto oleh ummi Uswah)

Selasa, 10 Juni 2014

Displacement

Sebelum kamu bosan membaca kata maaf yang mungkin beberapa minggu ke depan hingga sekitar 1-1,5 bulan setelahnya akan banyak berhamburan, aku ingin menuliskan kata itu di tulisan ini.
Pertama, aku minta maaf jika terdapat kekeliruan dalam penggunaan istilah yang kupinjam dari salah satu bentuk defense mechanism-nya Pak Freud.
Kedua, aku ingin minta maaf pada dia, yang [mungkin] telah menjadi obyek displacement-ku. Aku sendiri tidak tahu apakah semua yang kulakukan padanya hanyalah bentuk pengalihan diriku dari hal lain yang tak ingin aku tampilkan, sesuatu yang mungkin memang tak pantas untuk ditunjukkan, seperti ke-tidak-tangguhan-ku menghadapi berbagai tugas, kejenuhanku dengan segala rutinitas, atau bahkan mungkin kekesalanku pada sahabatku sendiri. Aku tidak tahu itu, karena mekanisme ini berlangsung tanpa disadari, bukan?
Yang jelas, aku merasa bukan dia masalahku. Aku memang merasa agak kecewa mendapati keacuhannya, agak miris melihat kesetiaannya pada dia-nya dia, agak sedih juga karena tak bisa lagi berharap apa-apa. Lihat, hanya agak. Hatiku tidak sakit-sakit amat.
Jadi, jika dugaanku benar, dia hanya aku pergunakan sebagai pelampiasan atas berbagai gejolak yang tertahankan, hingga aku menjelma seseorang yang bahkan tak kukenali sendiri, jika menghadapinya.

Dear you,
For the childish things I've done, gomen ne.
Have a happy life ever after with her (or anyone)
:D

Jumat, 06 Juni 2014

Random

Seharusnya saat ini aku sedang belajar, karena nanti siang ada ujian dan aku baru membaca sekilas sebagian materinya. Ya, se-ki-las, dan itupun baru se-ba-gi-an.
Tapi, apa yang kulakukan sekarang? Ah, jangan tanyakan apa, karena kamu sedang membacanya.

Sudah lama tidak membubuhkan jejak di ruang sederhana-tapi-istimewa (buatku, setidaknya) ini. Padahal, ada banyak cerita yang seharusnya kurekam di sini untuk kelak kuingat kembali, kurasai kembali, kupelajari kembali, dan tentunya harus kusyukuri kembali.

Sebut saja dia Mamsky, seperti aku suka menyebutnya dengan sebutan itu, yang telah membuatku kembali mengunjungi sudut mungil kehidupanku ini. Thanks, Mams, for making me come back to where I should be, to do what I should do, to be "me" again. *ketjup Mamsky* 

Knowing you, and the others, is one thing that I have to be grateful of.