-part 4-
Normal POV
Minggu pagi. Sakura menggeliat di ranjang single-nya dengan mata masih terpejam. Setelah melirik jam yang bertengger di meja kecil di sebelah tempat tidurnya, ia mengerang. Sepagi ini ponselnya sudah berisik, mengganggu tidurnya saja.
“Kau tidak lihat jam, ya?!” omel Sakura tepat setelah mengangkat telpon dari Shaoran.
“Maaf, maaf. Eh, Sakura! Ayo kita jogging! Sudah lama kan kita tidak olah raga? Ayo, bangun!” ajak Shaoran.
“Aku malas! Sudah, aku mau tidur lagi!” jawab Sakura, bersiap menutup pembicaraannya.
“Eh, tunggu! Tunggu! Ayolah, Sakura! Kau tidak ingat apa kemarin aku bilang apa? Pipimu semakin chubbysaja! Ayolah kita turunkan berat badanmu!” bujuknya lagi.
“Aku tidak mau, Li Shaoran! Aku ngantuk! Sudah, jangan bujuk-bujuk aku lagi! Tak akan ada gunanya!” balas Sakura.
“Aaah… kau ini. Ayolah sahabatku yang paling cantik dan baik hati… Tomoyo sedang olah raga saat ini. Aku ingin jogging bersamanya!” rayu Shaoran.
“Ya sudah sana! Kalau ingin jogging bersama Tomoyo, hampiri saja dia! Jangan mengganggu aku begini. Dan satu lagi, jangan coba-coba merayuku! Itu tidak akan berhasil!” ucap Sakura kasar lalu langsung menutup telepon dan kembali bergelung dalam selimutnya.
“Huh! Dasar anak malas!” keluh Shaoran kesal di seberang telepon yang sudah terputus.
Mau tak mau, Shaoran harus berusaha sendiri. Sudah setahun lebih ia naksir pada kakak sepupu sahabatnya sejak melihatnya pertama kali. Tapi sampai saat ini ia sama sekali belum bisa mendekatinya.
Shaoran mengikat tali sepatunya lalu menyambar air minum. Setelah menghela napas panjang sesaat, ia berdoa semoga upayanya kali ini berhasil. Upaya mendekati Tomoyo.
Shaoran berlari-lari kecil di sekeliling lapangan bola, bersama dengan puluhan orang lainnya. Tapi matanya terpaku pada sosok anggun yang berlari sekitar sepuluh meter di depannya. Rambut gelap panjangnya yang dikuncir membentuk ekor kuda bergoyang-goyang seirama dengan langkah kaki jenjangnya. Ia sedang asyik berbincang dengan teman perempuan yang berlari di sebelahnya. Sesekali mereka tertawa bersama.
Saat Tomoyo beristirahat, Shaoran juga berhenti. Teman Tomoyo yang diketahui Shaoran bernama Ino itu sedang membeli minuman. Tomoyo duduk sendiri di bangku stadion. Keringat mengucur deras membasahi wajah putih cantiknya. Ia terlihat mencari-cari sesuatu dalam tas mungil yang dibawanya, sepertinya sapu tangan. Tapi ia tidak menemukan benda itu.
“Ini,” tawar Shaoran sambil menyodorkan sapu tangan yang dipinjami Sakura kemarin. Sakura menolak dipulangkan sebelum sapu tangan itu dicuci bersih terlebih dahulu.
“Lho, ini punya Sakura, kan?” Tanya Tomoyo heran.
“Iya, kemarin ia meminjamkan sapu tangan ini.”
“Baiklah, terima kasih. Nanti biar langsung kukembalikan pada Sakura saja, ya?” Tanya Tomoyo.
“Ya sudah, terima kasih juga. Oh ya, sampaikan terima kasih juga ya untuk Sakura.”
“Oke.”
“Kau sendirian?” Tanya Shaoran pura-pura tidak tahu kalau Tomoyo tadi bersama Ino.
“Tidak, temanku sekarang sedang membeli minuman. Kalau kau? Pasti Sakura belum mau bangun, ya?” Tanya Tomoyo balik.
“Begitulah. Ia malah marah-marah padaku.” Adu Shaoran.
“Hahaha, karena itulah aku tidak membangunkannya tadi. Ya sudah, dengan kami saja kalau begitu.” Ajak Tomoyo.
“Benarkah? Apa temanmu nanti tidak akan merasa terganggu?” Tanya Shaoran sambil mengerjapkan mata senang.
“Kurasa tidak. Ia orang yang sangat mudah bergaul dan suka mempunyai teman baru.”
Tak lama kemudian Ino datang dengan membawa sebotol air mineral untuk Ino sendiri karena Tomoyo sudah membawa untuknya sendiri.
“Hai!” sapa Ino.
“Hai juga.” Jawab Shaoran.
“Ino, ini Shaoran, sahabat adikku. Shaoran, ini Ino, teman sekolahku.” Kata Tomoyo memperkenalkan mereka berdua.
“Senang berkenalan denganmu, Adik kecil! Hehehe.” Kata Ino sok tua.
Dengan bibir mengerucut Shaoran menjawab, “Aku kan hanya lebih muda setahun dari kalian, Kakak besar!”
“Hahaha, aku hanya bercanda.” Jawab Ino. Mereka bertiga kemudian larut dalam perbincangan sambil melanjutkan kembali aktivitas olah raga mereka.
Shaoran bersorak dalam hati. Baru kali ini ia bisa berbincang lama dengan Tomoyo. Mendengar suara lembutnya, tawa anggunnya yang mempesona, dan ucapan-ucapan cerdasnya. Selama ini setiap Shaoran bermain ke rumah Sakura, Tomoyo pasti sedang belajar atau sedang pergi les ini-itu. Atau kalau sedang bersantai, Tomoyo hanya asyik menonton tv sementara Sakura dan Shaoran sedang ngobrol atau bermain game.
Tomoyo ternyata orang yang sangat baik hati dan luar biasa menawan. Cantik, cerdas, anggun, dan baik hati. Shaoran semakin bertekuk lutut dibuatnya. Sepulang dari stadion, Shaoran pulang bersama Tomoyo. Mereka bersepeda bersisian sepanjang jalan sambil berbincang berbagai hal. Shaoran yang humoris sering melontarkan lelucon, membuat mata Tomoyo berair karena terlalu banyak tertawa. Mendengar tawa Tomoyo, Shaoran semakin sering melontarkan cerita-cerita lucunya.
“Sudah, sudah, perutku sakit. Tunggu dulu.” Kata Tomoyo sambil meminggirkan sepedanya. Rasanya tidak kuat mengayuh sepeda dengan baik dalam kondisi seperti itu. Berulang kali sepedanya oleng tadi.
Shaoran ikut meminggirkan sepedanya. Mereka berhenti di pinggir jalan. Jalan yang sedang dilalui mereka sekarang berada di atas perbukitan, dan satu meter dari pembatas jalan itu adalah turunan tajam seperti jurang yang jauh di bawah sana adalah rumah penduduk. Mereka duduk di pembatas jalan itu, memandang ke bawah, tempat dimana atap-atap rumah tampak dan terlihat sangat kecil. Angin sejuk menghampiri mereka, menyapu keringat yang menetes di dahi.
Lama mereka terdiam menenangkan diri. Menikmati suasana yang sangat nyaman itu.
“Di sini pemandangannya indah, ya!” kata Shaoran memecah keheningan.
Tomoyo mengangguk. “Sudah lama sekali aku tidak merasa setenang ini. Apalagi setelah tertawa habis-habisan tadi. Aku merasa seperti sudah di-charge. Kepalaku sudah tidak sakit lagi. Terima kasih ya, Shaoran.” Ucap Tomoyo.
“Sama-sama. Aku senang melihatmu senang. Oh ya, memangnya kepalamu sakit kenapa?”
“Tidak sakit sih, hanya saja penelitian yang sedang ku kerjakan di sekolah benar-benar menyita waktuku dan memenuhi kepalaku. Tapi untungnya kau sudah me-refresh otakku lagi.”
“Oh ya, Tomoyo. Mengapa kau memilih bersekolah di sekolahmu sekarang? Aku tahu sekolah itu sangat bagus kualitasnya, bahkan sudah bertaraf internasional. Tapi, memangnya di kota asalmu tidak ada yang sebagus itu?”
“Hmm, yang sebagus itu kurasa belum ada. Sedikit di bawahnya memang banyak. Tapi bukan itu saja alasanku. Aku ingin menemani Sakura.” Jawab Tomoyo.
“Menemani Sakura?”
“Ya, aku tahu ia sekarang lebih sering tinggal sendiri. Makanya, aku memutuskan setelah lulus SMP aku melanjutkan di sini.”
“Orang tuamu mengizinkanmu?”
“Awalnya tidak. Tapi setelah kubujuk, akhirnya mama mengizinkan. Lagi pula masih ada adikku dan nenek yang tinggal menemani mama.”
“Papamu?”
“Papa sudah meninggal, tidak lama sebelum ibu Sakura meninggal. Oleh karena itulah aku tahu bagaimana perasaan Sakura. Dan aku salut sekali ia bisa bangkit dari kesedihan bahkan tanpa dukungan ayah dan kakaknya. Kalau aku, mamakulah yang menguatkanku, keluargaku benar-benar saling menguatkan satu sama lain, tidak seperti keluarga Sakura. Makanya, aku sangat ingin menemaninya. Terima kasih ya sudah menemani Sakura selama aku belum pindah. Sakura bilang kau-lah yang selalu ada di sampingnya.” Ucapnya dengan mata sendu.
“Itu kan sudah tugasku sebagai sahabatnya. Oh ya, apa kau suka dengan boneka beruang yang kuberikan waktu itu?” Tanya Shaoran.
“Oh, ya, aku suka, terima kasih. Tapi sebenarnya kau tidak perlu repot-repot.” Jawab Tomoyo agak kaku.
“Err, matahari sudah meninggi, mungkin Sakura sudah selesai memasak. Aku lapar. Ayo kita pulang.” Ajak Tomoyo.
“Kurasa Sakura bahkan belum bangun. Bagaimana kalau kita membeli makanan saja?”
“Hmm, baiklah. Tapi dibungkus saja ya, kita makan di rumah.”
^-^
Sesampainya di rumah, Tomoyo membangunkan Sakura untuk sarapan bersama. Shaoran yang sudah menganggap rumah itu seperti rumah sendiri menyiapkan piring untuk mereka bertiga. Tadinya Shaoran mengajak Tomoyo untuk makan berdua saja, tidak usah membangunkan Sakura dengan alasan takut Sakura kembali mengamuk (walaupun ada alasan lain), tapi Tomoyo bersikeras ingin membangunkan Sakura dengan resiko kena semprot adik sepupunya itu.
Sakura memang menggerutu pelan sambil mengucek-ucek matanya saat berjalan ke ruang makan. Tapi mencium nasi goreng yang sangat lezat, matanya langsung terbuka dan tanpa ba-bi-bu langsung melahapnya dengan masih bau kasur dan garis putih terbentang di pipinya yang bersumber dari sudut bibirnya.
Setelah makan, Tomoyo langsung masuk kembali ke kamarnya, meninggalkan Shaoran yang menatapnya kecewa bersama Sakura yang langsung menyalakan tv untuk menonton kartun favoritnya.
“Maaf, Shaoran…” bisik Tomoyo yang bersandar di balik pintu kamarnya. Tangannya meraih bandul di kalung yang melingkari lehernya lalu membukanya. Tampak foto dua orang lelaki paling dicintainya di dalam bandul itu. Ayahnya, dan seorang lelaki lain.
^-^
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar