Tulisan ini sebenarnya sudah lama saya buat, tapi baru sempat saya posting sekarang hehe.
Postingan ini masih terkait dengan perjalanan saya dengan keluarga BPI 10 ke Buniayu. Di dalam goa minat khusus, selain berseru-seru ria, ada satu momen yang menarik buat saya. Ketika kami sedang beristirahat di tengah perjalanan, tepatnya di pinggir sungai bawah tanah, Bang Nur sebagai pemandu kami meminta kami untuk mematikan seluruh sumber cahaya, yakni senter dan headlamp. Keadaan sontak menjadi gulita. Pekat. Bang Nur kemudian berbicara tentang alam kubur. Saat itu kami mendengar debur air sungai yang terdengar syahdu, tetapi apa yang akan kita dengar saat di alam kubur? Saat itu kami masih bisa berpegangan pada teman di sebelah, bernapas dengan leluasa di dalam area yang cukup luas itu, tetapi apa yang kita alami di dalam ruang sekitar 2x1 meter seorang diri kelak?
Postingan ini masih terkait dengan perjalanan saya dengan keluarga BPI 10 ke Buniayu. Di dalam goa minat khusus, selain berseru-seru ria, ada satu momen yang menarik buat saya. Ketika kami sedang beristirahat di tengah perjalanan, tepatnya di pinggir sungai bawah tanah, Bang Nur sebagai pemandu kami meminta kami untuk mematikan seluruh sumber cahaya, yakni senter dan headlamp. Keadaan sontak menjadi gulita. Pekat. Bang Nur kemudian berbicara tentang alam kubur. Saat itu kami mendengar debur air sungai yang terdengar syahdu, tetapi apa yang akan kita dengar saat di alam kubur? Saat itu kami masih bisa berpegangan pada teman di sebelah, bernapas dengan leluasa di dalam area yang cukup luas itu, tetapi apa yang kita alami di dalam ruang sekitar 2x1 meter seorang diri kelak?
Ilustrasi alam kubur (gambar diambil dari sini)
Well, setelah melakukan sedikit perenungan tersebut, kami
melanjutkan perjalanan (tentu dengan bantuan senter dan headlamp kembali, hehe).
Kali ini, saya merenungi kembali perjalanan kami.
Ya, saya takjub dengan indahnya stalagtit
dan stalagmit goa, tetapi lalu apa? Untuk apa sebenarnya saya melakukan
perjalanan ini? Sekadar membuktikan bahwa saya 'keren' karena bisa menyusuri
goa? Pembuktian pada siapa? Orang lain kah, atau justru pada diri saya sendiri?
Tapi, lalu untuk apa pembuktian itu? Apa yang harus dibuktikan?
Sebenarnya, sampai sekarang saya pikir
motivasi saya dalam melakukan perjalanan, baik ke gunung, ke pantai, ke laut,
ke goa, atau bahkan ke kota-kota, adalah kesukaan saya. Saya melakukannya simply karena saya
suka.
Tapi, apa itu cukup? Apa itu bermanfaat?
Apakah kesukaan, atau kesenangan, yang saya rasakan ini sebanding dengan uang
yang saya habiskan, tenaga yang saya keluarkan, waktu yang saya gunakan, yang
mungkin bisa saya gunakan untuk hal-hal lainnya? Apakah kesenangan keluarga
saya ketika saya berada di tengah-tengah mereka pantas saya korbankan untuk
kesenangan pribadi saya itu?
Apakah kesenangan saya ini juga dapat
membuat saya senang nanti, di alam setelah dunia ini?
Saya tidak tahu, sungguh. Bahkan sampai
saat ini, saya masih melakukannya tanpa mampu menjawab pertanyaan yang saya
ajukan sendiri di atas.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang
1. Karena kesenangan orang – orang Quraisy.
2. (yaitu) kesenangan mereka bepergian pada
musim dingin dan musim panas,
3. Maka hendaklah mereka menyembah Rabb
Pemilik Rumah ini ( Ka’bah).
4. Yang telah memberi makanan kepada mereka
untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.
(Q.S. 106: 1-4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar