Tiba-tiba saja Sakura merasa mendapat pencerahan dari pembicaraan gadis yang baru saja putus dengan pacarnya yang merupakan alumni sekolah Tomoyo dengan temannya.
-Part 6-
Pagi-pagi sekali Tomoyo sudah mendengar grubak-grubuk di lantai satu. Sambil menguap, ia melirik jam dindingnya.
‘Ini kan masih pagi sekali, mengapa Sakura sudah bangun? Tumben…’ pikirnya. Tapi akhirnya Tomoyo ikut terbangun karena lima belas menit lagi alarm yang dinyalakannya akan berbunyi, jadi tanggung kalau ia tidur lagi.
Setelah siap untuk sarapan, lagi-lagi Tomoyo dikejutkan oleh piring kotor bekas Sakura.
‘Sakura sudah selesai sarapan?’ batin Tomoyo heran.
“Bi, mana Sakura?” Tanya Tomoyo pada salah satu orang yang bekerja di rumah itu.
“Baru saja berangkat,” jawab pelayan yang sedang membereskan piring bekas Sakura itu.
Mata Tomoyo terbelalak. Apa Sakura mau bantu-bantu menyapukan halaman sekolahnya dulu?
zzz
Sakura bersiul-siul riang sambil terus mengayuh sepedanya menuju sekolah. Ya, itu lah yang dilakukannya sekarang, pergi ke sekolah sendiri, tanpa Shaoran. Sakura mendapat ide seperti itu secara tidak langsung dari Dika beberapa hari lalu. Bila Sakura jarang bertemu Shaoran, maka Shaoran akan jarang bertemu Tomoyo. Kalau jarang bertemu, pasti Shaoran bisa melupakan Tomoyo. Apalagi Tomoyo tipikal orang yang tidak bisa melakukan hubungan jarak jauh. Sakura tahu hal itu karena Tomoyo pernah bercerita padanya tentang salah satu kakak kelas yang disukainya. Mereka cukup dekat selama lelaki itu masih bersekolah di sekolahnya, tapi setelah lelaki itu kuliah, perlahan-lahan rasa suka Tomoyo memudar.
Well, walaupun agak berat harus ‘meninggalkan’ Shaoran, tapi Sakura berharap usahanya ini tidak sia-sia. Nanti kalau Shaoran tidak menyukai Tomoyo lagi, baru Sakura mau ‘kembali’ pada Shaoran.
zzz
TUK!! Sakura merasakan kepala belakangnya dipukul. Tidak sakit memang, tapi tetap saja membuatnya kesal.
“Uuugh, apa-apaan sih?” bentak Sakura sambil menoleh, mencari si pengajak berantem.
Tak disangka yang didapatinya adalah Shaoran, dengan wajah sama kesal sepertinya.
“Kenapa kau ke kelasku? Kau tersesat? Hey, kuberi tahu saja, kelasmu di sebelah!” omel Sakura.
“Aku sudah tahu.” Jawab Shaoran singkat.
“Ya sudah, kalau begitu untuk apa kau ke sini? Kembalilah ke habitatmu!”
“Kau marah padaku?” tanya Shaoran.
“Tentu saja, siapa yang senang hati menerima pukulan pagi-pagi?”
“Bukan, tapi sebelum itu. kenapa kau tidak berangkat bersamaku? Tadi aku ke rumahmu tapi kata Tomoyo kau sudah berangkat. Ada apa sih sebenarnya?” desak Shaoran.
“Tidak ada apa-apa, hanya ingin berangkat pagi saja, memangnya tidak boleh?”
“Tentu saja tidak. Tidak tanpaku. Kita ini satu paket, Sakura. Masa kau meninggalkan aku?”
“Kau ini manja sekali seperti perempuan! Sudahlah, kita ini sudah besar, masa ke mana-mana berdua terus? Bosan aku! Nanti tidak ada lelaki yang bisa mendekati aku kalau ada kau terus!”
Shaoran mengerucutkan bibirnya. Alasan yang cukup masuk akal sebenarnya, tapi itu bukan “khas” Sakura. Sejak kapan gadis childish itu memikirkan untuk punya pacar?
Tanpa berkata apapun Shaoran pergi ke kelasnya.
zzz
Seminggu sudah Sakura hampir tidak bertemu dengan Shaoran. Shaoran pun tidak pernah ke rumahnya lagi dan bertemu dengan Tomoyo.
“Sepertinya aku sudah lama tidak melihat Shaoran,” kata Tomoyo.
“Yeah, aku rasa cara ini cukup efektif.” Kata Sakura.
“Jadi, kau yang membuatnya tidak pernah ke sini lagi? Maksudku, apa kau menyakitinya hanya karena aku?” tanya Tomoyo menyesal.
“Kurasa lebih baik begini daripada membiarkannya lebih terluka lagi nantinya, bukan? Hanya sampai dia tidak menyukaimu lagi, lalu aku akan kembali berteman dengannya.”
“Maafkan aku Sakura. Ini semua salahku.”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku sahabatnya, aku juga saudaramu. Aku tidak ingin kalian sama-sama tidak enak hanya karena perasaannya padamu. Lagi pula, kita masih muda. Itu hanya cinta monyet saja. Tidak usah dipusingkan, nanti juga berlalu sendiri.”
“Kurasa kau terlalu memandang kecil.” Ujar Tomoyo.
“Memangnya ini sesuatu yang besar?” bantah Sakura.
“Well, bukan masalah besar juga sih, tetapi tetap saja tidak boleh disepelekan. Ini menyangkut perasaan orang. Kau bisa menyakitinya, padahal aku tidak apa-apa kok kalau dia menyukaiku. Hanya saja aku tidak bisa membalas perasaannya.”
“Itupun tidak sepenuhnya baik, Tomoyo. Kalau terus diberi harapan, bisa-bisa perasaan sakitnya jauh lebih besar lagi nantinya. Lebih baik diantisipasi sebelum cinta monyet ini berkembang menjadi cinta sejati.”
“Baiklah kalau menurutmu begitu.” Kata Tomoyo pasrah.
“Well, bagaimana dengan kakak yang kau ceritakan padaku itu?” tanya Sakura mengubah topik pembicaraan.
“Entahlah, Sakura. Aku bukan seseorang yang sanggup menjalani hubungan jarak jauh. Sudah berulang kali dia menyatakan perasaannya padaku, tapi aku belum bisa menjawabnya. Lagipula kenapa tidak sejak dulu saja dia menyatakan perasaannya padaku? Kenapa justru saat dia ingin meninggalkan aku? Aku kan jadi berpikir ulang kalau mau menerimanya.”
“Tapi kan kau memang baru dekat padanya belakangan ini?”
“Iya sih, salah sendiri dia dulu tidak mengenalku. Padahal sejak pertama kali masuk aku selalu memperhatikannya. Hehehe.”
“Dasar kau ini. Kenapa tidak kau saja yang mendekatinya duluan kalau begitu?”
“Aku gengsi laah. Hahaha.” Tawa Tomoyo.
“Jadi?” tanya Sakura.
“Jadi apa?”
“Kau mau menerimanya?”
“Entahlah. Sejak dia kuliah jauh begitu, aku jadi berpikir untuk tidak meresmikan hubungan dengannya.”
“Oh ya, dia itu seperti apa sih? Kau punya fotonya?”
“Tentu saja. Bahkan selalu aku bawa kemana pun.” Kata Tomoyo sambil mengunjukkan bandul kalungnya lalu membukanya.
Ada dua foto lelaki di situ. Ayah Tomoyo, dan seorang lelaki berambut putih.
“Ini orangnya? Begitu spesialnya sampai fotonya kau masukkan di sini?”
“Sejujurnya aku memang mencintainya, tapi aku tidak tahu kenapa perasaanku seperti menolak untuk menjadikannya kekasihku. Seperti ada sesuatu. Mungkin karena aku tidak yakin ia tipe lelaki setia, makanya aku ragu untuk menjalani hubungan jarak jauh dengannya.”
“Namanya siapa?”
“Hatake.”
Sakura mengamat-amati foto lelaki itu. Tampan sih, memang merisaukan bila memiliki kekasih tampan yang berada jauh sekali.
zzz
Dengan senampan penuh makanan dan minuman, Sakura bingung mau duduk di mana. Sejak kedatangan 2 murid baru yang tampan, kantin selalu penuh karena anak-anak dari kelas lain hanya bisa melihat mereka saat istirahat dan mereka tidak mau menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
“Sakura!” teriak Maruko sambil melambai-lambaikan tangannya mengajak Sakura duduk di sampingnya.
Mau tidak mau Sakura menerima ajakan Maruko, walaupun ia risih dengan tatapan iri segenap penjuru kantin karena Maruko, satu-satunya anak yang tetap nekat duduk semeja dengan duo cowok popular itu, mengajaknya bergabung.
“Lama-lama kau ajak saja teman-temanmu sekelas untuk duduk di sini! Mereka semua pasti sangat senang diajak duduk bersama karena mereka tidak berani untuk memintanya. Contohnya orang ini.” Kata Sasuke tajam.
“Siapa yang senang? Aku hanya tidak mendapat bangku lain kok!” gerutu Sakura.
“Sudahlah Sakura, kau tidak usah dengarkan dia ya? Besok kau duduk di sini lagi saja, kita buat mereka tidak eksklusif lagi di sini! Oke? Hahahaha.” Sorak Maruko nggak jelas.
Seperti biasa Jun hanya tertawa kecil melihat tingkah konyol Maruko sementara Sasuke mendengus kesal.
“Dikaaa!! Ayaaa!! Kalian ke sini saja!” teriak Maruko seperti tarzan, ketika melihat Dika dan Aya celingak-celinguk nyari bangku kosong.
Dika dan Aya saling tatap. Sebenarnya lebih baik makan di kelas saja daripada makan di samping Sasuke dan Jun. Selain membuat punggung sakit karena tatapan menusuk dari gadis-gadis di sekeliling, juga karena ada aura tidak ramah di sana, khususnya dari lelaki berambut raven itu.
“Baiklah.” Kata mereka berdua pada akhirnya seraya melangkahkan kaki ke meja Maruko.
Meja itu sudah penuh sekarang. Tapi dari 6 orang itu hanya Maruko dan Sakura yang mengobrol. Dika dan Aya masih agak malu, Jun hanya ikut senyum saja kalau mendengar hal-hal lucu, sementara Sasuke sibuk dengan PSP-nya sambil sesekali meneguk jus tomatnya.
“Ya ampun Dika, aku lupa!” teriak Maruko tiba-tiba, “Aku kan waktu itu pernah berhutang padamu! Kok kau tidak mengingatkan aku sih?”
“Yang mana ya?” tanya Dika lupa.
“Waktu itu, sudah lama sekali. Waktu aku lupa bawa uang jajan dan aku sangat kelaparan lalu kau membelikanku roti isi.”
“Oh, yang itu. Aku saja sudah lupa.”
“Ini aku kembalikan uangmu. Terima kasih ya.” Kata Maruko sambil menyodorkan uangnya.
“Terima kasih kembali.” Jawab Dika yang kemudian memasukkan uang itu ke dalam dompetnya.
“Tunggu, Dika! Boleh aku lihat dompetmu?” tanya Sakura tiba-tiba.
“Memangnya kenapa?”
“Sepertinya tadi aku melihat foto orang yang kukenal.”
“Maksudmu foto ini?” tanya Dika sambil menunjukkan foto yang terpajang di dompetnya. Foto Dika dan seorang lelaki berambut putih.
“Dia siapa? Maksudku, siapamu?” tanya Sakura tergagap.
“Err, dia… mantan kekasihku.” Jawabnya sambil menunduk.
“Maksudmu, yang kau bilang karena dia tidak sanggup berhubungan jarak jauh denganmu?”
“Bagaimana kau tahu?” tanya Dika.
“Anu, waktu itu aku tidak sengaja mendengar percakapanmu dan Aya di toilet. Maaf ya. Tapi ada yang lebih penting sekarang. Apa namanya Hatake?”
“Ya. Hatake Kakashi. Kau kenal dia?” tanya Dika.
“Kenal langsung tidak. Tapi aku mengenal orang yang kenal dengannya. Err, apa kau yakin dia bilang tidak sanggup berhubungan jarak jauh denganmu?”
“Ya, dia bilang begitu. Memangnya kenapa? Kau tau sesuatu? Dia berbohong?” tanya Dika berapi-api.
“Eh? Anu…” Sakura bingung mau jawab. Di satu sisi, kasihan Dika kalau sampai tahu Kakashi bohong, karena alasan itu sangat dibuat-buat. Buktinya justru Kakashi yang mengejar-ngejar Tomoyo walaupun long distance. Tapi, di sisi lain, kasihan Dika kalau tidak dikasih tahu. Jangan-jangan Dika masih akan tetap menyukai orang macam Kakashi itu.
“Apa? Katakan kalau kau tahu sesuatu, please.” Mohon Dika.
Empat orang lainnya yang tadinya tidak terlalu menghiraukan pembicaraan mereka jadi ikut mendengarkan. Salah, tiga, karena Sasuke tetap sibuk dengan PSP-nya.
“Aku rasa… Hatake Kakashi itu seorang playboy.” Jawab Sakura hati-hati.
Spontan Dika menahan napas karena terkejut. Tapi yang lebih mengejutkan lagi adalah Jun yang tiba-tiba ikut masuk pembicaraan mereka.
“Apa kau bilang tadi? Hatake Kakashi? Yang dulunya alumni A SHS dan sekarang sudah kuliah di Jupiter University?” tanya Jun.
“Eh? Kau mengenalnya juga?” tanya Sakura balik. Tak sangka dunia ini sempit sekali.
“Yeah, dulu dia adalah teman kecilku. Tapi kami sampai sekarang masih sering saling kontak. Jadi biar aku meralat ucapanmu, Sakura. Dia sama sekali bukan playboy. Maksudku, kalau playboy yang kau maksud adalah memiliki pacar lebih dari satu, kau salah. Dia selalu memutuskan pacar lamanya sebelum menyatakan cinta pada orang lain, yeah, walaupun jarak waktunya hanya 1 menit.”
“Tapi itu namanya tetap saja playboy. Pasti sebelum dia menyatakan cinta pada wanita baru, dia sudah melakukan pendekatan pada gadis itu kan, dan itu dilakukannya saat masih berstatus kekasih orang lain.” Bantah Sasuke tiba-tiba.
“Heh, kau ini, sudah kalau main ya main saja, masa kau menjelek-jelekkan temanmu?” kata Jun tidak senang.
Sasuke tidak menggubris ucapan Jun dan kembali melanjutkan permainannya.
Diam. Tidak ada yang bersuara lagi.
“Jadi?” tanya Aya.
“Apa?” tanya Jun tidak paham.
“Dika harus bagaimana?” tanya Aya, sementara Dika masih saja tercenung memikirkan ucapan teman-temannya barusan.
“Ehm, Dika, kau sangat menyukai Kakashi ya?” tanya Sakura hati-hati.
Dika mengangguk lemah.
“Sebenarnya, yang tidak sanggup berhubungan jarak jauh itu bukan Kakashi, tetapi gadis yang diincarnya sekarang.”
“Maksudmu?” tanya Aya. Karna Dika diam saja, Aya lah yang mewakilkannya.
“Ya, belum lama ini Kakashi menyatakan perasaannya pada seorang gadis, tapi gadis itu tidak bisa berhubungan jarak jauh, jadi kurasa ia akan menolaknya. Dan kurasa Kakashi akan kembali padamu.”
“Benarkah?” tanya Dika antusias.
“Hmm, mungkin.”
“Kau kenal gadis yang diincarnya itu?” tanya Jun.
“Yeah, begitulah.”
“Well, kalau gadis itu benar-benar menolaknya, kurasa Kakashi akan kembali padamu, Dika. Dia bukan tipe orang yang mau berlama-lama membujuk seorang gadis untuk jadi pacarnya selama mantannya masih mau menerimanya kembali. Yang penting itu baginya ia tidak pernah jomblo.” Jelas Jun.
“Hah? Ada ya, orang seperti itu?” tanya Maruko heran.
“Begitulah, agak aneh memang. Tapi aku tahu alasannya, jadi aku sangat memakluminya. Jadi Dika, ku mohon, mengertilah. Oke? Dia itu sangat butuh perhatian. Itu kalau kau masih ingin kembali dengannya lagi. Kalau kau tidak mau, biar gadis itu nanti dibujuk Sakura agar mau.”
“Lho, lho, kok aku dibawa-bawa?” protes Sakura.
“Please, Sakura. Kau kan kenal gadis itu, bujuklah untuk menerima Kakashi kalau memang Dika tidak mau. Kakashi itu sangat butuh perhatian.” Mohon Jun.
“Aku mau,” kata Dika tiba-tiba. Setiba-tiba wajahnya yang memerah.
“Baguslah kalau begitu,” ucap Jun lega.
zzz
“Eh? Ternyata seperti itu?” tanya Tomoyo ternganga setelah diceritakan oleh Sakura.
“Ya, benar sekali. Kakashi itu tidak seperti yang kau kira. Well, kau bukan satu-satunya baginya.”
Tomoyo tercenung, memikirkan kata-kata Sakura. Matanya berkaca-kaca. Tiba-tiba saja ia mengeluarkan foto Kakashi dari kalungnya.
“Ternyata dia tidak seperti yang kusangka sebelumnya. Aku sangat tidak suka kalau ternyata ada orang lain. Aku tidak mungkin menerimanya. Aku tidak mungkin bisa menerima orang seperti itu. Tidak, tidak.” Ucap Tomoyo sambil menangis.
Sakura memeluk kakak sepupunya itu. “Sudahlah, Tomoyo. Sudah.”
Tomoyo terus menangis di bahu saudara sekaligus sahabatnya itu sampai baju Sakura basah.
“Maaf ya, bajumu jadi basah.” Kata Tomoyo setelah puas menangis. Nafasnya sudah mulai teratur sekarang.
“Tidak apa-apa.”
“Aku benci sekali… aku benci… aku benar-benar tidak ingin menjadi orang ketiga. Aku merasa sangat bersalah pada Dika. Aku tahu betul rasanya menjadi seperti Dika. Itu sangat menyakitkan buatku, terlebih lagi bila aku menyakitkan orang lain seperti itu.”
“Kau beruntung karena Dika orang yang pemaaf, kalau tidak, bisa dilabrak kau seperti di film-film,” canda Sakura.
“Hehehe, kau bisa saja. Yeah, tapi bagiku Dika memang baik sekali. Pasti dia sangat mencintai dan mengerti Kakashi, jauh lebih banyak dari yang kutahu. Wajar kalau Dika lah yang mendapatkannya.”
“Hmm, aku sebenarnya tidak mengerti dengan Kakashi itu. Beruntung sekali dia. Bukannya diberi pelajaran saja!” gerutu Sakura.
“Kau tidak tahu apa-apa, Sakura. Jangan men-judge orang seenaknya.”
“Memangnya kau tahu?”
“Well, tidak juga sih,” jawab Tomoyo sambil memutar bola matanya.
“Hahahhaahaha…” serempak mereka tertawa. Tawa yang entah untuk apa, tapi yang jelas mereka hanya ingin tertawa.
“Bagaimanapun, aku pernah menyukai Kakashi, entah masih atau tidak, tapi yang jelas aku bahagia mengetahuinya bersama orang yang benar-benar mencintainya.” Ujar Tomoyo di sela tawanya.
“Lalu, bagaimana denganmu?” tanya Sakura.
“Bagaimana? Biasa saja, suatu saat aku akan menemukan orang yang tepat untukku.”
“Menurutku kau terlalu pemilih.” Ucap Sakura jujur.
Tomoyo membulatkan kedua matanya.
“Yeah, jangan lupakan Shaoran, dia itu masih menyukaimu.”
Tomoyo melanjutkan tawanya. Dia tidak punya ide untuk menjawab pernyataan itu.
“Mungkin kau benar,” jawab Tomoyo pada akhirnya.
zzz
Langit cerah. Biru terang yang tenang dengan beberapa gumpal awan tipis yang bagai kapas membentang di angkasa. Sedikit kejinggaan di bagian timur, menyambut kehadiran Sang Raja Siang yang bersiap hadir dari bawah garis horizon.
Sakura bersiul-siul kecil sambil melangkahkan kakinya di trotoar sepanjang pinggiran jalan. Sesekali tersenyum hangat bila berpapasan dengan orang lain, atau berteriak kecil menyapa orang-orang yang dikenalnya.
“Hei, mana sepedamu?” tanya Shaoran yang mengayuh sepedanya selambat mungkin untuk menjajari langkah Sakura.
“Di mana ya? Aku lupa kutaruh di mana, mungkin tertinggal di bengkel sepeda.” Jawab Sakura enteng.
“Kalau begitu selamat berjalan! Kami duluaaaan…!!” pamit Shaoran sambil mengayuh sepedanya dengan kencang.
“Shaoraaaann…!!!” jerit Tomoyo yang berdiri di boncengan sepedanya panik.
“Hei, awas kalau kau sampai membuat kakakku terluka, tidak kurestui kalian!!” ancam Sakura tidak kalah panik.
“Hahahahahahaha,” tawa lelaki di sebelahnya seraya merangkulnya lembut. “Benar kan, kataku, lebih baik berjalan kaki saja dari pada bersepeda,” ucapnya.
“Tapi kan kakiku pegal. Aku sudah pernah menuntun sepedaku karena bannya bocor, dan keesokannya kakiku seperti orang terkena filariasis. Kau mau aku seperti itu lagi? Sudahlah, jangan sok tahu, kau itu pendatang baru di sini. Pantai itu letaknya jauuuh…” keluh Sakura dengan bibir mengerucut.
“Tenang saja, kalau kau lelah biar ku gendong. Kau suka, kan?” goda lelaki itu.
“Hah, memangnya kau kuat menggendongku?” bantah Sakura.
“Oh, tentu saja. Kalau aku ambruk nanti gantian. Hahahaha,” candanya.
“Aku tidak mau. Ku tinggal saja kau di pinggir jalan.” Balas Sakura sadis.
“Ya sudah, aku tidak mau membelamu kalau nanti kau akan diculik oleh orang-orang itu,” ancam lelaki itu sambil menunjuk ke belakang.
“Jun, kau curaaaaaaaaaaanggg…!!!”
Sekitar 20 meter di belakang mereka ada sebuah mobil sedan mewah yang tengah berhenti dengan mesin menyala. Di dalamnya seorang gadis berambut hitam berponi sedang tertawa-tawa menatap mereka di sebelah lelaki bermata onyx yang terpaku menatap layar PSPnya.
“Hei, kalau kau terus menatap PSPmu, lebih baik aku yang menyetir!” omel gadis itu.
zzz
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar