Tulisan ini tetap kuposting kendati aku telah menjawab tantangan di hari kedua melalui instagram. Mungkin kamu jadi akan sedikit lebih tahu tentang masa laluku hihi.
Peringatan : Tulisan ini cukup panjang dan penuh drama. Hahaha
---
Di hari kedua #VoluntripChallenge untuk #SepekanBercerita ini, pertanyaan yang diajukan Ka Ombi makin serius saja. Kata 'bangkit' pun diketik dengan capslock semua. Bahkan di-underline dengan garis tebal (yang entah kenapa) berwarna pink. Ngeri. Hahaha
Pertanyaan diawali dengan pertanyaan-pertanyaan pembuka : Pernah Kecewa? Pernah Gagal? Pernah terhianati? Pernah ada pada posisi benar-benar tak termotivasi?
Lagi-lagi, respon pertamaku adalah senyum. Senyum dengan tampang agak-agak bego, karena sambil berpikir. Hahaha. Sambil berjalan ke kantor, aku memikirkan cerita apa yang akan aku bagikan hari ini.
Sejauh ingatanku, aku sangat jarang merasa kecewa mendalam terhadap suatu hal karena (sepertinya) aku orangnya susah berharap. Mungkinkah karena kultur Jawa yang terkenal dengan ke-nrimo-annya itu mengalir dalam darahku? Entahlah, tapi kupikir sedikit banyak aku terpengaruh oleh 'ajaran' mamaku untuk senantiasa bersabar.. Mohon bersabar, ini ujian..
Sebenarnya, kalau kecewa-kecewa kecil seperti ditinggal kereta yang berangkat tepat di depan mata, bahkan ditinggal nikah oleh gebetan yang bahkan tidak tahu kalau aku ada (bacanya biasa saja ya, iyaa itu kecewa kecil saja, kok), aku tentu pernah mengalaminya.
Kegagalan-kegagalan (yang menurutku juga biasa-biasa saja) juga seringkali kutemui. Gagal menurunkan berat badan? Sampai sekarang, hahaha. Tidak pernah terpilih menjadi petugas upacara sejak TK karena kurang tinggi? Tidak lolos seleksi menjadi pemain drum band (ekskul yang ngehitz saat aku SMP)? Tidak lolos seleksi olimpiade bahkan pada tahap paling awal (internal sekolah)? Tidak jadi lulus kuliah dalam waktu 3,5 tahun? Tidak kunjung dipanggil untuk interview setelah puluhan lamaran pekerjaan sudah kukirim? Tidak lolos seleksi pekerjaan bahkan ketika sudah di tahap paling akhir? Hanya bisa turut berbahagia (serius, bahagianya beneran) melihat keberhasilan teman-teman dekatku (ada yang sudah menerbitkan buku, ada yang menjadi mahasiswa berprestasi, ada yang dapat beasiswa, bahkan juga tidak sedikit yang sudah menikah)? Aku pernah. Mungkin terlalu sering sampai aku lupa berapa banyak 'kegagalan'ku. Tapi ya sudah, hidupku tidak luluh lantak juga, kan? Jadi, rasanya tidak usah ya aku ceritakan. Rasanya bukan hal yang amazing saja untuk bisa melalui hal-hal yang biasa seperti itu.
Oke, oke, kalau kamu masih penasaran caranya. Sederhananya, aku orang yang memiliki kecenderungan pada internal locus of control. Kurang lebih artinya memandang keberhasilan/kegagalan adalah karena diri sendiri (kalau definisi versiku sendiri, tentu aku melibatkan Allah di dalamnya). Jadi, ketika menyaksikan keberhasilan orang lain dan aku hanya di bangku penonton, aku sadar betul bahwa Allah tidak memberikannya padaku karena aku tidak cukup pantas mendapatkannya. Usahaku masih jauh dari cukup. Ketika gebetan-ku menyebarkan undangan pernikahannya, aku juga kemudian menyadari bahwa kami memang tidak berjodoh.
Sederhana, bukan?
Tapi, kalau kamu mau salah satu contoh kepedihan dramatis yang kualami dan bagaimana aku melaluinya, boleh lah kupilihkan satu cerita hidupku. Hihihi.
Ada satu hal yang cukup membuatku menangis tersedu-sedu beberapa bulan lalu. Kekecewaan ini cukup mendalam buatku, karena cukup memporak-porandakan kepingan-kepingan hidup yang sedang aku susun (lebaaay hahahaha).
Ini tentang karir. Aku memahami karir berbeda dengan pekerjaan (job). Sederhananya, karir lebih bersifat jangka panjang, sedangkan pekerjaan sebaliknya. Berdasarkan hasil browsing ketika aku membuat tulisan ini, perbedaan keduanya adalah seperti ini: A job can be just going to work to earn a paycheck. A career is a
journey that includes all your jobs, experiences, and training in the
same field or career cluster (MyMnCareers, n.d.). Jadi, bisa dibilang bahwa aku meyakini bahwa pekerjaanku adalah bagian dari upayaku membangun karir. Sama persis dengan perumpamaan yang disebutkan di web tersebut : If life were a video game, a job would be just one level. Having a
career means that you are committed to playing the game to get better
over time and advance to higher levels.
Jadi, kenapa aku menangis?
Aku menangis karena anak tangga pertamaku terpaksa kutinggalkan lebih cepat dari yang aku rencanakan.
Tenang, aku tidak dipecat, kok. Hehehe. Alhamdulillah atasanku sebenarnya justru menyayangkan pengunduran diriku, meski beliau tidak bisa menahanku lebih lama.
I decided to resign from my first job because my parents told me to do so.
Tragis ya sepertinya. Seolah-olah orang tuaku sebelas-dua belas dengan orang tuanya Siti Nurbaya. Bedanya, Siti Nurbaya dipaksa menikah, aku dipaksa berpisah (dari pekerjaanku). Aku tidak tahu bagaimana reaksi Siti Nurbaya menanggapinya, yang jelas saat itu aku menangis sesenggukan.
Benar-benar tersedu.
Entah berapa kali aku ber-istikhoroh, bertanya kesana-sini, membuat coret-coretan tentang plus minus-nya jika aku resign dan jika tidak, kemudian menangis lagi saat kebingungan.
Pada awalnya, aku lebih banyak merasa kesal. Berbagai pikiran buruk hilir mudik di kepalaku, dan (jahatnya) itu tentang orang tuaku sendiri. Aku kecewa karena papaku sangat menunjukkan bahwa beliau tidak suka aku bekerja seperti itu pada saat itu. Bahkan kudengar beberapa kali papa bilang ke orang yang menanyakan aktivitasku bahwa aku belum bekerja!! Hey!! Tahu rasanya bagaimana? Sakitnya tuh di sini..
Padahal aku tahu dalam hatinya beliau mengakui bahwa pekerjaan seperti yang kulakukan saat itu adalah pekerjaan mulia..
Aku sempat kecewa habis-habisan pada beliau.
Beberapa waktu berlalu, aku merasa Allah menjawab doaku. Aku memang meminta yang terbaik, bukan meminta untuk bisa bertahan di pekerjaan itu. Perlahan-lahan aku mulai merasa tidak nyaman, lelah, seperti ada yang
kurang tepat..
Aku pun sampai pada pemahaman bahwa
yang baik belum tentu tepat. Aku tahu pekerjaan yang kulakukan baik. Tapi mungkin kurang tepat untukku saat itu. Aku terlalu terpaku pada rute hidup yang kususun, tanpa menyadari bahwa sesungguhnya aku hanyalah makhluk yang tidak tahu apa-apa.
Banyak jalan menuju Roma, bukan?
Seperti ketika aku ingin mem-
posting tulisan ini di hari yang tepat namun ternyata tak bisa, karena blog-ku tidak bisa dibuka di rumah.
I've tried, even several ways, to do that.
Tapi
toh ada hal-hal yang berada di luar kapasitasku. Mungkin di situ lah aku (sebagai orang yang memiliki kecenderungan
internal locus of control tadi) diuji.
Jadi, yang kulakukan adalah mencari rute baru. Rute yang mungkin sangat berbeda dengan rute yang kurencanakan semula. Bisa jadi itu cara Allah menuntunku, kan?
Maka, sungguh benar
apa yang dikatakan oleh MC kondangan yang suaranya viral itu:
Mohon bersabar.. :)
P.S. : Aku pernah membuat sebuah rekaman curhat di akun soundcloud-ku tentang "Yang Baik Belum Tentu Tepat" itu. Monggo kalau mau dengar di 13amelya :D hehe. Peringatan: kamu bisa saja bosan mendengarnya.